PRO-kontra tentang ujian nasional (UN) sebagai ujian kelulusan
bagi siswa masih terus berlanjut, lebih-lebih dengan munculnya rencana
pemerintah menjadikan UN sebagai alat untuk mengukur indeks kompetensi
sekolah alih-alih mengoptimalkan proses akreditasi sekolah.
Salah satu argumen yang diajukan pemerintah
dalam mempertahankan UN sebagai syarat kelulusan ialah amanat UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20/2003 dan sebagai bentuk akuntabilitas
pemerintah.
Dalam tulisan di Media Indonesia (28/10), Sukemi, Staf Khusus
Mendikbud Bidang Komunikasi dan Media, menjelaskan UU Sisdiknas yang
diinterpretasikan mengamanatkan UN sebagai syarat kelulusan. Mari kita
kaji.
Mengungkap fakta
Dalam UU Sisdiknas No 20/2003 Pasal 58
dijelaskan dua macam evaluasi. Ayat 1 berbunyi, evaluasi hasil belajar
peserta didik dilakukan pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Kata-kata kuncinya ialah `hasil belajar'
yang berujung pada ketuntasan belajar atau kelulusan. Tidak ada kontroversi
dalam ayat itu. Sukemi dalam tulisannya lalu menyatakan mereka yang
kontra-UN sebagai alat kelulusan sering `menyembunyikan fakta' Pasal 58
ayat 2 dalam diskursus tentang UN.
Padahal, justru ayat tersebut sudah
sering diungkapkan tanpa perlu disembunyikan. Bunyinya, evaluasi peserta
didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan lembaga mandiri
secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemis untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.
Bagian yang membedakan ayat itu dengan ayat
sebelumnya ialah kata-kata `untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan'. Jelas bahwa dua ayat dalam Pasal 58 UU Sisdiknas itu
menunjukkan tujuan evaluasi yang berbeda. Satu untuk menilai hasil belajar
peserta didik, satu lagi untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan. Pertanyaannya, pencapaian standar nasional pendidikan ialah
akuntabilitas siapa? Pemerintah, tentu saja.
Maka Pasal 58 ayat 2 dalam UU Sisdiknas
sesungguhnya mengamanatkan evaluasi terhadap kinerja pemerintah oleh
lembaga mandiri, bukan menghakimi ketuntasan hasil belajar siswa seperti
yang diatur pada Pasal 58 ayat 1. Bila belum cukup jelas dalam Pasal 58
bahwa ujian kelulusan ialah wewenang pendidik dan sekolah, Pasal 61 ayat 2,
yang jarang dibahas, kembali mempertegasnya, `Ijazah diberikan kepada
peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau
penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi'.
Sungguh tepat salah satu poin yang ditulis
Sukemi, yaitu dalam memahami pasal-pasal suatu UU memang kita harus
melihatnya sebagai kesatuan utuh. Itu pula sebabnya dalam Konvensi UN lalu
mengemuka usulan dari mereka yang pro-UN untuk memasukkan katakata `ujian
nasional' secara eksplisit ke perubahan UU Sisdiknas karena pada
kenyataannya memang UU Sisdiknas saat ini tidak mengamanatkan UN sebagai
syarat kelulusan seperti telah diuraikan. Beda soal bila kita bicara dalam
tataran peraturan pemerintah yang memang digunakan untuk melegitimasi UN.
Selanjutnya, penilaian hasil kinerja
pemerintah seperti amana UU Sisdiknas Pasal 58 ayat 2 bisa dilakukan
melalui badan penilaian pendidikan yang bekerja di bawah dewan pendidikan
nasional. Sayangnya kedua lembaga ini justru tidak segera dibentuk
pemerintah. Padahal, jika isu akuntabilitas dinilai sungguh-sungguh penting
dan bukan sekadar pemanis bibir, dua lembaga itulah yang akan berperan penting. Lepas
dari perdebatan soal dasar hukum, pertanyaan mendasar lain yang perlu
dikaji ialah bagaimanakah akuntabilitas pendidikan
seharusnya diukur? Apakah UN dalam
posisinya saat ini efektif sebagai alat akuntabilitas pendidikan?
Adakah
model-model akuntabilitas yang tidak hanya bertumpu pada UN?
Mencari model
akuntabilitas
Sesungguhnya ada begitu banyak model
akuntabilitas yang tidak berfokus pada ujian standar berisiko tinggi bagi
pelaku pendidikan. Salah satunya seperti dikonsepkan Ken Jones, Guru Besar
University of Southern Maine bidang pendidikan. Ia memulai dengan
mengajukan pertanyaan mendasar; apa saja yang sebenarnya harus menjadi
tanggung jawab sekolah?
Menurut penelitiannya, ada lima area yang selayaknya
menjadi akuntabilitas sekolah, yaitu kese atan fisik dan emosional siswa,
pembelajaran siswa, pembelajaran guru, akses dan kesetaraan, serta usaha
peningkatan kualitas secara terus menerus.
Sayangnya di negara kita akuntabilitas
pendidikan selama ini terlalu disempitkan pada pembelajaran siswa, itu pun
hanya pada pemahaman mata pelajaran. Karena itu, hanya bagian itulah yang
dihargai dan diperhatikan pelaku pendidikan. Padahal, pembelajaran siswa
perlu diartikan secara luas, termasuk `keterampilan yang dibutuhkan untuk
hidup dalam masyarakat demokratis'.
Pemahaman luas tentang area akuntabilitas
sekolah itu telah diadopsi negara seperti Finlandia. Namun, yang
mengejutkan, China yang selama ini dikenal memiliki sistem pendidikan yang
berfokus pada tes juga bertekad mereformasi model evaluasi pendidikan
mereka secara mendasar. Juni lalu, pemerintah China mengeluarkan panduan
bagi pemerintah daerah untuk mereformasi sistem evaluasi yang biasa
digunakan untuk menilai kualitas pendidikan. Kerangka penilaian baru itu
diberi istilah ‘evaluasi hijau’ dengan penekanan utama pada pengurangan
ketergantungan pada tes standar.
Ada lima area yang menjadi perhatian dalam
perubahan penilaian kualitas pendidikan China, yaitu perkembangan moral
siswa, perkembangan akademik, kesehatan jiwa dan raga, perkembangan minat
dan bakat unik, serta pengurangan beban akademik. Kini sekolah-sekolah di
China tidak lagi boleh dinilai hanya dari hasil ujian akhir para siswa.
Pertanyaan berikutnya yang diajukan Ken
Jones ialah; kepada siapa sekolah bertanggung jawab? Menurutnya,
akuntabilitas sebuah sekolah bukanlah kepada pemerintah, melainkan kepada
klien utama mereka, yaitu siswa, orangtua, dan komunitas lokal.
Akuntabilitas pendidikan juga perlu bersifat
timbal-balik. Setiap elemen dalam sistem memiliki beban dan bentuk tanggung
jawab yang berbeda terhadap elemen lain. Bukan hanya siswa yang bertanggung
jawab memastikan dirinya memuaskan keinginan pemerintah, melainkan juga
seluruh elemen secara berimbang ditentukan dan dituntut memenuhi
akuntabilitas mereka.
Begitu banyak alat akuntabilitas pendidikan
yang dapat digunakan dalam sistem keseluruhan yang lebih berimbang. School quality reviews (SQR),
misalnya, digunakan di Inggris dan Selandia Baru. Dalam SQR, penilai
profesional melakukan evaluasi sekolah secara mendalam setiap 4-5 tahun. Hasilnya
berupa laporan dan rekomendasi perbaikan. Sekolah yang memerlukan bantuan
khusus akan dievaluasi secara lebih intensif.
Alat akuntabilitas lain ialah classroom evidence of learning.
Model itu mengevaluasi sekolah berdasar hasil karya nyata siswa, misal
proyek riset, presentasi oral, karya esai, serta pemecahan masalah dalam
situasi nyata. Kemampuan kognitif tingkat tinggi serta pemelajaran mendalam
akan mampu tercandra dengan alat ini.
Dalam model akuntabilitas berimbang ini,
sekolah dituntut membuat laporan tahunan kepada masyarakat dan komunitas
lokal, dengan menggunakan indikator tertentu yang berfokus pada kesetaraan
kesempatan dan akses pengetahuan bagi seluruh siswa.
Kepercayaan pada para pendidik diberikan
dengan membangun sistem akuntabilitas di tingkat lokal. Pemerintah membantu
memampukan para pendidik di sekolah untuk melakukan evaluasi yang bersifat
autentik dan menunjang proses pembelajaran. Tes standar tetap digunakan
oleh negara, utamanya untuk mengukur kecakapan literasi dan numerasi,
tetapi terbatas sebagai alat pemetaan yang tidak dilakukan di kelas
terminal (di Indonesia: kelas 6, 9, dan 12). Pemetaan yang dilakukan
sebelum kelas terminal memberikan kesempatan siswa merasakan perbaikan yang
dilakukan.
Dengan menilik berbagai model alternatif
itu, UN, dalam kapasitasnya sebagai alat pemetaan, tetap dapat menjadi
salah satu bagian berharga dari sistem akuntabilitas yang berimbang. Namun,
itu jelas bukan satu-satunya serta bukan fokus utama.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar