Rabu, 06 November 2013

Buruh Tani dan Ketahanan Pangan

Buruh Tani dan Ketahanan Pangan
Andi P Gumilang   Peneliti dan Mahasiswa Program Pascasarjana IPB,
Pegiat Jaringan Petani Sehat Indonesia (JPSI)
SINAR HARAPAN, 06 November 2013


Memandang petani bukan saja sebagai manusia biasa, melainkan lebih dari itu mereka adalah pahlawan pangan yang menyediakan kebutuhan pangan bangsa ini. Ketersediaan pangan berkaitan erat dengan lahan yang tersedia.

Sesungguhnya banyak petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Dewasa ini dengan berbagai beban ekonomi yang semakin kompleks, banyak petani menjual tanah pertaniannya kepada para konglomerat dari kota-kota besar. Selanjutnya mereka hanya menjadi buruh tani saja.

Pada kasus seperti ini, kondisi petani yang memiliki lahan meski cuma 0,5 ha, lebih beruntung dibanding petani yang tidak memiliki lahan sama sekali. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, bertambah pula kebutuhan pangan yang harus disediakan.

Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia diprediksi mencapai 300 juta jiwa. Saat itu liberalisasi dalam masyarakat ekonomi ASEAN diberlakukan. Dengan peningkatan tersebut, kebutuhan pangan, khususnya beras, akan melonjak. Ancaman ketahanan pangan melalui konversi lahan pertanian harus disetop.

Laju alih fungsi lahan pertanian di Indonesia memang sangat mencengangkan. Luas konversi lahan sawah yang ditujukan bagi pembangunan nonpertanian, seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya, rata-rata sebesar 110.160 ha per tahun (Sutomo, 2004).

Di daerah Jawa Barat, misalnya sejak dulu dikenal sebagai lumbung padi nasional, laju konversi sawah irigasi rata-rata 5.000-7.000 ha per tahun. Sawah-sawah yang berubah fungsi itu terdapat di Karawang, Bandung, Garut, dan Cianjur. Di Bekasi sekitar 8.000 ha sawah beririgasi berubah jadi areal industri dan perumahan.

Membangun Tanpa Arah

Alih fungsi lahan yang terjadi saat ini pada dasarnya terjadi akibat politik pembangunan yang tidak jelas arahnya dan tidak terintegrasi, sehingga kebijakan pembangunan cenderung pragmatis. Sering kali pembangunan di satu sektor harus mengorbankan sektor lain. Prinsipnya, apa yang menguntungkan saat ini itulah yang dilakukan, tanpa pertimbangan jangka panjang.

Wajar jika lahan subur dengan cepat beralih fungsi menjadi kompleks industri, perumahan, atau hotel. Dalam perhitungan jangka pendek, bisa jadi hal itu memang jauh lebih menguntungkan secara ekonomis daripada usaha pertanian.

Inilah salah satu penyebab mengapa Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai negara agraris, kemajuan 
sektor pertaniannya masih jauh dari harapan. Sektor pertanian Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara lain. Alih-alih mampu mengekspor berbagai produk pertanian yang ada, pasar dalam negeri Indonesia justru dibanjiri produk-produk pertanian dari luar.

Mayoritas rakyat yang berprofesi sebagai petani tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada nasibnya. Lahan usaha petani semakin sempit dan posisi mereka semakin terjepit.
Membangun pabrik, rumah, jalan, pasar, dan fasilitas-fasilitas lainnya sudah pasti membutuhkan lahan. Di sinilah pentingnya kebijakan politik pembangunan terarah, terpadu, dan konsisten. Saat ini ilmu perencanaan pengembangan wilayah sudah mencapai kemajuan pesat.

Seluruh wilayah yang ada bisa dipetakan potensinya masing-masing. Bisa juga dibuat prediksi jangka panjang, seiring pertambahan penduduk, berapa kebutuhan lahan untuk perumahan, perindustrian, perkantoran, pertanian, konservasi, dan sebagainya.

Dengan teknologi yang ada, tidak sulit membuat peta penggunaan lahan sesuai potensi dan daya dukungnya. Selanjutnya bisa dijadikan dasar dalam pembuatan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Dengan acuan RUTR seharusnya alokasi penggunaan lahan dikendalikan dan dikontrol.
Masalah yang sering terjadi adalah, meskipun RUTR sudah ditetapkan, hal itu dilanggar dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis.

Di sinilah diperlukan adanya political will untuk mengawal kebijakan politik pembangunan yang sudah dirumuskan secara terarah dan terpadu, sehingga alokasi penggunaan lahan dapat dikendalikan sesuai daya dukung lahan dan peruntukannya secara tepat.

Lahan Pertanian Abadi

Setiap jenis penggunaan lahan tentu membutuhkan persyaratan-persyaratan kondisi lahan tertentu. Untuk pertanian pangan misalnya, dibutuhkan lahan subur, iklim sesuai, tersedia sumber air, lereng relatif datar, dan sebagainya.

Persyaratan tersebut tentu berbeda dengan jenis penggunaan untuk industri atau perumahan. Bangunan pabrik atau rumah tidak membutuhkan lahan subur, bahkan lahan berbatu atau berpasir bisa digunakan.
Masalah semacam ini sering diabaikan dan diremehkan. Seolah ada anggapan pertanian bisa dikembangkan di sembarang tempat, sehingga bila ada sebidang lahan pertanian yang dialihfungsikan untuk nonpertanian, dianggap dengan mudah dapat dicarikan lahan penggantinya. Tentu anggapan ini bisa berakibat fatal.

Saat ini lahan pertanian tanaman pangan yang cocok dan tersedia lebih sedikit dibandingkan untuk nonpertanian. Kalau ada lahan yang cocok untuk pertanian, hampir dipastikan cocok pula untuk perumahan dan lainnya.

Namun, belum tentu sebaliknya. Konversi lahan pertanian untuk keperluan nonpertanian dapat dikatakan bersifat irreversible (tidak dapat balik).

Artinya, jika ada lahan yang awalnya digunakan untuk pertanian lalu dialihfungsikan untuk komplek industri atau perumahan, lahan tersebut tidak dapat dialihfungsikan kembali untuk pertanian seperti pada awalnya. Jika hal itu bisa dilakukan, diperlukan perlakuan dan penanganan yang sulit dan memakan waktu lama.

Di sinilah perlunya upaya-upaya serius menjaga lahan yang cocok untuk pengembangan pertanian, agar tetap berfungsi sebagai lahan pertanian. Jangan sampai lahan-lahan yang cocok untuk pertanian terus digusur untuk penggunaan nonpertanian.

Terkait hal ini, kebijakan penetapan lahan pertanian abadi, sesuai daya dukung wilayah serta diversifikasi pangan sangatlah penting untuk diwujudkan. Di samping itu negara perlu menjamin kesejahteraan nasib buruh petani secara nyata, sehingga ketahanan pangan yang diusung pemerintah tidak sekadar jargon belaka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar