Kamis, 21 November 2013

Menalar Hukuman dari Tuhan

Menalar Hukuman dari Tuhan
Banu Prasetyo  ;   Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat UGM,
Pemerhati persoalan budaya dan agama
SUARA MERDEKA,  20 November 2013



"Hukuman Tuhan terhadap manusia sebenarnya bukan berdasarkan atas dosa, seperti yang dijelaskan teologi"

BENCANA alam badai Haiyan melanda Filipina pada 8 November 2013. Dampaknya pun cukup mengerikan, diperkirakan 10 ribu orang tewas. Badai dahsyat itu melalap habis enam pulau. Banyak bangunan dan perumahan hancur. Sebagian besar korban tewas terjadi di Pulau Leyte (SM, 11/11/13). Efek yang ditimbulkan kerap disamakan dengan bencana tsunami Aceh tahun 2004.

Bencana juga terjadi di Indonesia. Akihr pekan lalu, helikopter Mi-17 milik TNI AD jatuh di Desa Long Pujungan Kecamatan Baku Hulu Kabupaten Malinau Kalimantan Timur, diduga akibat hempasan angin kencang (suaramerdeka.com). Berbagai bencana membuat kita bertanya. Apakah kesalahan manusia sehingga Tuhan murka? Ataukah seperti kata Ebiet bahwa alam tak lagi bersahabat dengan kita?

Pertanyaan mengenai Tuhan dan alam makin membuktikan bahwa manusia memang benar-benar teralienasi dari lingkungannya. Padahal, peradaban manusia sekarang makin mendukung manusia untuk lebih mengetahui alam. Perkembangan peradaban itu terbukti dari makin majunya teknologi dan tumbuhnya kesadaran manusia dalam hidup beragama. Proses perkembangan itu bergerak dari pemikiran alam mitos, logos, hingga kemudian fungsional, seperti digambarkan oleh Van Peurson dalam Strategi Kebudayaan. 

Kenyataannya, kemajuan teknologi ternyata masih tidak mengungkapkan apa maunya Tuhan dan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap alam.

Makhluk Berakal

Memahami persoalan tentang Tuhan dan alam bukanlah persoalan mudah. Pertanyaan klasik mengenai soal ini dibahas dalam Teori Teodecy; menyangkut keberadaan dan keadilan Tuhan. Jika Tuhan ada, mengapa Ia membiarkan kejahatan dan bencana alam terjadi?

Bantahan paling mudah untuk menjawab pertanyaan itu muncul dari kaum ateis. Mereka menyatakan bahwa Tuhan memang tidak ada. Tentu jawaban ini tidaklah memuaskan secara rasional. Ditambah tidak cocok secara ideologi, karena bangsa ini adalah bangsa yang bertuhan dalam ideologinya.

Penjelasan yang setidak-tidaknya mendekati rasional ditampilkan oleh John Hick dalam Philosophy of Religion. Ia menyatakan bahwa Tuhan sebenarnya menciptakan manusia dengan berproses. Proses itu dimaknai dengan perkembangan moral manusia, yang disebut John Hick sebagai soul-making.

Bagi Hick, moral dan kecerdasan memang membuat manusia mendapat predikat sempurna. Inilah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Binatang hanya bekerja dengan insting, malaikat pun hanya bekerja sesuai perintah Tuhan. Berbeda dari manusia yang memiliki kehendak bebas untuk menentukan nasib yang kerap disebut free will.

Jika diresapi melalui logika maka kehendak bebas merupakan anugerah Tuhan yang paling besar mengingat malaikat saja tidak memilikinya. Tapi, kehendak bebas yang dimaksudkan bukanlah bebas nilai, karena selain memiliki kehendak bebas, manusia dibekali seperangkat alat justifikasi berupa moral dan kecerdasan.

Persoalannya, moral dan kecerdasan bukanlah sesuatu yang dapat langsung dipakai untuk menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, melainkan membutuhkan proses untuk sampai ke taraf itu. Dalam beberapa dogma agama samawi, asal-muasal manusia dimulai dari Adam dan Hawa. Mereka digambarkan hidup dalam kelimpahan surgawi. Kehidupan mereka pun cukup bahagia, tidak ada kesedihan karena semua kebutuhan terpenuhi.

Pada suatu peristiwa Adam dan Hawa dihukum ke bumi karena memakan buah kuldi. Diceritakan bahwa buah kuldi tersebut membuat mereka ”melek” akan pengetahuan. Mereka kemudian menyadari bahwa diri mereka telanjang, dan timbul rasa malu di antara mereka. Mereka kemudian diusir dari surga dan diturunkan ke dunia. Praktis kenyamanan yang mereka miliki di surga hilang, berganti kerja keras yang harus mereka lakukan di dunia untuk memenuhi kebutuhan.

Penjelasan teologi menempatkan peristiwa ini sebagai kerugian bagi manusia. Ada pertanyaan kritis terkait persoalan ini. Apakah Tuhan menyiapkan rencana kedua setelah kepergian mereka? Ataukah hal itu terjadi di luar rencana-Nya?
Mungkin jawaban yang ditawarkan teologi belum terlalu memuaskan karena landasan pemikirannya adalah iman. Sama halnya jawaban yang ditawarkan oleh rasional. Namun, manusia sebagai makhluk berakal harus mencoba memberikan alternatif jawaban meski hasilnya tidak sepenuhnya selalu memuaskan.

Dalam hal ini, lagi-lagi pendapat Hick patut disimak. Jika manusia ditempatkan pada surga sebagai state of nature (kondisi alamiah) maka kemampuan manusia tidak akan berkembang. Logikanya sederhana, dalam surga segala kebutuhan telah terpenuhi, maka tidak ada ruang-ruang untuk mengembangkan kecerdasan dan moral manusia.

Keputusan Tuhan untuk menghukum manusia sebenarnya bermaksud baik. Tujuannya adalah agar manusia lebih mendayagunakan pikirannya, tidak hanya hidup dalam kelimpahan yang membuat manusia tidak berkembang. Jadi, jika dipahami dengan cara seperti ini, hukuman Tuhan terhadap manusia sebenarnya bukan berdasarkan atas dosa, seperti yang dijelaskan teologi. 

Justru hukuman itu adalah cara Tuhan mendamaikan diri manusia dengan manusia sendiri, usaha pembangunan moral dan kecerdasan. Hal ini pun tidak bertentangan dari teologi, karena teologi juga mengajarkan di balik peristiwa pasti ada hikmahnya.

Persepsi manusia mengenai Tuhan memang terbatas. Namun, bukan berarti keterbatasan itu menjadikan manusia sebagai makhluk yang hanya menerima realitas sebagai take for granted. Manusia memiliki kecerdasan dan moral yang harus digunakan sebagaimana bentuk tanggung jawab kita terhadap Pencipta. Ya, di balik bencana pasti ada hikmah yang bisa dipetik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar