Sabtu, 09 November 2013

Pilihan Pahit untuk Polri

Pilihan Pahit untuk Polri
Adnan Topan Husodo  ;   Anggota Perkumpulan Indonesia Corruption Watch
KOMPAS, 09 November 2013


Good people do not need laws to tell them to act responsibly, while bad people will find a way around the laws.
Plato (427-347 SM)

GAGASAN membentuk Densus Antikorupsi di Kepolisian Negara RI, yang dilontarkan Komisi III DPR dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Kapolri baru, ditanggapi beragam kalangan.

Yang setuju dengan ide ini menganggap Densus Antikorupsi akan menjadi senjata baru bagi Mabes Polri untuk lebih bertaring memberantas korupsi. Yang tak setuju mengira pembentukan Densus Antikorupsi hanya akan membuat inefisiensi sumber daya sebab Mabes Polri sudah memiliki unit khusus bidang tindak pidana korupsi yang selama ini belum maksimal diberdayakan.

Usul membentuk Densus Antikorupsi di Mabes Polri tampaknya merupakan respons jamak penyusun kebijakan, terutama setelah reformasi, seiring dengan kegagalan berbagai institusi negara menjalankan fungsi utamanya. Lahirnya KPK, Komnas HAM, LPSK, dan sejumlah komisi negara lain adalah contoh pendekatan cara berpikir ini: lembaga negara yang tak fungsional diganti dengan lembaga baru, yang diharapkan lebih efektif dan efisien bekerja.

Kultur korup

Tanpa mempertimbangkan konteks kegagalan sebuah institusi negara menjalankan tugas dan fungsinya, ide membangun lembaga baru adalah naif, mencerminkan ketidakcukupan informasi memahami soal struktural yang melekat pada lembaga yang bermasalah. Dengan demikian, jika usul ini ditelan mentah-mentah tanpa evaluasi mendalam terhadap masalah sebenarnya, pembentukan Densus Antikorupsi tak hanya berpotensi menghamburkan anggaran negara, tetapi juga dapat melahirkan predator baru yang berkarakter sama dengan problem yang akan diselesaikan: korupsi.

Sama halnya dengan persoalan di lembaga negara lainnya. Kepolisian juga memiliki masalah krusial terkait dengan lemahnya kultur integritas personelnya. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk mencapai dua tujuan sekaligus—akumulasi kesejahteraan pribadi dan menjaga prestise individu melalui kontribusi material kepada organisasi dan staf—tampaknya telah mengakar dalam berbagai jenjang jabatan dan posisi.

Kasus penyelewengan kekuasaan yang melibatkan Djoko Susilo, mantan Kepala Korlantas Mabes Polri, yang dituntut dua dakwaan sekaligus—korupsi dan pencucian uang—jadi salah satu bukti aktual yang menegaskan persoalan integritas yang buruk.

Merebaknya indikasi praktik penyalahgunaan wewenang dan jabatan di Mabes Polri juga turut disuburkan oleh lemahnya kode etik yang membentengi personel kepolisian dari potensi penyimpangan. Hubungan mesra petinggi polisi, terutama dengan pengusaha, baik di tingkat pusat maupun daerah, sikap permisif terhadap ”sumbangan masyarakat” membantu kepolisian dan kecenderungan membiarkan praktik ”bisnis informal” personel kepolisian secara kelembagaan mencerminkan lemahnya aturan kode etik yang berlaku. Karena tak memadainya kode etik, sulit mengharapkan mekanisme pendisiplinan ditegakkan.

Kepolisian juga mengalami ”birokratisasi” fungsi akibat dari sejumlah wewenang yang tak berkaitan langsung dengan fungsi utama Polri sebagai aparat penegak hukum. Atribut wewenang mengelola SIM, administrasi kepemilikan kendaraan, dan pengelolaan pendapatan negara dari dua sektor itu menyebabkan sumber daya kepolisian banyak diarahkan untuk pelaksanaan fungsi administrasi.

Pada saat bersamaan, personel kepolisian tidak didesain menjalankan kerja administrasi keuangan. Alih keterampilan dari penegak hukum ke pekerja administrasi bukan hanya melahirkan persoalan orientasi lembaga, melainkan juga profesionalitas personelnya. Masalahnya, kerja-kerja administrasi dalam urusan dengan SIM dan administrasi kepemilikan kendaraan justru sumber kemakmuran bagi segelintir pejabat polisi.

Alih-alih mengharapkan kepolisian serius memberantas ko- rupsi (agaknya masalah utama yang harus diselesaikan lembaga ini) adalah masalah internalnya. Namun, kepolisian tak bisa diminta menyelesaikan masalahnya sendiri karena hal itu lahir dan terakumulasi dari berbagai macam kebijakan politik pada era reformasi. Daripada menyodorkan resep membentuk Densus Antikorupsi yang terkesan mentereng, anggota parlemen diharapkan memikirkan hal strategis dalam rangka restrukturisasi wewenang dan fungsi kepolisian.

Polisi profesional

Mengembalikan fungsi utama kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang profesional adalah isu strategis dalam ranah kebijakan publik. Dengan demikian, syarat bagi polisi agar profesional sebagai aparat penegak hukum tak bisa dilepaskan dari dua persoalan di atas: pendisiplinan kode etik dan mengeluarkan Polri dari jebakan birokratisasi.

Untuk yang terakhir, solusinya adalah melepaskan wewenang pengurusan SIM dan administrasi kepemilikan kendaraan. Komisi III DPR dapat menginisiasi upaya reformasi ini melalui revisi UU Kepolisian dan regulasi terkait lainnya. Adapun upaya pendisiplinan kode etik di dalam kepolisian dapat dimulai dari penyusunan substansi kode etik yang lebih operasional dalam penjabaran dan praktiknya. Komisi Kepolisian Nasional dapat dilibatkan jadi salah satu unsur dalam mendorong perbaikan ini.

Publik tentu mendukung anggaran dan wewenang kepolisian menangani perkara korupsi disetarakan dengan KPK. Hanya saja, hal itu memerlukan prakondisi yang memungkinkan pemanfaatan dua hal itu menjadi lebih efektif dan efisien: reformasi internal Polri. Tanpa upaya ini, yang berarti perlu intervensi kebijakan publik melalui parlemen dan pemerintah, Densus Antikorupsi sebagai resep tak akan sanggup mengembalikan kepercayaan publik yang luntur kepada Polri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar