Sabtu, 09 November 2013

Spionase…

Spionase…
James Luhulima ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 09 November 2013


AKHIR-akhir ini, Amerika Serikat menuai protes atas penyadapan telepon yang dilakukannya terhadap Inggris, Perancis, Jerman, dan beberapa negara sahabat lain. AS diminta untuk memberikan penjelasan yang rinci tentang tindakan spionase yang dilakukannya terhadap negara-negara sekutu dan sahabatnya. Bahkan, Australia pun diprotes karena melakukan penyadapan terhadap Indonesia.

Maaf… tetapi sesungguhnya, kegiatan spionase adalah kegiatan yang biasa atau lazim dilakukan negara-negara di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Jadi perlukah kita marah-marah?
Yang dimaksud dengan kegiatan spionase, atau memata-matai, itu adalah kegiatan yang melibatkan sebuah pemerintahan, perusahaan, atau individu untuk memperoleh informasi rahasia, atau yang dianggap rahasia, tanpa seizin dari pemilik informasi itu.

Informasi rahasia yang diincar adalah yang berhubungan dengan musuh potensial untuk keperluan militer, atau melibatkan korporasi, atau perusahaan, untuk kepentingan industri. Kegiatan spionase itu umumnya dilakukan secara diam-diam, atau tersembunyi, karena kegiatan itu tidak disukai (oleh pemilik informasi) dan dilakukan secara ilegal serta melawan hukum.

Cara pengumpulan informasi (rahasia) itu bermacam-macam. Mulai dari mencarinya secara terbuka dengan melakukan lobi, atau mengamati secara saksama berita atau artikel di media massa, hingga mencarinya secara tertutup, misalnya dengan melakukan penyusupan, merekrut mata-mata, mengirimkan pelajar atau mahasiswa untuk bersekolah atau studi di universitas, serta menyadap saluran komunikasi dan telekomunikasi.

Itu sebabnya, saat membantah laporan beberapa pemberitaan surat kabar terkemuka dunia yang mengutip dokumen rahasia yang dibocorkan oleh eks analis dan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA) Edward Snowden yang tinggal dalam pengasingan di Rusia, Direktur Intelijen Nasional AS James R Clapper mengatakan, AS mengumpulkan informasi intelijen dengan cara yang sama seperti yang dilakukan negara-negara lain.

Namun, jika benar AS menyadap pembicaraan telepon ataupun e-mail dari kepala pemerintahan dari negara-negara sekutu atau sahabatnya, itu bisa dikatakan kebablasan. Tindakan seperti itu sukar diterima, apa pun alasannya.

Sejak lama

Kegiatan spionase sudah ada sejak lama. Cerita soal spionase sudah ada dalam kisah-kisah sastra Yunani pada abad IX dan abad VI sebelum Masehi. Kisah Perang Troya, yang diikuti pengiriman patung kuda raksasa berisi pasukan, yang dikenal dengan nama Kuda Troya, adalah salah satu kisah awal tentang kegiatan spionase. Kisah senada juga muncul dalam tulisan tentang strategi militer China dan India kuno, seperti Sun Tzu dan Chanakya.

Pada masa lalu, kegiatan spionase dilakukan sebagai usaha untuk memenangi perang. Kegiatan spionase dilakukan untuk mengetahui peta kekuatan dan kelemahan musuh sehingga perang dapat dimenangi. Namun, seiring perjalanan waktu, kegiatan spionase juga meluas ke bidang-bidang lain, misalnya untuk memperoleh informasi tentang industri unggulan yang dimiliki negara-negara yang dianggap sebagai pesaing. Kita belum lupa ketika Uni Soviet (kini Rusia) mengejutkan dunia, ketika dalam suatu pameran dirgantara negara itu memajang pesawat tiruan Concorde, pesawat penumpang supersonik buatan Perancis. Namun, pesawat tersebut meledak dan jatuh ketika bermanuver di pameran itu.

Akhir-akhir ini, kegiatan spionase pun diarahkan untuk memerangi segala bentuk terorisme dan mengungkap keberadaan senjata pemusnah massal. Penyerbuan dan pembunuhan Osama bin Laden pada 2 Mei 2011 di kediaman rahasianya di Pakistan adalah hasil kegiatan spionase yang panjang (selama hampir 10 tahun).

Sadap-menyadap pun telah dilakukan sejak lama. Dari situlah kemudian lahir bahasa sandi untuk menjaga kerahasiaan dari suatu informasi yang dianggap sangat strategis. Keberhasilan sekutu mengungkap bahasa sandi yang digunakan pasukan Jerman dalam Perang Dunia II membuat operasi kapal selam Jerman bisa dilumpuhkan. Bahkan, sekutu pun berhasil memberikan informasi palsu kepada Jerman mengenai lokasi di mana penyerbuan terakhir akan dilakukan.

Kekhawatiran akan penyadapan itulah yang membuat Kedutaan Besar Jerman Barat untuk Indonesia di Jakarta (waktu itu) sempat protes ketika Hotel Mandarin dibangun tahun 1978 di sebelahnya. Keadaan yang hampir sama juga dialami oleh Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia di Jakarta ketika kompleks pertokoan Plaza Indonesia dibangun di dekatnya awal 1990-an.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pembicaraan telepon, termasuk juga telepon genggam, mudah untuk disadap. Demikian juga surat elektronik atau e-mail. Itu sebabnya, saat akan mendaftarkan e-mail (membuka e-mail account) diberi tahu bahwa internet itu bersifat terbuka karena itu tidak disarankan melakukan komunikasi rahasia melalui internet atau e-mail.

Sayangnya orang seperti tidak memedulikan hal itu. Lihatlah kasus penangkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini, yang didasarkan pada pembicaraan melalui telepon genggam, layanan pesan singkat (SMS), Blackberry Messenger (BBM), atau WhatsApp.
Walaupun sudah banyak orang yang ditangkap oleh KPK, tetap saja masih banyak orang yang membicarakan hal-hal yang seharusnya ingin mereka rahasiakan melalui telepon genggam.

Penyadapan yang dilakukan AS terhadap para kepala pemerintahan negara-negara sekutunya itu memunculkan seloroh, yang menyebutkan, Perdana Menteri India Manmohan Singh adalah satu-satunya pemimpin pemerintahan yang kebal, alias tidak dapat disadap oleh AS. Mengingat PM India itu tidak memiliki telepon genggam dan tidak mempunyai e-mail account.

Kalau tidak ingin disadap, berkomunikasilah secara pandai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar