Jumat, 08 November 2013

Pamor Dinasti Politik

Pamor Dinasti Politik
A Zaini Bisri  Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 07 November 2013


SETELAH Ikmal Jaya gagal menjabat kembali sebagai wali kota Tegal dan kakak tertuanya, Edi Utomo, dipastikan tersisih dalam Pilkada Kabupaten Tegal pada 27 Oktober lalu, publik bertanya-tanya, mulai surutkah pamor politik dinasti keluarga PO Dewi Sri di pantura barat? Akankah Idza Priyanti di Brebes dan Mukti Agung Wibowo di Pemalang menjadi kekuasaan ”Dewi Sri” terakhir?

Konstelasi politik di wilayah yang terkenal sebagai Tiga Daerah (mengacu pada revolusi sosial Peristiwa Tiga Daerah atau Pemberontakan Kutil pada pascamerdeka), yaitu Brebes, Tegal, dan Pemalang, kekalahan Ikmal dan Edi Utomo di Tegal tentulah mengandung banyak tafsir. Tetapi yang jelas, kekalahan itu tidak bisa dibaca dengan penafsiran tunggal sebagai kekalahan partai politik tertentu. PDIP misalnya, yang menjadi kendaraan utama dinasti Dewi Sri di tiga daerah itu, mungkin terkena dampak politisnya. Namun, karena Edi Utomo diusung Golkar, PAN, dan PPP, setelah gagal mendapatkan rekomendasi Megawati Soekarnoputri, kegagalan itu perlu disorot dari aspek lain.

Suasana psikologi politik terkait evaluasi sosial terhadap dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten juga patut diperhitungkan, terutama pengaruhnya terhadap pengetahuan pemilih pilkada secara umum. Kasus Atut bisa memengaruhi budaya politik pemilih, khususnya sikap pemilih terhadap calon-calon oligarkis yang merebak sepanjang pergelaran pilkada langsung.

Di tingkat provinsi, selain dinasti Ratu Atut, keluarga Teras Narang juga menguasai kekuasaan politik di Kalimantan Tengah. Dinasti politik selalu menurunkan kekuasaan pada keluarganya di daerah-daerah. Setidak-tidaknya ada 12 kabupaten/kota di Indonesia yang dikuasai dinasti politik. Daerah-daerah itu adalah Kota Tangerang Selatan (Airin Rachmy Diani, adik ipar Atut), Kabupaten Bangkalan (Makmun Ibnu Fuad, anak mantan bupati Fuad Amin), Kabupaten Probolinggo (Puput Tantriana Sari, istri mantan bupati Hasan Aminuddin), dan Kabupaten Kediri (Hariyanti, istri mantan bupati Sutrisno). 

Selain itu, juga Kabupaten Kendal (Widya Kandi Susanti, istri mantan bupati Hendy Budoro), Kutai Kartanegara (Rita Widyasari, anak mantan bupati Syaukani HR), Lampung Selatan (Rycko Mendoza, anak Gubernur Lampung Sjachruddin ZP), Kabupaten Pesawaran, Lampung (Aries Sandi Dharma, anak bupati Tulang Bawang), dan Tabanan, Bali (Ni Putu Eka Wiryastuti, anak mantan bupati Tabanan). Ada pula di Cilegon, Banten (Imam Aryadi, anak wali kota), Bantul (Sri Suryawidati, istri mantan bupati Idham Samawi), dan Indramayu (Anna Sophanah, istri mantan bupati Indramayu).

Kemunculan Dinasti

Dinasti politik merupakan fenomena yang bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang. Di negara-negara maju yang demokratis pun fenomena ini umum berlangsung. Di Amerika Serikat, kita mengenal dinasti John F Kennedy dan bahkan juga dinasti George W Bush. Begitu pula di negara-negara demokratis Asia. Di India, negara demokrasi terbesar di Asia, hingga kini masih bercokol dinasti politik Gandhi. Juga ada dinasti Aquino di Filipina, dinasti Jinnah dan Bhutto di Pakistan, dan dinasti Soekarno di Indonesia.

Menurut Mosca (Ernesto Dal Bo, 1996), dinasti politik muncul karena tokoh-tokoh politik cenderung menurunkan kelas politiknya kepada generasi berikutnya atau di bawahnya. Proses pewarisan kekuasaan politik ini terjadi oleh posisi politik yang terbuka. Keluarga yang sebelumnya telah mendapatkan kekuasaan politik akan menyerahkan kekuasaan politik pada generasi di bawahnya.

Stephen Hess (1977) mengatakan, dinasti politik dapat terus hidup atau mati tergantung dari tindakan generasi penerusnya. Orang-orang yang berada dalam lingkungan dinasti politik memiliki sejumlah keuntungan. Keuntungan ini dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan dan melanjutkan kekuasaan politik keluarga. Berbagai keuntungan dinasti politik dijelaskan oleh Brownstein (1990). Antara lain, nama besar keluarga, kekayaan keluarga, jaringan politik yang telah dibangun anggota dinasti politik sebelumnya, dan yang terpenting dalam kaitan kontestasi politik adalah bukti kepada masyarakat bahwa keluarganya mampu untuk berpolitik, sebagaimana telah ditunjukkan oleh anggota dinasti politik sebelumnya.

Kerangka teoritis itu menjelaskan asal mula kemunculan dinasti politik. Pernyataan Mosca menjelaskan bagaimana dinasti politik bisa bertahan dalam sistem politik yang tradisional maupun demokratis. Sedangkan Hess menguraikan tentang keuntungan-keuntungan dinasti politik yang menentukan hidup-matinya dinasti politik.

Namun, untuk menjelaskan eksistensi dinasti politik di Indonesia, lebih khusus lagi dinasti politik Dewi Sri, penulis menganggap teori-teori itu masih harus dilengkapi dengan teori budaya politik. Faktor-faktor internal saja tidak cukup, tentu ada pengaruh dari faktor-faktor di luar lingkungan dinasti politik.


Terdapat beberapa kategori budaya politik. Ada budaya politik militan dan toleran. Menurut Almond dan Powell (1996), terdapat budaya politik parokial, kaula, dan partisipan. Budaya politik parokial biasanya ditunjukkan oleh partisipasi politik yang rendah akibat tingkat kognisi (pengetahuan, pendidikan) masyarakat yang rendah. Dalam budaya politik kaula, masyarakat sudah maju tapi pasif. Sedangkan budaya politik partisipan ditandai dengan kesadaran politik yang tinggi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar