Rabu, 13 November 2013

Menuntut Akuntabilitas Pendidikan

Menuntut Akuntabilitas Pendidikan
Kreshna Aditya  ;   Inisiator Bincang Edukasi, Pemerhati Pendidikan
MEDIA INDONESIA,  11 November 2013
  

 PRO-kontra tentang ujian nasional (UN) sebagai ujian kelulusan bagi siswa masih terus berlanjut, lebih-lebih dengan munculnya rencana pemerintah menjadikan UN sebagai alat untuk mengukur indeks kompetensi sekolah alih-alih mengoptimalkan proses akreditasi sekolah.

Salah satu argumen yang diajukan pemerintah dalam mempertahankan UN sebagai syarat kelulusan ialah amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20/2003 dan sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah. 

Dalam tulisan di Media Indonesia (28/10), Sukemi, Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi dan Media, menjelaskan UU Sisdiknas yang diinterpretasikan mengamanatkan UN sebagai syarat kelulusan. Mari kita kaji.

Mengungkap fakta

Dalam UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 58 dijelaskan dua macam evaluasi. Ayat 1 berbunyi, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

Kata-kata kuncinya ialah `hasil belajar' yang berujung pada ketuntasan belajar atau kelulusan. Tidak ada kontroversi dalam ayat itu. Sukemi dalam tulisannya lalu menyatakan mereka yang kontra-UN sebagai alat kelulusan sering `menyembunyikan fakta' Pasal 58 ayat 2 dalam diskursus tentang UN. 
Padahal, justru ayat tersebut sudah sering diungkapkan tanpa perlu disembunyikan. Bunyinya, evaluasi peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemis untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Bagian yang membedakan ayat itu dengan ayat sebelumnya ialah kata-kata `untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan'. Jelas bahwa dua ayat dalam Pasal 58 UU Sisdiknas itu menunjukkan tujuan evaluasi yang berbeda. Satu untuk menilai hasil belajar peserta didik, satu lagi untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Pertanyaannya, pencapaian standar nasional pendidikan ialah akuntabilitas siapa? Pemerintah, tentu saja.

Maka Pasal 58 ayat 2 dalam UU Sisdiknas sesungguhnya mengamanatkan evaluasi terhadap kinerja pemerintah oleh lembaga mandiri, bukan menghakimi ketuntasan hasil belajar siswa seperti yang diatur pada Pasal 58 ayat 1. Bila belum cukup jelas dalam Pasal 58 bahwa ujian kelulusan ialah wewenang pendidik dan sekolah, Pasal 61 ayat 2, yang jarang dibahas, kembali mempertegasnya, `Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi'.

Sungguh tepat salah satu poin yang ditulis Sukemi, yaitu dalam memahami pasal-pasal suatu UU memang kita harus melihatnya sebagai kesatuan utuh. Itu pula sebabnya dalam Konvensi UN lalu mengemuka usulan dari mereka yang pro-UN untuk memasukkan katakata `ujian nasional' secara eksplisit ke perubahan UU Sisdiknas karena pada kenyataannya memang UU Sisdiknas saat ini tidak mengamanatkan UN sebagai syarat kelulusan seperti telah diuraikan. Beda soal bila kita bicara dalam tataran peraturan pemerintah yang memang digunakan untuk melegitimasi UN.

Selanjutnya, penilaian hasil kinerja pemerintah seperti amana UU Sisdiknas Pasal 58 ayat 2 bisa dilakukan melalui badan penilaian pendidikan yang bekerja di bawah dewan pendidikan nasional. Sayangnya kedua lembaga ini justru tidak segera dibentuk pemerintah. Padahal, jika isu akuntabilitas dinilai sungguh-sungguh penting dan bukan sekadar pemanis bibir, dua lembaga itulah yang akan berperan penting. Lepas dari perdebatan soal dasar hukum, pertanyaan mendasar lain yang perlu dikaji ialah bagaimanakah akuntabilitas pendidikan seharusnya diukur? Apakah UN dalam posisinya saat ini efektif sebagai alat akuntabilitas pendidikan? 
Adakah model-model akuntabilitas yang tidak hanya bertumpu pada UN?

Mencari model akuntabilitas

Sesungguhnya ada begitu banyak model akuntabilitas yang tidak berfokus pada ujian standar berisiko tinggi bagi pelaku pendidikan. Salah satunya seperti dikonsepkan Ken Jones, Guru Besar University of Southern Maine bidang pendidikan. Ia memulai dengan mengajukan pertanyaan mendasar; apa saja yang sebenarnya harus menjadi tanggung jawab sekolah?
Menurut penelitiannya, ada lima area yang selayaknya menjadi akuntabilitas sekolah, yaitu kese atan fisik dan emosional siswa, pembelajaran siswa, pembelajaran guru, akses dan kesetaraan, serta usaha peningkatan kualitas secara terus menerus.

Sayangnya di negara kita akuntabilitas pendidikan selama ini terlalu disempitkan pada pembelajaran siswa, itu pun hanya pada pemahaman mata pelajaran. Karena itu, hanya bagian itulah yang dihargai dan diperhatikan pelaku pendidikan. Padahal, pembelajaran siswa perlu diartikan secara luas, termasuk `keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup dalam masyarakat demokratis'.

Pemahaman luas tentang area akuntabilitas sekolah itu telah diadopsi negara seperti Finlandia. Namun, yang mengejutkan, China yang selama ini dikenal memiliki sistem pendidikan yang berfokus pada tes juga bertekad mereformasi model evaluasi pendidikan mereka secara mendasar. Juni lalu, pemerintah China mengeluarkan panduan bagi pemerintah daerah untuk mereformasi sistem evaluasi yang biasa digunakan untuk menilai kualitas pendidikan. Kerangka penilaian baru itu diberi istilah ‘evaluasi hijau’ dengan penekanan utama pada pengurangan ketergantungan pada tes standar.

Ada lima area yang menjadi perhatian dalam perubahan penilaian kualitas pendidikan China, yaitu perkembangan moral siswa, perkembangan akademik, kesehatan jiwa dan raga, perkembangan minat dan bakat unik, serta pengurangan beban akademik. Kini sekolah-sekolah di China tidak lagi boleh dinilai hanya dari hasil ujian akhir para siswa.

Pertanyaan berikutnya yang diajukan Ken Jones ialah; kepada siapa sekolah bertanggung jawab? Menurutnya, akuntabilitas sebuah sekolah bukanlah kepada pemerintah, melainkan kepada klien utama mereka, yaitu siswa, orangtua, dan komunitas lokal.

Akuntabilitas pendidikan juga perlu bersifat timbal-balik. Setiap elemen dalam sistem memiliki beban dan bentuk tanggung jawab yang berbeda terhadap elemen lain. Bukan hanya siswa yang bertanggung jawab memastikan dirinya memuaskan keinginan pemerintah, melainkan juga seluruh elemen secara berimbang ditentukan dan dituntut memenuhi akuntabilitas mereka.

Begitu banyak alat akuntabilitas pendidikan yang dapat digunakan dalam sistem keseluruhan yang lebih berimbang. School quality reviews (SQR), misalnya, digunakan di Inggris dan Selandia Baru. Dalam SQR, penilai profesional melakukan evaluasi sekolah secara mendalam setiap 4-5 tahun. Hasilnya berupa laporan dan rekomendasi perbaikan. Sekolah yang memerlukan bantuan khusus akan dievaluasi secara lebih intensif.

Alat akuntabilitas lain ialah classroom evidence of learning. Model itu mengevaluasi sekolah berdasar hasil karya nyata siswa, misal proyek riset, presentasi oral, karya esai, serta pemecahan masalah dalam situasi nyata. Kemampuan kognitif tingkat tinggi serta pemelajaran mendalam akan mampu tercandra dengan alat ini.

Dalam model akuntabilitas berimbang ini, sekolah dituntut membuat laporan tahunan kepada masyarakat dan komunitas lokal, dengan menggunakan indikator tertentu yang berfokus pada kesetaraan kesempatan dan akses pengetahuan bagi seluruh siswa.

Kepercayaan pada para pendidik diberikan dengan membangun sistem akuntabilitas di tingkat lokal. Pemerintah membantu memampukan para pendidik di sekolah untuk melakukan evaluasi yang bersifat autentik dan menunjang proses pembelajaran. Tes standar tetap digunakan oleh negara, utamanya untuk mengukur kecakapan literasi dan numerasi, tetapi terbatas sebagai alat pemetaan yang tidak dilakukan di kelas terminal (di Indonesia: kelas 6, 9, dan 12). Pemetaan yang dilakukan sebelum kelas terminal memberikan kesempatan siswa merasakan perbaikan yang dilakukan.

Dengan menilik berbagai model alternatif itu, UN, dalam kapasitasnya sebagai alat pemetaan, tetap dapat menjadi salah satu bagian berharga dari sistem akuntabilitas yang berimbang. Namun, itu jelas bukan satu-satunya serta bukan fokus utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar