|
SEANDAINYA nilai-nilai kepahlawanan terpatri di segenap
benak rak yat Indonesia, kasus bayi Naila mungkin tak perlu terjadi. Bayi
berusia dua bulan, putri pasangan Mustari dan Nursia, warga Dusun Patommo, Desa
Kaliang, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, itu
meninggal di pangkuan ibunya saat mengantre di loket rumah sakit (30/10). Naila
terlambat mendapat perawatan medis karena proses administrasi yang
berbelit-belit di Rumah Sakit Umum (RSU) Lasinrang, Pinrang. Padahal, kala itu,
Naila sudah membutuhkan bantuan darurat karena napasnya yang tersengal-sengal
(Kompas.com, 31/10).
Saya
tidak menuduh paramedis atau petugas administrasi RSU dimaksud kehilangan
kemanusiaan dan empati. Mereka sebagaimana kita juga memilikinya, tapi dibatasi
sekat-sekat birokrasi. Kehendak untuk membantu terhalang dinding prosedur dan
kewenangan. Ada risiko mengintai mana kala menerobos sekat dan dinding itu.
Dalam hal ini, hanya personal dengan jiwa kepahlawanan yang mau dan mampu
bertindak tanpa perlu mengkhawatirkan risiko yang menimpanya di kemudian hari.
Pihak
RSU di Pinrang itu bukan pula satu-satunya pihak yang dipersalahkan. Mereka
hanyalah gambaran kecil atas operasi umum yang berlangsung di seluruh RS di
Indonesia. Peristiwa yang menimpa Naila bisa terjadi di mana saja.
Prosedur-prosedur itu membatasi dan dapat membunuh sewaktu-waktu (saya tak
habis pikir, kalau memang program kesehatan gratis, mengapa prosedurnya tidak
diatur, misalnya bisa diurus keluarga pasien saat pasien tengah dirawat).
Lebih
daripada itu, keberanian mengambil risiko menipis atau bahkan hilang di setiap
sanubari kita. Jangankan warga biasa seperti para pegawai RSU tersebut,
kebanyakan pemimpin kita saat ini tidak memiliki keberanian tersebut, sesuatu
yang seharusnya melekat pada jiwa seorang pemimpin.
Saya
menekankan hal itu sebab keberanian mengambil risiko merupakan modal utama
kepahlawanan.
Pahlawan tapi tidak berani seperti semangkuk bakso tanpa bakso
itu sendiri! Pahlawan yang tidak berani bukanlah pahlawan. Oleh karenanya,
kepahlawanan tak terikat jabatan atau status. Pahlawan bisa berasal dari mana
dan siapa saja. Dia tak harus menjabat suatu jabatan yang penting.
Dia mungkin saja seorang buruh biasa, petani tak bertanah biasa, mahasiswa biasa, ataupun nelayan biasa.
Dia mungkin saja seorang buruh biasa, petani tak bertanah biasa, mahasiswa biasa, ataupun nelayan biasa.
Kepemimpinan
memang membuka jalan lebar bagi aksiaksi kepahlawanan. ra
pemimpin dibekali senjata kewenangan, bahkan senjata betulan, yang mampu
menggerakkan, memerintah, sekaligus memberi hukuman atas ketidakpatuhan. Namun,
sekali lagi, pemimpin yang tidak berani mengambil risiko tidak pantas dan tidak
akan menjadi pahlawan. Dia hanya akan menjadi pemimpin prosedural, pemimpin
menurut hukum dan tata tertib yang berlaku. Pemimpin yang benar-benar biasa.
Seorang
pendidik mengatakan pahlawan pada dasarnya orang yang memiliki dedikasi sosial
yang tinggi. Orang yang memiliki pengorbanan dan tanggung jawab kepada orang banyak,
yaitu kesadaran untuk berbuat, melakukan pekerjaan dengan baik dan ikhlas,
serta menunjukkan kesungguhan terhadap sejumlah orang yang terkait dengan peran
dan pekerjaannya. Seorang pahlawan bahkan merelakan jiwanya dipertaruhkan untuk
kepentingan masyarakat luas meskipun terkadang tidak ada orang yang mengetahui
atau mengenangnya. Pahlawan sepi dari pamrih (Suyatno, Reorientasi Nilai
Kemerdekaan dan Kepahlawanan, 2013).
Dididik untuk takut
Keberanian
tidak setara kenekatan. Nekat justru sebentuk penyerahan diri. Lantaran
tak berpunya dalam makna segala-galanya, orang mudah bersikap nekat, kalap. Dia
tak lagi memiliki pertimbangan rasional. Pada titik ini, orang nekat tidak
hanya membahayakan dirinya, tapi juga orang banyak yang tidak bersalah. Pada
akhirnya, bersikap nekat tak menghasilkan apa-apa, selain kerusakan dan
kekacaubalauan.
Oleh
karena itu, keberanian memiliki landasan ilmiah. Keberanian dipupuk melalui
pendidikan dan pelatihan terus menerus. Keberanian lahir dari pengetahuan yang
benar. Siapa pun tidak akan mengambil risiko atas sesuatu yang belum
diketahuinya pasti. Jika tetap melakukannya, berarti dia bukan berani, melainkan
nekat.
Contoh
paling aktual ialah gerakan buruh dewasa ini. Dulu mereka diam dan takut, kalah
oleh gerakan mahasiswa. Setelah reformasi, buruh lebih leluasa membentuk
serikat. Serikat-serikat itulah sekolah mereka sesungguhnya. Setelah dibekali
pengetahuan perburuhan (bahkan ekonomi-politik) secukupnya melalui
diklat-diklat yang diadakan sendiri, mereka tumbuh sebagai kekuatan besar
mengalahkan partai politik, setidaknya saat memobilisasi massa. Hebatnya,
mereka tidak dibayar, tapi beriuran.
Sayangnya,
pendidikan kita bukan kawah `candradimuka' ideal bagi lahirnya sikap keberanian
dan kepahlawanan. Pendidikan kita tak sepenuhnya mendidik. Siswa dijejali
pelajaran, tapi tak dientaskan dari rasa takut. Di ruang pertemuan, di
kelas-kelas, orang berlomba-lomba duduk di kursi-kursi belakang. Mereka yang
duduk di depan, bukan karena percaya diri, melainkan semata-mata gara-gara
datang terlambat dan tak ada pilihan. Pendidikan kita bahkan gagal membuat
orang berani duduk di kursi depan pada rapat atau pertemuan!
Menurut
Raihan Iskandar, anggota Komisi Pendidikan dan Olahraga DPR RI, sistem
pendidikan yang diterapkan pemerintah selama ini hanya dalam batasan memperoleh
pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat,
menganalisis, memahami, dan menilai atau kognitif. Akibatnya, nilai-nilai kepahlawanan
mengalami erosi dalam kehidupan masyarakat. Maka, tidak mengherankan jika saat
ini tidak ada lagi nilai-nilai keteladanan yang lahir dari pemimpin bangsa.
Padahal, bangsa ini memiliki sejarah kepahlawanan yang gemilang.
Kebanyakan
anak didik juga tak mengerti untuk apa mereka harus mempelajari semua bahan
ajar. Pendidikan menjelma kepentingan pribadi-pribadi. Bagi anak didik, supaya
pintar dan bergelar. Bagi guru, supaya bekerja dan berhonor. Selepas sekolah,
seluruh pengetahuan sekolah ditanggalkan, menyisakan kemampuan baca, tulis, dan
berhitung operasi dasar.
Secara
tak sadar, pendidikan kita mengajarkan sikap egois. Sepanjang kepentingan
sendiri terpenuhi, kita merasa cukup. Sebaliknya, saat hak dilanggar kebanyakan
dari kita diam saja, menyerah pada nasib atau paling banter ngedumel di belakang. Karena keegoisan
itu, kita sulit percaya pada orang lain. Kita tidak percaya solidaritas dan
kekuatan bergandengan tangan bersama orang lain yang berkepentingan langsung
maupun tidak. Kita selalu merasa sendiri, dan kemudian merasa takut sendiri
pula.
Aksi-aksi
nirkepahlawanan dari para pemimpin kita juga akibat sikap egoistis yang meraja
di benak pikirannya. Pemimpin tak mempercayai rakyatnya. Meskipun dipilih
rakyat, dia sebenarnya tak merasa benar-benar dipilih konstituennya.
Keterpilihan dia karena manipulasi, entah karena money politics maupun kecurangan tertentu. Lahirlah perasaan minder. Pemimpin kita tak punya massa
yang benar-benar menyokongnya sehingga dia tak mau mengambil risiko atas
kebijakan yang melawan kehendak yang lebih besar, meskipun sesuai aspirasi
rakyatnya.
Meski
digadang-gadang bertindak laiknya pahlawan, mereka malah bersikap sebaliknya. Pemimpin
di level daerah hingga pusat berlomba-lomba mengumpulkan rente dari kekuasaan
mereka. Merasa berinvestasi, mereka mengejar break even point (BEP). Ada tiga hal yang umum dilakukan: korupsi,
korupsi, dan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar