Selasa, 14 Agustus 2012

Ujian bagi Indonesia di Laut China Selatan


Ujian bagi Indonesia di Laut China Selatan
Evita Nursanty ; Anggota Komisi I DPR
SINAR HARAPAN,  13 Agustus 2012


Kegagalan organisasi negara-negara Asia Tenggara ASEAN dalam memutuskan Tata Perilaku (Code of Conduct) pada Senior Official Meeting (SOM) ASEAN, terkait penyelesaian sengketa dan konflik di Laut China Selatan antara ASEAN dengan China, menjadi ujian bagi soliditas ASEAN.

Ketidaksetujuan sejumlah negara anggota ASEAN ini merupakan ulangan dari penyelenggaraan serupa di Hanoi pada 2008 lalu. Kali ini Kamboja yang juga menjabat sebagai Ketua ASEAN selaku tuan rumah pertemuan SOM ASEAN keberatan atas sejumlah materi code of conduct tersebut.

Hal tersebut memosisikan ASEAN dipertanyakan keefektifannya dalam upaya penyelesaian permasalahan di kawasan. Penolakan Kamboja, yang disinyalir bagian dari lobi kuat China kepada Kamboja dengan mengucurkan bantuan ekonomi, telah mengubah sikap Kamboja untuk menyatakan keberatan terhadap draf materi yang diusulkan.

Sengketa dan konflik di Laut China Selatan, selain melibatkan China yang mengklaim seluruh kepulauan di Laut China Selatan, juga melibatkan negara anggota ASEAN lainnya seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Pengulangan penolakan klausul yang sama terkait permasalahan penyelesaian sengketa Laut China Selatan sesungguhnya bersumber pada ASEAN sendiri. Dalam Pasal 2 tentang prinsip dalam Piagam ASEAN ditegaskan bahwa setiap keputusan yang dihasilkan harus disetujui seluruh anggota ASEAN.

Tak heran apabila dalam setiap masalah yang dibahas akan terus menjadi agenda ASEAN setiap tahunnya, hingga kesepuluh anggota ASEAN tersebut menyetujui draf yang diusulkan ASEAN kepada negara anggotanya.

Dalam konteks inilah sesungguhnya dibutuhkan pendekatan dan diplomasi yang bersifat nonformal, khususnya pada negara-negara yang terlibat atau terkena imbas langsung permasalahan yang tengah dibahas ASEAN. Di masa lalu,  Indonesia khususnya pada era Soeharto kerap kali mengambil inisiatif untuk memecahkan kebuntuan atas materi dan draf yang dibahas pada penyelenggaraan konferensi ASEAN tingkat menteri.

Hal yang sama juga dilakukan Perdana Menteri Malaysia era Mahathir Muhamad, yang bersama Indonesia kerap melakukan pendekatan informal yang berakhir pada sejumlah kesepakatan. Ada dua contoh keberhasilan yang dilakukan pemerintahan era Soeharto, yakni penyelesaian konflik di Kamboja, dengan penyelenggaraan Jakarta Informal Meeting (JIM), dan penyelesaian konflik di Mindanao Selatan.

Dua hal tersebut adalah contoh bagaimana upaya pendekatan informal kerap kali menjadi penyelaras sebelum disetujui para kepala negara dan kepala pemerintahan anggota ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi, bila pertemuan tingkat menteri berakhir tanpa kesepakatan. 

Kebuntuan ASEAN

Kebuntuan terkait kesepakatan anggota ASEAN dalam memutuskan Tata Perilaku Penyelesaian Konflik di Laut China Selatan, secara geopolitik-keamanan menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.

Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara berpengaruh dan berkepentingan untuk tetap menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Indonesia berharap agar penyelesaian sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan China dan sejumlah negara anggota ASEAN berakhir damai.

Penyelesaian sengketa secara damai juga menjadi salah satu prinsip dalam Piagam ASEAN. Dalam konteks yang lain, atas nama kedaulatan negara dan harga diri nasional, masing-masing anggota ASEAN yang bersengketa juga melanggar prinsip yang termaktub dalam Piagam ASEAN, khususnya Pasal 2 Ayat 2 Point k.

Di situ disebutkan bahwa negara anggota tidak menggunakan wilayahnya untuk kepentingan yang mengancam kedaulatan, integritas, atau stabilitas politik dan ekonomi negara-negara anggota ASEAN lainnya.

Ketidakkonsistenan sejumlah negara anggota atas prinsip tersebut di atas dalam Piagam ASEAN juga dimanfaatkan sejumlah negara yang memiliki kepentingan di kawasan Asia Tenggara. Selain China yang secara langsung terlibat dalam perebutan gugus kepulauan di Laut China Selatan, Amerika Serikat juga secara bertahap memindahkan pangkalan lautnya mendekat ke kawasan Asia Tenggara, yakni di Darwin dan Singapura.

Selain kedua negara tersebut, Australia juga berminat memainkan peran aktifnya dalam penyelesaian konflik tersebut. Desakan parlemen dan organisasi think-tank berpengaruh di Australia menjadi pegangan bagi pemerintah Australia untuk mengambil peran strategis di kawasan.

Sementara itu, Vietnam yang menjadi salah satu negara yang berkonflik di Laut China Selatan mengundang Rusia untuk membangun pangkalan angkatan lautnya. Tawaran pemerintah Vietnam tersebut menjadi sinyalemen bahwa ketegangan akan sangat mungkin pecah sewaktu-waktu.

Hal ini bisa berubah menjadi konflik bersenjata apabila tidak dikelola dengan pendekatan persuasif dan damai, sebagaimana yang ditegaskan dalam Piagam ASEAN, khususnya Pasal 22 tentang Penyelesaian Sengketa.

Dalam konteks ini, langkah diplomasi intensif langsung dilakukan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sepekan setelah pertemuan di Kamboja. Hal tersebut dilakukan untuk kembali menjahit ikatan kerja sama dan kesepakatan terhadap materi dari tata perilaku sebagai panduan dalam penyelesaian Konflik di Asia Tenggara dengan tetap mengacu pada Piagam ASEAN.

Hanya saja, apa yang dilakukan Marty belum cukup ampuh mencairkan ketegangan sejumlah anggota ASEAN yang bersengketa dalam perebutan gugus pulau di Laut China Selatan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar