|
SETELAH Ikmal Jaya gagal menjabat kembali sebagai wali kota
Tegal dan kakak tertuanya, Edi Utomo, dipastikan tersisih dalam Pilkada
Kabupaten Tegal pada 27 Oktober lalu, publik bertanya-tanya, mulai surutkah
pamor politik dinasti keluarga PO Dewi Sri di pantura barat? Akankah Idza
Priyanti di Brebes dan Mukti Agung Wibowo di Pemalang menjadi kekuasaan ”Dewi
Sri” terakhir?
Konstelasi politik di wilayah yang terkenal sebagai Tiga
Daerah (mengacu pada revolusi sosial Peristiwa Tiga Daerah atau Pemberontakan
Kutil pada pascamerdeka), yaitu Brebes, Tegal, dan Pemalang, kekalahan Ikmal
dan Edi Utomo di Tegal tentulah mengandung banyak tafsir. Tetapi yang jelas,
kekalahan itu tidak bisa dibaca dengan penafsiran tunggal sebagai kekalahan
partai politik tertentu. PDIP misalnya, yang menjadi kendaraan utama dinasti
Dewi Sri di tiga daerah itu, mungkin terkena dampak politisnya. Namun, karena
Edi Utomo diusung Golkar, PAN, dan PPP, setelah gagal mendapatkan rekomendasi
Megawati Soekarnoputri, kegagalan itu perlu disorot dari aspek lain.
Suasana psikologi politik terkait evaluasi sosial terhadap
dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten juga patut diperhitungkan, terutama
pengaruhnya terhadap pengetahuan pemilih pilkada secara umum. Kasus Atut bisa
memengaruhi budaya politik pemilih, khususnya sikap pemilih terhadap
calon-calon oligarkis yang merebak sepanjang pergelaran pilkada langsung.
Di tingkat provinsi, selain dinasti Ratu Atut, keluarga
Teras Narang juga menguasai kekuasaan politik di Kalimantan Tengah. Dinasti
politik selalu menurunkan kekuasaan pada keluarganya di daerah-daerah.
Setidak-tidaknya ada 12 kabupaten/kota di Indonesia yang dikuasai dinasti
politik. Daerah-daerah itu adalah Kota Tangerang Selatan (Airin Rachmy Diani,
adik ipar Atut), Kabupaten Bangkalan (Makmun Ibnu Fuad, anak mantan bupati Fuad
Amin), Kabupaten Probolinggo (Puput Tantriana Sari, istri mantan bupati Hasan
Aminuddin), dan Kabupaten Kediri (Hariyanti, istri mantan bupati
Sutrisno).
Selain itu, juga Kabupaten Kendal (Widya Kandi Susanti,
istri mantan bupati Hendy Budoro), Kutai Kartanegara (Rita Widyasari, anak
mantan bupati Syaukani HR), Lampung Selatan (Rycko Mendoza, anak Gubernur
Lampung Sjachruddin ZP), Kabupaten Pesawaran, Lampung (Aries Sandi Dharma, anak
bupati Tulang Bawang), dan Tabanan, Bali (Ni Putu Eka Wiryastuti, anak mantan
bupati Tabanan). Ada pula di Cilegon, Banten (Imam Aryadi, anak wali kota),
Bantul (Sri Suryawidati, istri mantan bupati Idham Samawi), dan Indramayu (Anna
Sophanah, istri mantan bupati Indramayu).
Kemunculan Dinasti
Dinasti politik merupakan fenomena yang bukan hanya terjadi
di negara-negara berkembang. Di negara-negara maju yang demokratis pun fenomena
ini umum berlangsung. Di Amerika Serikat, kita mengenal dinasti John F Kennedy
dan bahkan juga dinasti George W Bush. Begitu pula di negara-negara demokratis
Asia. Di India, negara demokrasi terbesar di Asia, hingga kini masih bercokol
dinasti politik Gandhi. Juga ada dinasti Aquino di Filipina, dinasti Jinnah dan
Bhutto di Pakistan, dan dinasti Soekarno di Indonesia.
Menurut Mosca (Ernesto Dal Bo, 1996), dinasti politik
muncul karena tokoh-tokoh politik cenderung menurunkan kelas politiknya kepada
generasi berikutnya atau di bawahnya. Proses pewarisan kekuasaan politik ini
terjadi oleh posisi politik yang terbuka. Keluarga yang sebelumnya telah
mendapatkan kekuasaan politik akan menyerahkan kekuasaan politik pada generasi
di bawahnya.
Stephen Hess (1977) mengatakan, dinasti politik dapat terus
hidup atau mati tergantung dari tindakan generasi penerusnya. Orang-orang yang
berada dalam lingkungan dinasti politik memiliki sejumlah keuntungan.
Keuntungan ini dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan dan melanjutkan
kekuasaan politik keluarga. Berbagai keuntungan dinasti politik dijelaskan oleh
Brownstein (1990). Antara lain, nama besar keluarga, kekayaan keluarga,
jaringan politik yang telah dibangun anggota dinasti politik sebelumnya, dan
yang terpenting dalam kaitan kontestasi politik adalah bukti kepada masyarakat
bahwa keluarganya mampu untuk berpolitik, sebagaimana telah ditunjukkan oleh
anggota dinasti politik sebelumnya.
Kerangka teoritis itu menjelaskan asal mula kemunculan
dinasti politik. Pernyataan Mosca menjelaskan bagaimana dinasti politik bisa
bertahan dalam sistem politik yang tradisional maupun demokratis. Sedangkan
Hess menguraikan tentang keuntungan-keuntungan dinasti politik yang menentukan
hidup-matinya dinasti politik.
Namun, untuk menjelaskan eksistensi dinasti politik di
Indonesia, lebih khusus lagi dinasti politik Dewi Sri, penulis menganggap
teori-teori itu masih harus dilengkapi dengan teori budaya politik.
Faktor-faktor internal saja tidak cukup, tentu ada pengaruh dari faktor-faktor
di luar lingkungan dinasti politik.
Terdapat beberapa kategori budaya politik. Ada budaya
politik militan dan toleran. Menurut Almond dan Powell (1996), terdapat budaya
politik parokial, kaula, dan partisipan. Budaya politik parokial biasanya
ditunjukkan oleh partisipasi politik yang rendah akibat tingkat kognisi
(pengetahuan, pendidikan) masyarakat yang rendah. Dalam budaya politik kaula,
masyarakat sudah maju tapi pasif. Sedangkan budaya politik partisipan ditandai
dengan kesadaran politik yang tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar