Kamis, 21 November 2013

Pulangkan Dubes Australia

Pulangkan Dubes Australia
Tjahjo Kumolo  Anggota Komisi I (Bidang Pertahanan, Intelijen, dan Luar Negeri) DPR
SUARA MERDEKA,  20 November 2013



LANGKAH tegas pemerintah Indonesia menarik duta besarnya, Nadjib Riphat Kesoema dari Canberra Australia, meski terlambat patut diapresiasi. Namun langkah itu harus dibarengi dengan pemulangan Dubes Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, dari Jakarta. Pemerintah Indonesia juga harus meminta klarifikasi resmi kepada pemerintah Australia terkait dengan benar atau tidaknya aksi penyadapan terhadap pembicaraan telepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ibu negara Ny Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah pejabat penting Indonesia lainnya.

Ikhtiar itu  penting guna memperjelas persoalan dan mengungkap kebenaran aksi spionase itu. Setelah semua jelas, clean dan clear, baru Dubes RI dikembalikan ke posnya di Canberra. Penarikan Dubes RI dari Canberra pernah dilakukan Indonesia, yakni pada 1995 terkait kasus Timor Timur, dan pada 2006 terkait pemberian visa dari Australia kepada 42 warga Papua. Baru setelah pemerintah Australia secara memberi klarifikasi dan situasi kondusif, Dubes RI dikembalikan ke Negeri Kanguru tersebut.

Indonesia memang harus berani menunjukkan diri sebagai negara berdaulat, negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif, dan negara yang menjaga dan menghormati etika persahabatan antarnegara. Indonesia cinta perdamaian tapi lebih mencintai kemerdekaan (kedaulatan), seperti juga dicita-citakan Bung Karno dalam Trisakti-nya.

Penerbitan Perppu

Di pihak lain, demi kepentingan nasional, DPR pasti akan mempertegas dukungannya kepada Kementerian Luar Negeri RI supaya bersikap lebih tegas terhadap negara-negara asing, apalagi negara sahabat seperti Australia. 

Ketegasan itu dalam konteks berani mengambil sikap dan menentukan siapa kawan dan siapa lawan, demi kehormatan dan harga diri bangsa Indonesia terkait penyadapan terhadap pembicaraan Presiden RI, yang merupakan simbol negara.

Aksi penyadapan oleh intelijen Australia tersebut juga akibat dari politik luar negeri pemerintahan Presiden SBY yang berprinsip thousand friends zero enemy (seribu kawan tanpa lawan) yang naif dan utopis. Seharusnya, pemerintahan Presiden SBY menyadari bahwa karakter hubungan internasional secara universal memang lebih realistis ketimbang idealis-utopis.

Politik luar negeri dan politik pertahanan keamanan negara memang seharusnya mengedepankan prinsip realisme politik yang berbasiskan kepentingan nasional. Untuk itu, apa pun wajib dilakukan oleh suatu negara, termasuk Indonesia, demi membela kepentingan nasionalnya. 

Prinsip seperti itu lazim dipraktikkan oleh negara mana pun di dunia ini dengan pemimpin-pemimpinnya yang rasional, dari dulu hingga sekarang, dan tidak akan pernah berubah. Karena itu, kasus penyadapan pembicaraan telepon harus menyadarkan pemerintah kita dan jajaran diplomasinya untuk lebih realistis terhadap hubungan internasional modern, ketimbang mengedepankan politik luar negeri “thousand friends zero enemy” yang sekadar lips services.

Belajar dari kasus penyadapan oleh Australia ini, dan mungkin juga oleh Amerika Serikat, sekaligus untuk merespons dinamika skandal global penyadapan dan spionase, serta demi mengantisipasi terulangnya penyadapan, secara yuridis diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyadapan.

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang menyatakan Pasal 31 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, telah terjadi kekosongan hukum yang khusus mengatur tentang penyadapan. Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa perlu dibuat undang-undang khusus, yang mengatur hukum tentang penyadapan, yang dilakukan oleh lembaga yang diberi wewenang.

Kekosongan hukum ini, sebelum dibuat undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan, dapat dipergunakan sebagai hal ihwal kegentingan yang memaksa bagi Presiden SBY untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyadapan. Kebijakan itu sesuai dengan amanat Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945, dan Pasal 1 Butir 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 sudah tegas menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Pasal 1 Butir 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan, ”peraturan pemerintah pengganti undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar