|
MEMPERINGATI Tahun Baru Hijriah sangatlah
berarti. Karena di balik peringatan tersebut, Tahun Baru Hijriah menjadi
tonggak penting lahirnya peradaban baru yang dibawa Nabi Muhammad di Madinah.
Di bumi Madinah inilah, Nabi Muhammad, menurut Robert N Bellah, telah menata
masyarakat secara modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah waktu
itu. Nabi kemudian mempersaudarakan (al-ikho')
antarumat Islam, yakni antara sahabat Muhajirin dan sahabat Anshor. Karena
Madinah tidak hanya dihuni umat Islam tetapi juga dihuni penganut agama lain
seperti Yahudi, Nasrani, dan bahkan penyembah api (majusi), Nabi mengajak mereka semua menyusun sebuah kesepakatan
yang kemudian dinamakan Piagam Madinah (Mitsaq
al-Madinah).
Para ahli politik Islam, seperti
Montgomery Watt (1988) dan Bernard Lewis (1994), melihat Piagam Madinah sebagai
cikal bakal terbentuknya negara nasional (nation-state) yang menempatkan Nabi
Muhammad tidak sekadar sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin negara. Menurut
Munawir Sadzali (1995), Piagam Madinah itu terdiri dari 47 pasal yang
menandakan berdirinya negara yang pluralistis dan menunjukkan bahwa Nabi tidak
mendirikan negara agama. Isi pokok piagam tersebut, lanjut Sadzali, ialah: 1)
mempersatukan umat Islam dari berbagai suku menjadi satu ikatan, 2) menghidupkan
semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin keselamatan di
antara warga Madinah, 3) menetapkan bahwa setiap warga masyarakat memiliki
kewajiban untuk memanggul senjata untuk melawan jika diserang oleh orang luar
Madinah, 4) menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi, Nasrani,
musyrikin (penyembah berhala), dan kaum majusi.
Komitmen kebersamaan
Dari sini terlihat bahwa Madinah
yang multiagama dan multietnik mampu disatukan Nabi bukan memakai sentimen
agama. Akan tetapi, mereka disatukan dengan sentimen kepemilikan bersama, yakni
bagaimana mempertahankan Madinah dari segenap ancaman yang datang dari luar,
baik berupa serangan atau ancaman apa pun. Karena komitmen kepemilikan bersama
itu, tidak salah kalau salah satu hadisnya menerangkan bahwa Nabi Muhammad
tidak rela terhadap siapa pun yang menganiaya orang kafir Madinah jika ia
terikat dalam perlindungan tersebut. Piagam Madinah bukanlah sebagai perjanjian
agama, melainkan merupakan kontrak social kebangsaan yang menyangkut aspek
hubungan antarmanusia di dunia (al-Mu'amalah
al-Dunyawiyah) tanpa melihat agama, suku, dan kabilah.
Dari sini dapat dilihat bahwa
Piagam Madinah mencipta spirit demokrasi dan nasionalisme yang luar biasa. Cara
Nabi dalam berdemokrasi dan mencipta semangat nasionalisme mampu menjadikan
Semenanjung Arab menjadi eksperi men demokrasi paling spektakuler dalam sejarah
umat manusia. Di Madinah tertancap sebuah proses demokratisasi yang
meniscayakan kebebasan berekspresi setiap warga negara. Kebebasan ekspresi
dimaksudkan sebagai tangga mewujudkan terciptanya masyarakat yang dewasa dan
berkeadaban. Masyarakat berperan aktif dalam mencipta struktur kebijakan yang
akan dioperasionalisasikan pemerintah. Peran aktif itulah yang menjadi dasar
mencipta ruang strategis warga dalam menyampaikan hak-haknya kepada pihak
pemerintah sekaligus menjadi ajang bertemunya gagasan state dan civil society
secara sinergis. Kalau itu terlaksana dengan baik, impian good government dan good
governance bisa menjadi kenyataan.
Menegakkan demokrasi
Bagaimana praktik demokrasi dan
nasionalisme di Indonesia? Sungguh menyedihkan. Kebebasan berdemokrasi dan
spirit nasionalisme justru terinjak-injak oleh hadirnya berbagai kejahatan
kemanusiaan, terlebih masih bercokolnya separatisme yang terus menggerogoti
Indonesia. Demokrasi ternyata menampilkan korban yang teraniaya. Spirit
nasionalisme ternyata dimaknai secara sempit. Makmur Keliat (2003) merujuk
karya masterpiece Ted Robert Gurr, Minorities at Risk (1993), yang mengurai
bahwa dalam proses historis pembangunan negara (state-building), biasanya kelompok yang lemah selalu menjadi korban
atau dikorbankan. Dengan kata lain, Gurr bermaksud menyatakan bahwa pembentukan
negara modern selalu meniscayakan adanya korban dari kelompok yang lemah.
Proses penundukan terhadap kelompok
yang lemah itu telah terjadi tidak hanya di Afrika dan Asia, tetapi juga pernah
muncul di negara maju, misalnya terhadap kelompok Welsh di Inggris dan terhadap
pendatang Irlandia di Amerika. Karena proses penundukan yang menghasilkan
ketidakadilan, gerakan yang berbasis etnonasionalis muncul. Nilai-nilai
kultural kolektif, pengalaman kesejarahan bersama, serta adanya janji untuk
memperoleh kesejahteraan yang lebih baik merupakan basis dari gerakan
etnonasionalis itu untuk memperoleh dukungan. Apa yang diduga oleh Gurr itu,
dalam derajat tertentu, tampaknya memang terjadi di Indonesia.
Spirit hijrah Nabi yang melahirkan
dasar-dasar demokrasi dan spirit nasionalisme sangat penting kita refleksikan
di tengah kekarutmarutan kondisi demokrasi dan nasionalisme di Indonesia.
Terlebih di tengah Indonesia yang masih diselimuti berbagai bencana.
Sebagaimana yang pernah dikatakan Ali Syari'ati, hijrah merupakan gerakan dan
loncatan peradaban yang sangat besar bagi manusia. Bila makna hijrah
dilaksanakan, peradaban masyarakat yang tadinya beku dan rigid akan berubah menjadi peradaban yang menapaki tangga kemajuan
menuju kesempurnaan dan keagungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar