Minggu, 10 November 2013

Beragama Tanpa Bertuhan

Beragama Tanpa Bertuhan
Moh Faiz Maulana  ;   Staf LTM-PBNU,
Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU), Jakarta
SUARA KARYA, 09 November 2013


Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah awal dari semua langkah yang akan kita lakukan, termasuk untuk mengamalkan sila-sila selanjutnya dalam urutan ideologi bangsa, Pancasila. Ketuhanan adalah makna kebaikan universal, yang tidak bisa dengan seenaknya di miliki oleh sebagian kelompok. Ketuhanan adalah sumber energi positif yang sudah sepatutnya kita implementasikan dengan hal yang positif. Bukan sebagai "pameran" keyakinan atas ritus keagamaan yang bisa kapan saja dipertontonkan. Tetapi, Ketuhanan adalah sikap dasar untuk menuju puncak kejujuran.

Sikap ber-Tuhan adalah sikap menerima, menerima segala hal yang sudah menjadi ketentuan dari-Nya, termasuk pluralitas. "Hai manusia, sungguh kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah 
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal," Al-Hujurat (ayat:13).

Satu-satunya hal yang menjadi kebenaran yang sama pada setiap pemeluk agama adalah sikap ber-Tuhan dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, hal yang menjadi kesalahan terbesar bagi tiap-tiap pemeluk agama manapun adalah menyakiti sesama manusia/makhluk hidup.

Nurcholis Madjid mengatakan, bahwa kebenaran agama tak boleh dipaksakan. Sebab, hak yang amat asasi ini menjadi hak yang tak boleh diingkari. Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 pun ditegaskan tentang kebebasan beragama dan untuk menjalankan kepercayaan agamanya menurut keyakinan masing-masing. Nampak, negara kita adalah negara yang sangat demokratis, dan religius. Hanya saja kita tidak mampu menjadikannya sebuah kenyataan. Sila Ketuhanan adalah "pameran" keyakinan yang hanya di lihat dan kemudian di tinggalkan.

Harus berapa lama lagi kita menyudutkan-Nya, membiarkan-Nya tak berdaya di negeri ini. Setelah "Buku aturan" pun tak lagi di taati dan di patuhi. Sudah beribu-ribu bahkan berjuta-juta kredo telah mejejali ruang pencerahan kita, tetapi tetap saja negeri ini tak pernah cerah, dan tetap saja usang jika harus berbicara soal perbedaan, lebih-lebih perbedaan keyakinan.

Kita tak akan pernah menemukan kesamaan jika pada awalnya sudah berbeda. Yang bisa dilakukan adalah menyatukan yang berbeda, kemudian membuatnya menjadi merasa tak berbeda padahal beda. Dengan cara apa menghargai apa yang ada di luar kita tanpa melepas apa yang sudah ada dalam diri kita. Tetapi, itulah harmonisasi kehidupan, sikap kebertuhanan yang sejati.

Kadang kita lupa sudah sejauh mana rasa berketuhanan kita, sedangkan sikap keberagamaan kita sudah jauh melebihi rasa kebertuhanan kita, yang sampai akhirnya membuat kita lupa bahwa ada Tuhan yang menciptakan perbedaan di antara kita.

Sikap keberagamaan yang over tentu akan berdampak buruk terhadap sikap kepedulian Tuhan terhadap kita. Bagaimana tidak, kita akan semakin jauh dari segala rahmat-Nya meski apa yang dilakukan selalu menyebut nama-Nya. Bukankah Tuhan tak perlu dipromosikan? Bahwa setiap agama tak pernah mengajarkan untuk saling bermusuhan apakah kurang jelas! "Sungguh orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS, Al-Hujurat:10)

Lalu apa pangkalnya, selalu saja terjadi "peperangan" mengenai perbedaan ini? Mungkin ada beberapa sebab yang bisa kita lihat. Pertama mengenai pandangan ini. Sebagian mengaitkan akibat dari kepemimpinan nasional yang lemah. Sekilas kesannya terlalu politis. Namun Neli Todorova pernah membuktikan dalam penelitiannya mengenai masyarakat Turki di Bulgaria (2000). Yang lebih mendasar, bahwa fakta itu berhubungan dengan kenyataan struktural, yakni adanya kesenjangan, terutama mengenai visi tentang kebebasan, yaitu antara norma ideal yang diinstitusionalisasikan dengan realitas sosiologisnya. Norma yang diinstitusionalisasikan bersifat sekuler, yang berakar dari paham individualisme-liberalisme. Sementara realitas sosiologisnya melandaskan pada semangat komunalisme, yang lebih menekankan pada tujuan terbentuknya kebaikan komunitarian untuk menuju harmoni. 

Argumen demikian ada benarnya, sebab masing-masing kebudayaan itu ditandai oleh keanegaraman internalnya, yang berhubungan dengan sistem kepercayaannya. Kebebasan berekspresi di Barat misalnya, jelas berbeda dengan Timur. Seperti Indonesia, yang kulturnya, meminjam istilah Joel L. Kraemer (1986) bersifat ensiklopedis, yakni budaya yang beragama.

Kedua, adanya semacam emosi sesaat, yang kemudian menjadi emosi berkepanjangan berkelompok. Jika kita perhatikan konflik dan kekerasan agama yang selama ini terjadi di Indonesia, kita menemukan fakta bahwa dalam setiap konflik tersebut mempunyai modus operandi yang sama, selalu ada pemicunya, dan pemicu itu bernuansa provokatif.

Konflik tersebut sepenuhnya merupakan produk dari pergaulan biasa sehari-hari antar manusia. Ini bukan reduksi seperti kita saksikan. Sebabnya bisa se-kedar karena merasa terganggu, adanya hujatan atas sistem kepercayaan yang dianutnya, hingga soal-soal eksklusivitas. Jelas ini berhubungan dengan soal ekspresi, bukan substansi, tidak lebih mendalam dari itu. Persis sama dengan kekerasan komunal lainnya yang bersumber dari isu ras, etnik dan ekonomi, yang pernah terjadi selama ini.


Ketiga, minimnya peran tokoh agama, adat, dan lain-terhadap pencegahan konflik-konflik tersebut. Pertanyaannya adalah, sudah sejauh manakah kita bertuhan? Atau jangan-jangan kita tidak pernah 
bertuhan, kita hanya beragama tanpa ada kepatuhan terhadap Tuhan yang kita yakini sebagai Yang Maha Bijaksana. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar