|
Sejauh menyangkut kehidupan rakyat pedesaan ― kaum
tani, “wong cilik” ― sejarah abad ke-19 penuh hal mengenaskan
sekaligus menggelikan.
Tapi, tak mungkin kita
menertawakannya karena apa yang “menggelikan” tadi bukan dagelan dan jelas
bukan hiburan. Abad itu kita sebut abad kolonial yang bengis, tidak manusiawi,
dan menghasilkan banyak pengorbanan jiwa. Siapa yang bisa menjadikan derita
sesama manusia seperti itu sebagai hiburan?
Sejarawan Onghokham mencatat
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa “serat Jayabaya” berasal dari kira-kira
pertengahan abad ke-18, yang menjadi populer pada abad ke-19.
Sejarawan ini melihat “serat
Jayabaya” sebagai dokumen sosial, yang di dalamnya, sebenarnya masyarakat hanya
memercayai dua zaman, yaitu zaman edan di mana mereka hidup pada saat itu dan
zaman emas yang mereka harapkan.
Isu penting saat itu
menyatakan, Senopati itu raja Mataram. Tetapi, setelah seratus tahun, perang
saudara hebat akan pecah antara para keluarga raja yang saling berebut takhta
dan kerajaan akan jatuh… akan terjadi kekacauan yang lebih besar.
Kemarahan Tuhan akan menghukum tanah Jawa.
Kemakmuran hilang. Yang
Agung menindas rakyat. Kebenaran diganti kebohongan. Keadilan tidak tetap.
Rakyat kekurangan. Mereka “ngalor-ngidul” dalam kebingungan. Ini yang disebut
zaman edan, dalam catatan Onghokham. Kita menyebutnya, Pak Ong.
Akan datang Ratu Adil
pertama, Sri Tanjung Putih. Namun, di zaman ini masih ada beban
pajak-pajak. Diganti Ratu Adil kedua, di bawah Erucakra di mana
pajak-pajak menjadi lebih rendah lagi. Bukan hanya ini catatan Pak Ong mengenai
Ratu Adil.
Di Desa Patik,
Kawedanan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun, pada November
1885, para pemilik tanah yang berjumlah kira-kira seratus orang, mengangkat
carik desa mereka sebagai ratu baru dengan gelar Pangeran Lelono
yang akan menghapuskan pajak-pajak. Mereka juga bermaksud membunuh semua pejabat
Belanda setempat. Ini sebenarnya merupakan sebuah pemberontakan.
Mari kita perhatikan hal
menggelikan itu; carik desa, dijadikan ratu (raja) baru, dengan gelar
yang menyeramkan: Ratu Lelono. Apa yang bisa dilakukan seorang carik desa ― yang
pasti tak berpendidikan, dengan pengalaman amat terbatas ― untuk
menjadi raja dan diharapkan menghapuskan pajak-pajak.
Oh, betapa kasihan mereka.
Betapa berat beban jiwa bangsa terjajah yang sedang bergulat membebaskan diri
dari penjajahan. Diketahui, ketua pemberontakan itu seorang priayi keturunan
bekas keluarga BupatiPonorogo. Priayi inilah yang membujuk carik desa tadi
untuk menjadi Ratu Adil.
Kita merasa ngenas:
pemberontakan itu dipadamkan dengan mudah, dan cepat, pada hari itu juga, tanpa
banyak korban jiwa. Pak Ong mencatat itu semua di dalam bukunya, Negara
dan Rakyat, yang diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
Kesenjangan
Sesudah setiap kali membaca,
dan membaca lagi kisah tragis itu, pemikiran kita menyusur jauh ke situasi
zaman itu; dan kembali ke zaman sekarang, ke dalam kehidupan kita
sehari-hari, dengan sikap berontak.
Kita tak mungkin mengizinkan
ketidakadilan merajalela, meskipun itu hanya terjadi di dalam sebuah bacaan.
Apalagi, itu bacaan mengenai sejarah kita sendiri. Apalagi, di zaman ini pun
kita belum bebas dari ketidakadilan seperti itu.
Di hampir setiap pelosok
dunia, dalam kurun sejarah masing-masing, pernah mengalami zaman gelap: zaman
jahiliah yang penuh penindasan, tipu-menipu, penjarahan, pembunuhan, dan
ketidakadilan.
Sekarang kita hidup di zaman
lain. Peradaban sudah beralih ke zaman terang: kita merdeka, bebas, maju.
Berbagai segi kehidupan berkembang berkat kemajuan. Mungkin, terutama, kemajuan
di dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tapi, kesenjangan jiwa
masyarakat ― bisa juga jiwa bangsa ― tak bisa disembunyikan.
Di tengah kemajuan besar melampaui apa yang bisa kita bayangkan ini, perilaku
menyimpang: pelanggaran hukum, tindakan asusila, perampasan hak, pencurian,
tipu-menipu, kebohongan, dan segenap corak ketidakadilan, masih tetap
mewarnai kehidupan kita.
Di tengah kemajuan teknologi
yang begitu tinggi, hidup kita bisa compang-camping kalau ― seperti
sekarang ini ― kita tak memiliki kematangan jiwa dan tanggung jawab.
Kemajuan bisa sekaligus berarti fasilitas bagi tindak kejahatan. Mungkin lebih
mengerikan dibanding kejahatan konvensional yang sudah lama kita kenal.
Kejahatan menjadi semakin
canggih. Dengan teknologi kejahatan perbankan menjadi sangat mengerikan: tak
berwajah, “dingin”, rapi, sukar dilacak, dan spektakuler. Tapi, juga harus
dicatat: semua itu lebih berbahaya, ganas, kejam, dan tidak manusiawi, melebihi
apa yang bisa kita bayangkan.
Dengan kata lain, zaman
jahiliah itu masih bersama kita. Sekali lagi, kejahatannya lebih mengerikan. Kejahatan
lewat HP, sering mengecoh dan menimbulkan korban. Dalam waktu cepat
penjahat bisa lenyap, tak terlacak.
Beroperasi di kantor,
menawarkan jasa, mengingatkan sebuah seminar yang perlu dana, menipu ada
keluarga dalam keadaan darurat, atau pelakunya, mengaku nama kita, menipu,
memeras, dan berbagai cara tak bermoral untuk mengumpulkan uang. Orang
jahat ini merajalela.
Sejak dua tahun lalu FB saya
dibajak penjahat untuk menipu, memeras, dan mengecoh orang, dengan motif
mencari uang. Banyak usaha yang sudah dilakukan.
Selama ini tak ada yang
terkecoh. Tiap kali orang ditipunya, dengan mengaku nama saya, mereka minta
konfirmasi pada saya. Kemarin, hari libur, Selasa, 1 Muharam, ada
yang ditipu memakai tampilan saya di FB, tanpa konfirmasi, langsung setor uang.
Kali ini si penjahat berhasil memperoleh uang.
Siapa pun, yang ditipu
dengan memakai nama saya, jangan percaya. Itu penjahat, dan juga mata-mata agak
murahan. Zaman tipu-menipu membuat kita waspada. Jangan ada yang tertipu lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar