Rabu, 13 November 2013

Akuntabilitas dalam Pendidikan

Akuntabilitas dalam Pendidikan
Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  11 November 2013
  

AKUNTABILITAS kerap dimaknai sebagai pertanggungjawaban seseorang atau lembaga terhadap apa yang telah dilakukan. Karena itu, bentuk akuntabilitas akan terpulang pada seperangkat ekspektasi yang ada dan berkembang di dalam masyarakat, seperti nilai-nilai, norma, dan pandangan hidup yang dianut berdasarkan sistem nilai, tradisi, budaya, dan kebiasaan sebuah masyarakat. Begitulah yang terjadi dengan dunia pendidikan saat ini seantero dunia, saat publik selalu menuntut bentuk akuntabilitas yang relevan di bidang pendidikan.

Jo Anne Anderson dalam Accountability in Education (2005) menyebutkan setidaknya ada tiga bentuk akuntabilitas pendidikan yang berkembang saat ini. Pertama, bentuk akuntabilitas yang didorong sekadar untuk memenuhi aturan yang berlaku dalam sebuah sistem pendidikan (compliance with regulations). Titik tekan pada akuntabilitas jenis ini biasanya sangat kaku dan birokratis karena aturan dibuat biasanya hanya untuk menguntungkan kelompok tertentu.

Kedua ialah jenis akuntabilitas pendidikan yang didorong untuk memenuhi profesionalisme setiap orang yang terlibat dalam proses perencanaan dan pengembangan program-program pendidikan (adherence to professionalism). Meskipun terlihat ideal, akuntabilitas jenis ini selalu dipenuhi rambu-rambu akademik yang juga kaku dan kurang menghargai proses. Namun sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban, akuntabilitas jenis ini relatif bisa diubah dengan cepat karena bisa jadi sangat bersifat lokal, misalnya sekolah dan kampus.

Jenis ketiga akuntabilitas pendidikan ialah sebuah rangkaian penilaian yang berorientasi pada kinerja atau hasil yang diperoleh oleh sebuah lembaga atau individu (results-driven). Akuntabilitas jenis ini lebih menekankan pada aspek hasil yang dicapai dari sebuah rangkaian proses yang sebelumnya sudah ditetapkan standarnya. Artinya, bentuk penilaian jenis ini memerlukan kombinasi dua pendekatan lainnya karena hasil selalu harus diukur oleh standar kinerja yang biasanya diputuskan oleh peraturan yang dibuat.

Para pendidik, hampir dapat dipastikan, telah bekerja dalam balutan ketiga jenis akuntabilitas pendidikan tersebut. Setiap negara di dunia memiliki skenario dan kebijakan sendiri-sendiri berdasarkan pengalaman dan tuntutan global. Hanya, yang perlu diperhatikan, mana jenis akuntabilitas yang paling banyak diterapkan, termasuk di Indonesia? Untuk kasus Indonesia, akuntabilitas dilakukan lebih banyak didasarkan pada interpretasi aturan secara sepihak.

Kasus ujian nasional (UN) merupakan salah satu contoh terbaik bahwa bentuk akuntabilitas pendidikan yang dianut sistem pendidikan kita adalah kepatuhan terhadap aturan, dan lebih banyak mengejar akuntabilitas siswa melalui ujian. Padahal, untuk mengetahui secara komprehensif sebuah hasil proses belajar-mengajar tidak cukup hanya dengan melihat hasilnya, tetapi juga harus menimbang dasar-dasar penegakan profesionalisme kependidikan seperti sarana dan prasarana pendidikan, kompetensi dan profesional guru, serta birokrasi yang sehat. Yang sering terlupakan dalam menuntut akuntabilitas pendidikan ialah bagaimana memasukkan peran serta dan tanggung jawab masyarakat sebagai bagian yang juga harus dipertanggungjawabkan oleh komunitas sekolah.

Eksistensi sekolah

Jika sekolah dipercayai sebagai tempat untuk menempa seseorang dalam mengembangkan kapasitas intelektual, tempat ribuan teks dan buku diajarkan dan dibaca secara reguler dan inspiratif melalui serangkaian proses belajar mengajar yang baik, tak mengherankan jika sampai saat ini masih banyak orang menaruh harapan terhadap eksistensi sekolah. 

Meskipun sekolah kerap dikritik sebagai tempat atau karantina yang mungkin saja membelenggu kebebasan manusia dalam berekspresi (deschooling society), hingga saat ini hanya lembaga itulah (sekolah) yang di luar keluarga (family) masih memiliki kekuatan melakukan perubahan, baik terhadap perorangan maupun kelompok.

Pentingnya mengembalikan peran masyarakat agar bertanggung jawab terhadap persoalan pendidikan di tingkat sekolah/lokal melalui sebuah program pemberdayaan yang terstruktur dan sistematis merupakan tuntutan yang harus dipenuhi pemerintah. Jika masyarakat paham tentang penahapan perencanaan pendidikan, mengetahui arah dan tujuan sekolah, mengerti meski sedikit tentang performance indicators baik yang berkaitan dengan siswa dan guru, serta paham tentang arah pengembangan kurikulum, sekolah pasti akan memperoleh dukungan yang baik (Boyd and Claycomb, 1994).

Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling tidak mencakup program pemberdayaan orangtua (parent empowerment) serta kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and teachers collaborate equitably). Dalam banyak penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua berupa kemitraan sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership) merupakan strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar terhadap hasil belajar siswa (Bauch and Goldring, 1998).

Dari program pemberdayaan itu akan muncul kesimpulan, apakah misalnya sebuah sekolah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip pembiayaan yang berorientasi pasar atau dibangun berdasarkan kemampuan masyarakat itu sendiri. Di tengah desakan liberalisasi ekonomi yang merambah hingga ke jantung sekolah, pola partnership sekolah dan masyarakat adalah pilihan strategis dan fundamental untuk menentukan posisi masyarakat dan sekolah secara bersamaan.

Posisi tawar masyarakat terhadap kualitas sekolah, dengan demikian, harus terus digiring ke arah pertumbuhan yang sesuai dengan tingkat kemampuan pembiayaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hal itu diharapkan akan menjadi pertanda bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak kasus ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan kebijakan sekolah, maka akan semakin baik kualitas sebuah proses pendidikan akan berlangsung (Resnick, 2000). Inilah bentuk akuntabilitas pendidikan keempat yang diperlukan oleh kita semua, yaitu menjadikan masyarakat berdaya dalam menilai kinerja sekolah di lingkungan mereka masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar