Jumat, 08 November 2013

Suksesi 2014 Uji Pakem Politik

Suksesi 2014 Uji Pakem Politik
FS Swantoro  Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate
SUARA MERDEKA, 07 November 2013


"Publik juga harus melihat siapa yang berada di belakang Prabowo Subianto, mantan Pangkostrad itu"

PRESIDEN Yudhoyono telah 9 tahun memimpin bangsa Indonesia. Setahun menjelang berakhir kepemimpinannya pada 20 Oktober 2014 apresiasi publik terhadap kinerjanya belum juga membaik dan memuaskan. Tapi apa pun penilaian itu, tahun depan rakyat akan menyongsong suksesi kepemimpinan nasional.

Suksesi ini penting mengingat negara kita akan memasuki era baru, masih menjalani proses konsolidasi demokrasi dan membangun institusi demokrasi yang kokoh dan bermartabat. Pada titik itu kita butuh pemimpin baru yang visioner dan dicintai rakyat, atau seorang satriya pinandita sineksenan wahyu. Itulah teka-teki suksesi 2014?

Dalam sejarah politik Indonesia yang berusia 68 tahun, ada pakem  yang menonjol dan layak kembali diingat. Pertama; ciri menarik pergulatannya dengan konflik. Dalam pergulatan konflik itu, rakyat acap belajar bagaimana memahami diri mereka, meski kadang harus membayar mahal.

Falsafah Pancasila sangat menekankan bahwa tiap muncul konflik politik baru harus diredam dengan semangat Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Hal itu penting untuk menggapai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sekaligus harus menjunjung nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kelima dasar itu merupakan satu kesatuan bulat dan utuh hingga konflik politik selalu bisa diredam dan berakhir damai.

Setiap muncul konflik, perlu diikuti konsensus baru. Ini ibarat sengsara membawa nikmat. Contoh sewaktu Soekarno dan Soeharto didemo mahasiswa supaya mundur, Bung Karno dan Pak Harto bersedia melepas secara legawa. Pertimbangannya daripada terjadi perpecahan bangsa dan perang saudara, keduanya lebih memilih lengser keprabon. Bandingkan dengan krisis politik di Suriah sekarang, Presiden Bashar al-Assad memilih  perang sehingga jutaan rakyat menderita dan menjadi korban.

Kedua; pada Pemilu Indonesia 1955-2009 selalu muncul dinamika politik keras dan panas. Tidak jarang terjadi perang urat saraf antarpartai saat kampanye. Tapi ketika pemilu digelar, tidak ada huru-hara politik yang berdarah-darah. Karena itu, ketika mantan presiden AS Jimmy Carter, memantau Pemilu 2004, ia menilai Indonesia sebagai negara terbesar ketiga dalam berdemokrasi. Sebagian dari kita pun ingat sewaktu Pemilu 1955 meski dalam suasana perang di daerah, pemilu tetap aman dan damai, serta dinilai paling demokratis.

Ketiga; ada korelasi signifikan antara pemimpin dan partai politik. Ketika Bung Karno turun,  PNI ditinggalkan orang. Begitu pula ketika Soeharto dan Habibie turun, Golkar ditinggalkan orang. Kemudian sewaktu Gus Dur turun, PKB hancur. Tatkala Megawati dan Hamzah Haz turun, PDIP dan PPP pun ditinggalkan orang. Karena itu, jika SBY turun, Demokrat pasti ditinggalkan orang. Ini sudah pakem politik.

Prabowo atau Jokowi

Keempat; muncul antitesis dari karakter pemimpin sebelum dan sesudahnya. Misal Bung Karno dari sipil, orator ulung, hingga disebut singa podium. Soeharto militer, pendiam, dan berpidato dengan membaca teks. Soeharto yang bukan cognitariat, digantikan BJ Habibie yang profesor, terpelajar, dan ahli aerodinamika. Kemudian Habibie yang serius, digantikan Gus Dur yang humoris dan humanis. Gus Dur yang humoris dan Islamis, digantikan Megawati, pendiam dan sekuler. Megawati yang ibu rumah tangga, digantikan SBY yang gagah, ganteng, dan doktor pertanian. Itu semua antitesis dari pemimpin lama ke penggantinya.

Lantas, siapa pengganti Yudhoyono tahun 2014? Sebelum menjawab itu, yang perlu diperhatikan seluruh rakyat adalah harus memilih, dan jangan golput. Hal itu penting karena tiap warga berhak memilih pemimpin yang mampu mengawal demokrasi ke masa depan. Jika salah pilih, terasa akibatnya. Mengingat proses konsolidasi demokrasi belum selesai, perlu memilih pemimpin yang visioner dan berintegritas.

Dari hasil survei berbagai lembaga, ada 5 kandidat paling populer, yakni Joko Widodo, Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Aburizal Bakrie, dan Wiranto. Selain The Big Five itu, ada posisi di tengah, yaitu Hatta Rajasa, Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan satu di antara 11  peserta konvensi Partai Demokrat. Proporsi pemilih yang memiliki preferensi terhadap calon presiden itu, hanya bertumpu (mengerucut) pada dua tokoh, yaitu Jokowi dan Prabowo.

Problem Prabowo ada pada soal presidential threshold bagi Gerindra. Sementara bagi Jokowi bergantung Megawati. Andai suara Gerindra melonjak jadi dua digit, PDIP harus waspada, meski Jokowi dalam berbagai survei selalu mengungguli Prabowo. Namun tak ada jaminan unggul terus. Popularitas Jokowi yang berada di puncak, tidak serta merta membuatnya bisa dengan mudah melenggang dalam Pilpres 2014. Prabowo tak bisa dianggap remeh.

Belum maksimalnya Prabowo tampil bukan berarti ia tiarap, pasti ada rencana lain. Jangan lupa, ia belum banyak bergerak dalam media cetak dan elektronik sehingga kita tidak bisa hanya terpaku pada siapa bersama Jokowi? Publik juga harus melihat siapa yang berada di belakang Prabowo, mantan Pangkostrad itu.


Melihat antitesis itu, pilihannya hanya dua. Seandainya SBY dipersepsikan sebagai pemimpin lemah, kurang tegas maka Prabowo adalah pilihan paling cocok. Sebaliknya jika SBY dipersepsikan pemimpin poco-poco, yang hanya berwacana maka Jokowi adalah jawabannya. Kedua tokoh itu layak menggantikannya melalui Pilpres 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar