Rabu, 06 November 2013

Korupsi Birokrasi

Korupsi Birokrasi
Reza Syawawi   Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
MEDIA INDONESIA, 06 November 2013

 “DALAM perkara uang, semua orang mempunyai agama yang sama.“ (Voltaire)

UNGKAPAN filsuf tersebut kiranya menyiratkan betapa korupsi tak lagi mengenal batas, mulai politisi, pegawai negeri (birokrasi), hakim, advokat, jaksa, polisi, hingga pengusaha yang berkelindan dalam kubangan busuk bernama korupsi. Belakangan ada lagi pegawai negeri yang ditangkap karena diduga menerima suap dari pengusaha, yakni Heru Sulastiyono (HS), Kasubdit Ekspor­Impor Bea Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Ia diduga menerima suap yang disamarkan dalam bentuk polis asuransi senilai Rp11, 4 miliar. Suap itu diberikan atas jasanya memberikan konsultasi bagi penghindaran pajak perusahaan. Di samping itu, dalam laporan PPATK ditemukan juga transaksi mencurigakan (suspicious transaction) dalam rekeningnya hingga Rp60 miliar (Editorial MI, 31/10).

Mungkin masih berbekas di memori publik tentang Bahasyim Assifie, bekas pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Gayus Tambunan, bekas pegawai DJP golongan III A, dan Dhana Widyatmika, bekas pegawai Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Ketiganya menjadi contoh paling kongkret tentang birokrat yang dijerat atas tuduhan pidana pencucian uang (money laundering) dan tindak pidana korupsi.
Kasus HS menjadi pelajaran berikutnya bagi para birokrat yang menumpuk dana haram dari aktivitas mereka sebagai pegawai negeri. Jika diselisik lebih dalam, keempat pegawai negeri itu berasal dari satu institusi yang sama, yaitu Kementerian Keuangan.

Suap-menyuap

Kementerian Keuangan menjadi salah satu lembaga yang menjadi percontohan bagi pelaksanaan reformasi birokrasi di jajaran pemerintahan. Dua direktorat, yaitu DJP dan Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), yang bernaung di bawah kementerian itu menjadi pelopornya.

Tonggak reformasi birokrasi yang dimulai sejak 2006 seketika rontok akibat perilaku korup para pegawainya. Jika diperbandingkan, nilai korupsi dan pencucian uang dari kasus itu menyaingi atau bahkan melebihi kasus-kasus korupsi yang dilakukan para politikus.

Korupsi oleh birokrasi sebetulnya merupakan jenis korupsi yang sangat tradisional, misalnya, dalam hal pelayanan publik di kantor pemerintahan yang terendah (desa/kelurahan). Hampir tak bisa dimungkiri, pungutan tidak sah sering kali mewarnai dalam setiap aktivitas pelayanan publik. Motifnya bisa dalam bentuk apa pun, bahkan ada yang menyebutnya sebagai sebuah kebiasaan.

Jika dibandingkan dengan dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang oleh Heru, sebetulnya perbedaannya hanyalah dalam hal nominal uang yang digunakan sebagai suap. Namun, tentu saja dampaknya menjadi berbeda jika suap dengan nominal kecil tidak sampai menimbulkan atau setidaknya potensi kerugian bagi negara. Akan tetapi, dengan nominal suap yang begitu besar dampaknya sangat mungkin menimbulkan kerugian negara. Dalam kasus Heru, hilangnya pendapatan pajak bagi negara tentu menjadi bentuk kerugian yang besar dan nyata bagi negara.

Jika belajar dari kasus Gayus, ada satu hal yang luput dari penegakan hukum, yaitu memidanakan pemberi suap. Ada dua pelaku pemberi suap, pertama adalah individu pemberi suap dan kedua adalah korporasi yang berada di belakang individu tersebut. Dalam kasus Gayus, ada ratusan perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus mafia pajak, tetapi tidak satu pun dari perusahaan tersebut yang diseret ke pengadilan.

Padahal berdasarkan undang-undang, subjek hukum tindak pidana korupsi tidak hanya individu, tetapi korporasi juga dapat dikenai pidana. Karena itu, penegak hukum seyogianya tidak melokalisasi pelaku suap-menyuap dalam konteks individu, tetapi juga memidanakan korporasi sebagai bagian dari subjek hukum.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (3) UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa subjek hukum terdiri atas perseorangan dan korporasi. Dalam Pasal 20 ayat (1) juga ditegaskan, “Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya“.

Namun, tentu saja penjatuhan pidana terhadap korporasi hanya dapat berbentuk pidana denda, bukan pidana badan (penjara). Pidana denda ini juga dimungkinkan untuk adanya pemberatan maksimum sepertiga dari pidana denda yang dapat dijatuhkan.

Pencucian uang

Dalam kasus HS, dugaan pencucian uang juga dituduhkan kepada yang bersangkutan atas penempatan uang yang diduga uang suap ke dalam bentuk polis asuransi. Metode pencucian uang semacam ini bisa dikategorikan baru memasuki tahap awal, yaitu layering atau penempatan. Pada tahap ini terjadi pengalihan sejumlah mata uang menjadi bentuk lain (polis asuransi) sehingga ada dugaan untuk menyamarkan sumber uang.

Jika melihat data yang disajikan PPATK, ada sekitar 16 pejabat di lingkungan DJBC yang memiliki transaksi mencurigakan. HS hanyalah 1 dari 16 pejabat tersebut, padahal PPATK telah melaporkan transaksi mencurigakan tersebut kepada polisi sejak 2011 yang lalu.

Lambannya penegak hukum dalam menindaklanjuti setiap laporan PPATK telah berkontribusi atas maraknya kasus pencucian uang yang melibatkan birokrasi. Tesis sederhananya adalah ketika penegakan hukum tumpul dan lamban, seketika kejahatan akan semakin merajalela.

Maka dalam konteks ini, peran semua lembaga perlu dimaksimalkan dalam rangka pemberantasan pencucian uang. Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan ada 6 lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI (penjelasan Pasal 74).

Dalam konteks ini, DJBC sebagai salah satu penyidik sudah sepatutnya melakukan koreksi dan penegakkan hukum terhadap para pegawai/pejabat di lingkungannya. Setidaknya di internal DJBC atau bahkan Kementerian Keuangan menelusuri para pegawainya yang menurut PPATK telah melakukan aktivitas keuangan yang mencurigakan.

DJBC tidak perlu dan selalu menunggu pihak lain untuk menangkap para pegawainya. Instrumen pengawasan di internal harusnya juga bekerja secara simultan. Ada banyak mekanisme yang bisa diterapkan, misalnya dengan menggunakan LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara) sebagai basis data pembanding.

DJBC sebetulnya telah memulai langkah ini dengan mewajibkan hampir 40% pegawainya untuk menyerahkan LHKPN kepada KPK. Dengan verifikasi yang ketat, penangkapan terhadap HS sebetulnya bisa diminimalkan.

Verifikasi tersebut dibutuhkan untuk menilai apakah transaksi yang dilakukan sesuai dengan profil seseorang atau tidak. Jika tidak, di situlah fungsi penegakan hukum berjalan. Apalagi transaksi tersebut berhubungan dengan tindak pidana yang lain. Semoga kasus HS menjadi pembelajaran bagi birokrat lain yang mencari keuntungan pribadi dengan cara yang melanggar hukum. Semoga! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar