LANGKAH tegas pemerintah Indonesia menarik
duta besarnya, Nadjib Riphat Kesoema dari Canberra Australia, meski
terlambat patut diapresiasi. Namun langkah itu harus dibarengi dengan
pemulangan Dubes Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, dari Jakarta.
Pemerintah Indonesia juga harus meminta klarifikasi resmi kepada pemerintah
Australia terkait dengan benar atau tidaknya aksi penyadapan terhadap
pembicaraan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ibu negara Ny Ani
Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah pejabat penting Indonesia
lainnya.
Ikhtiar itu penting guna
memperjelas persoalan dan mengungkap kebenaran aksi spionase itu. Setelah
semua jelas, clean dan clear, baru Dubes RI dikembalikan ke posnya di
Canberra. Penarikan Dubes RI dari Canberra pernah dilakukan Indonesia,
yakni pada 1995 terkait kasus Timor Timur, dan pada 2006 terkait pemberian
visa dari Australia kepada 42 warga Papua. Baru setelah pemerintah
Australia secara memberi klarifikasi dan situasi kondusif, Dubes RI
dikembalikan ke Negeri Kanguru tersebut.
Indonesia memang harus berani menunjukkan
diri sebagai negara berdaulat, negara yang menganut politik luar negeri
bebas aktif, dan negara yang menjaga dan menghormati etika persahabatan
antarnegara. Indonesia cinta perdamaian tapi lebih mencintai kemerdekaan
(kedaulatan), seperti juga dicita-citakan Bung Karno dalam Trisakti-nya.
Penerbitan
Perppu
Di pihak lain, demi kepentingan nasional,
DPR pasti akan mempertegas dukungannya kepada Kementerian Luar Negeri RI
supaya bersikap lebih tegas terhadap negara-negara asing, apalagi negara
sahabat seperti Australia.
Ketegasan itu dalam konteks berani mengambil
sikap dan menentukan siapa kawan dan siapa lawan, demi kehormatan dan harga
diri bangsa Indonesia terkait penyadapan terhadap pembicaraan Presiden RI,
yang merupakan simbol negara.
Aksi penyadapan oleh intelijen Australia
tersebut juga akibat dari politik luar negeri pemerintahan Presiden SBY
yang berprinsip thousand friends zero
enemy (seribu kawan tanpa lawan) yang naif dan utopis. Seharusnya,
pemerintahan Presiden SBY menyadari bahwa karakter hubungan internasional
secara universal memang lebih realistis ketimbang idealis-utopis.
Politik luar negeri dan politik
pertahanan keamanan negara memang seharusnya mengedepankan prinsip realisme
politik yang berbasiskan kepentingan nasional. Untuk itu, apa pun wajib
dilakukan oleh suatu negara, termasuk Indonesia, demi membela kepentingan
nasionalnya.
Prinsip seperti itu lazim dipraktikkan oleh negara mana pun di dunia ini
dengan pemimpin-pemimpinnya yang rasional, dari dulu hingga sekarang, dan
tidak akan pernah berubah. Karena itu, kasus penyadapan pembicaraan telepon
harus menyadarkan pemerintah kita dan jajaran diplomasinya untuk lebih
realistis terhadap hubungan internasional modern, ketimbang mengedepankan
politik luar negeri “thousand friends
zero enemy” yang sekadar lips
services.
Belajar dari kasus penyadapan oleh
Australia ini, dan mungkin juga oleh Amerika Serikat, sekaligus untuk
merespons dinamika skandal global penyadapan dan spionase, serta demi
mengantisipasi terulangnya penyadapan, secara yuridis diperlukan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penyadapan.
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK)
mengeluarkan keputusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang menyatakan Pasal 31
Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, telah
terjadi kekosongan hukum yang khusus mengatur tentang penyadapan. Mahkamah
Konstitusi juga berpendapat bahwa perlu dibuat undang-undang khusus, yang
mengatur hukum tentang penyadapan, yang dilakukan oleh lembaga yang diberi
wewenang.
Kekosongan hukum ini, sebelum dibuat
undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan, dapat dipergunakan
sebagai hal ihwal kegentingan yang memaksa bagi Presiden SBY untuk
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Penyadapan. Kebijakan itu sesuai dengan amanat
Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945, dan Pasal 1 Butir 4 UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 sudah tegas
menyatakan, ”Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang.” Pasal 1 Butir 4 UU Nomor 12 Tahun
2011 menyatakan, ”peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar