"Hukuman
Tuhan terhadap manusia sebenarnya bukan berdasarkan atas dosa, seperti yang
dijelaskan teologi"
BENCANA alam badai Haiyan melanda
Filipina pada 8 November 2013. Dampaknya pun cukup mengerikan, diperkirakan
10 ribu orang tewas. Badai dahsyat itu melalap habis enam pulau. Banyak
bangunan dan perumahan hancur. Sebagian besar korban tewas terjadi di Pulau
Leyte (SM, 11/11/13). Efek yang ditimbulkan kerap disamakan dengan bencana
tsunami Aceh tahun 2004.
Bencana juga terjadi di Indonesia. Akihr
pekan lalu, helikopter Mi-17 milik TNI AD jatuh di Desa Long Pujungan
Kecamatan Baku Hulu Kabupaten Malinau Kalimantan Timur, diduga akibat
hempasan angin kencang (suaramerdeka.com). Berbagai bencana membuat kita
bertanya. Apakah kesalahan manusia sehingga Tuhan murka? Ataukah seperti
kata Ebiet bahwa alam tak lagi bersahabat dengan kita?
Pertanyaan mengenai Tuhan dan alam makin
membuktikan bahwa manusia memang benar-benar teralienasi dari
lingkungannya. Padahal, peradaban manusia sekarang makin mendukung manusia
untuk lebih mengetahui alam. Perkembangan peradaban itu terbukti dari makin
majunya teknologi dan tumbuhnya kesadaran manusia dalam hidup beragama.
Proses perkembangan itu bergerak dari pemikiran alam mitos, logos, hingga
kemudian fungsional, seperti digambarkan oleh Van Peurson dalam Strategi
Kebudayaan.
Kenyataannya, kemajuan teknologi ternyata masih tidak
mengungkapkan apa maunya Tuhan dan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap
alam.
Makhluk
Berakal
Memahami persoalan tentang Tuhan dan alam
bukanlah persoalan mudah. Pertanyaan klasik mengenai soal ini dibahas dalam
Teori Teodecy; menyangkut keberadaan dan keadilan Tuhan. Jika Tuhan ada,
mengapa Ia membiarkan kejahatan dan bencana alam terjadi?
Bantahan paling mudah untuk menjawab
pertanyaan itu muncul dari kaum ateis. Mereka menyatakan bahwa Tuhan memang
tidak ada. Tentu jawaban ini tidaklah memuaskan secara rasional. Ditambah
tidak cocok secara ideologi, karena bangsa ini adalah bangsa yang bertuhan
dalam ideologinya.
Penjelasan yang setidak-tidaknya
mendekati rasional ditampilkan oleh John Hick dalam Philosophy of Religion.
Ia menyatakan bahwa Tuhan sebenarnya menciptakan manusia dengan berproses.
Proses itu dimaknai dengan perkembangan moral manusia, yang disebut John
Hick sebagai soul-making.
Bagi Hick, moral dan kecerdasan memang
membuat manusia mendapat predikat sempurna. Inilah yang membedakan manusia
dari makhluk lain. Binatang hanya bekerja dengan insting, malaikat pun
hanya bekerja sesuai perintah Tuhan. Berbeda dari manusia yang memiliki
kehendak bebas untuk menentukan nasib yang kerap disebut free will.
Jika diresapi melalui logika maka
kehendak bebas merupakan anugerah Tuhan yang paling besar mengingat
malaikat saja tidak memilikinya. Tapi, kehendak bebas yang dimaksudkan
bukanlah bebas nilai, karena selain memiliki kehendak bebas, manusia
dibekali seperangkat alat justifikasi berupa moral dan kecerdasan.
Persoalannya, moral dan kecerdasan
bukanlah sesuatu yang dapat langsung dipakai untuk menunjukkan mana yang
baik dan mana yang buruk, melainkan membutuhkan proses untuk sampai ke
taraf itu. Dalam beberapa dogma agama samawi, asal-muasal manusia dimulai
dari Adam dan Hawa. Mereka digambarkan hidup dalam kelimpahan surgawi.
Kehidupan mereka pun cukup bahagia, tidak ada kesedihan karena semua
kebutuhan terpenuhi.
Pada suatu peristiwa Adam dan Hawa
dihukum ke bumi karena memakan buah kuldi. Diceritakan bahwa buah kuldi
tersebut membuat mereka ”melek” akan pengetahuan. Mereka kemudian menyadari
bahwa diri mereka telanjang, dan timbul rasa malu di antara mereka. Mereka
kemudian diusir dari surga dan diturunkan ke dunia. Praktis kenyamanan yang
mereka miliki di surga hilang, berganti kerja keras yang harus mereka
lakukan di dunia untuk memenuhi kebutuhan.
Penjelasan teologi menempatkan peristiwa
ini sebagai kerugian bagi manusia. Ada pertanyaan kritis terkait persoalan
ini. Apakah Tuhan menyiapkan rencana kedua setelah kepergian mereka?
Ataukah hal itu terjadi di luar rencana-Nya?
Mungkin jawaban yang ditawarkan teologi
belum terlalu memuaskan karena landasan pemikirannya adalah iman. Sama
halnya jawaban yang ditawarkan oleh rasional. Namun, manusia sebagai
makhluk berakal harus mencoba memberikan alternatif jawaban meski hasilnya
tidak sepenuhnya selalu memuaskan.
Dalam hal ini, lagi-lagi pendapat Hick
patut disimak. Jika manusia ditempatkan pada surga sebagai state of nature
(kondisi alamiah) maka kemampuan manusia tidak akan berkembang. Logikanya
sederhana, dalam surga segala kebutuhan telah terpenuhi, maka tidak ada
ruang-ruang untuk mengembangkan kecerdasan dan moral manusia.
Keputusan Tuhan untuk menghukum manusia
sebenarnya bermaksud baik. Tujuannya adalah agar manusia lebih
mendayagunakan pikirannya, tidak hanya hidup dalam kelimpahan yang membuat
manusia tidak berkembang. Jadi, jika dipahami dengan cara seperti ini,
hukuman Tuhan terhadap manusia sebenarnya bukan berdasarkan atas dosa,
seperti yang dijelaskan teologi.
Justru hukuman itu adalah cara Tuhan
mendamaikan diri manusia dengan manusia sendiri, usaha pembangunan moral
dan kecerdasan. Hal ini pun tidak bertentangan dari teologi, karena teologi
juga mengajarkan di balik peristiwa pasti ada hikmahnya.
Persepsi manusia mengenai Tuhan memang
terbatas. Namun, bukan berarti keterbatasan itu menjadikan manusia sebagai
makhluk yang hanya menerima realitas sebagai take for granted. Manusia
memiliki kecerdasan dan moral yang harus digunakan sebagaimana bentuk
tanggung jawab kita terhadap Pencipta. Ya, di balik bencana pasti ada
hikmah yang bisa dipetik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar