Senin, 11 November 2013

Ketika Petani Tebu Menjerit

Ketika Petani Tebu Menjerit
Agusdin Pulungan  ;  Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia
KOMPAS, 09 November 2013

Seorang petani tebu dari Lamongan, Jawa Timur, kecewa. Ia merasa, rendemen tebu hasil panennya hanya sepihak ditentukan oleh pabrik. Para petani tebu ini harus menerima berapa pun ketentuan jumlah rendemen dari pabrik. Merasa tidak berdaya. Sebagian petani akhirnya memutuskan mengganti tebu dengan tanaman jagung.

Biaya usaha tani untuk menanam tebu cukup besar. Petani juga harus berani mengambil risiko mengubah lahan sawahnya menjadi lahan kering.
Pengelolaan tebu juga membutuhkan tenaga kerja cukup banyak, padahal saat ini ketersediaan tenaga kerja semakin langka sehingga yang ada pun harus diupah besar.
Musim tanam tahun ini, petani harus mengeluarkan biaya produksi hingga Rp 40 juta rupiah per hektar, naik Rp 2 juta-Rp 3 juta dibandingkan dengan tahun lalu.
Menurut Kementerian Pertanian (2013), hasil tebu rakyat intensifikasi (TRI) I di tanah sawah 120 ton per hektar dengan rendemen gula 10 persen, sedangkan hasil TRI II di tanah sawah 100 ton dengan rendemen 9 persen.
Maka, hasil produksi tanaman tebu ditetapkan lebih kurang 100 ton per hektar dengan umur panen diperkirakan selama satu tahun.
Namun, kenyataannya, petani hanya bisa menghasilkan 60-80 ton per hektar dengan tingkat rendemen berkisar 6-7,5 persen. Bahkan, di beberapa wilayah Jawa Barat, banyak yang berkisar 4-5 persen.
Zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda (FKA, 2008), hasil panen tebu rata-rata lebih dari 100 ton per hektar per panen (11 bulan). Rendemen gula bisa sampai 20 persen dan paling kecil 12 persen.
Rendahnya hasil dan rendemen petani saat ini terutama disebabkan oleh periode panen ulang yang bisa sampai 10 kali dari standar panen ulang tiga kali.
Petani terpaksa terus memelihara tonggak tebu sampai panen lebih dari tiga kali karena keterbatasan modal.
Gagal swasembada
Dengan asumsi konsumsi per kapita 9,78 kilogram, diketahui bahwa tingkat kebutuhan gula konsumsi atau gula kristal putih untuk rumah tangga dan industri skala rumahan 2,96 juta ton.
Sementara tingkat kebutuhan gula rafinasi (refined sugar) untuk industri makanan, minuman, dan farmasi diperkirakan 2,74 juta ton.
Untuk ini, pemerintah pernah menargetkan swasembada gula pada tahun 2014 sebesar 5,7 juta ton.
Target ini direncanakan dicapai dari tebu yang ditanam rakyat seluas 252.166 hektar dan area tebu swasta seluas 198.131 hektar.
Akan tetapi, tahun 2012, Menteri Pertanian merevisi target swasembada gula 2014 turun menjadi 3,1 juta ton saja. Walau sudah diturunkan, swasembada gula terlihat masih sangat sulit untuk bisa diwujudkan.
Data menunjukkan, produksi gula nasional tahun 2013 hanya akan mencapai 2,47 juta ton. Penyebabnya antara lain pasokan tebu dari petani selalu menurun dari tahun ke tahun.
Selain karena faktor budidaya, hal ini juga akibat keterbatasan lahan petani, kualitas bibit, dan terutama tekanan harga.
Di sisi lain, kebijakan dan program pemerintah belum efektif dalam meningkatkan produktivitas.
Kebijakan dan program itu juga lemah dalam mengembangkan kelembagaan dan pembiayaan untuk petani, memperluas area, serta gagal merevitalisasi dan membangun industri gula berbasis tebu.
Gula impor
Dampak luas dari gagalnya peningkatan produktivitas dan produksi gula nasional untuk pemenuhan kebutuhan gula konsumsi membuat beberapa pabrik gula mengimpor raw sugar dengan alasan idle capacity.
Menurut data Kementerian Perdagangan (2013), impor tahun 2012 mencapai lebih kurang 351.000 ton, sementara sampai Agustus 2013 lebih kurang 236.000 ton.
Adapun realisasi impor raw sugar dan gula rafinasi masing-masing untuk industri rafinasi dan industri makanan minuman mencapai total 2,9 juta ton.
Namun, impor gula rafinasi dan raw sugar menjadi malapetaka bagi petani karena merembes ke pasar-pasar konsumsi.
Dalam ketentuannya, pemerintah telah menetapkan bahwa gula rafinasi hanya diperuntukkan bagi industri sehingga melawan hukum jika gula rafinasi diperjualbelikan di pasar untuk konsumen. Kenyataannya, gula rafinasi dengan mudah dijumpai konsumen di pasar.
Audit distribusi Kemendag (2013) terhadap delapan produsen gula kristal rafinasi membuktikan bahwa terdapat rembesan di 1.541 pengecer dari 8.619 pengecer yang disurvei.
Sudah barang tentu selain oleh adanya jutaan gula impor, merembesnya gula rafinasi ini sangat memukul gula petani karena harga gula rafinasi lebih rendah daripada harga gula konsumsi hasil tebu petani.
Aksi mendesak
Dengan kondisi rendahnya produksi dan produktivitas, naiknya biaya produksi petani ditambah tekanan harga akibat rembesan gula rafinasi menjadi sumber utama jeritan petani tebu.

Tidak ada jalan lain, ini menjadi tugas pemerintah untuk mengatasinya. Paling tidak kejahatan perdagangan yang dilakukan oleh pihak-pihak (apakah pabrik atau distributornya) yang memperjualbelikan gula rafinasi ke pasar konsumen harus ditindak setara dengan perbuatan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar