Ujian bagi
Indonesia di Laut China Selatan
Evita Nursanty ; Anggota Komisi I DPR
SINAR
HARAPAN, 13 Agustus 2012
Kegagalan organisasi
negara-negara Asia Tenggara ASEAN dalam memutuskan Tata Perilaku (Code of Conduct) pada Senior Official Meeting (SOM) ASEAN,
terkait penyelesaian sengketa dan konflik di Laut China Selatan antara ASEAN
dengan China, menjadi ujian bagi soliditas ASEAN.
Ketidaksetujuan sejumlah negara
anggota ASEAN ini merupakan ulangan dari penyelenggaraan serupa di Hanoi pada
2008 lalu. Kali ini Kamboja yang juga menjabat sebagai Ketua ASEAN selaku tuan
rumah pertemuan SOM ASEAN keberatan
atas sejumlah materi code of conduct
tersebut.
Hal tersebut memosisikan ASEAN
dipertanyakan keefektifannya dalam upaya penyelesaian permasalahan di kawasan.
Penolakan Kamboja, yang disinyalir bagian dari lobi kuat China kepada Kamboja
dengan mengucurkan bantuan ekonomi, telah mengubah sikap Kamboja untuk
menyatakan keberatan terhadap draf materi yang diusulkan.
Sengketa dan konflik di Laut
China Selatan, selain melibatkan China yang mengklaim seluruh kepulauan di Laut
China Selatan, juga melibatkan negara anggota ASEAN lainnya seperti Vietnam,
Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Pengulangan penolakan klausul
yang sama terkait permasalahan penyelesaian sengketa Laut China Selatan
sesungguhnya bersumber pada ASEAN sendiri. Dalam Pasal 2 tentang prinsip dalam
Piagam ASEAN ditegaskan bahwa setiap keputusan yang dihasilkan harus disetujui
seluruh anggota ASEAN.
Tak heran apabila dalam setiap
masalah yang dibahas akan terus menjadi agenda ASEAN setiap tahunnya, hingga
kesepuluh anggota ASEAN tersebut menyetujui draf yang diusulkan ASEAN kepada
negara anggotanya.
Dalam konteks inilah sesungguhnya
dibutuhkan pendekatan dan diplomasi yang bersifat nonformal, khususnya pada
negara-negara yang terlibat atau terkena imbas langsung permasalahan yang
tengah dibahas ASEAN. Di masa lalu, Indonesia khususnya pada era Soeharto
kerap kali mengambil inisiatif untuk memecahkan kebuntuan atas materi dan draf
yang dibahas pada penyelenggaraan konferensi ASEAN tingkat menteri.
Hal yang sama juga dilakukan
Perdana Menteri Malaysia era Mahathir Muhamad, yang bersama Indonesia kerap
melakukan pendekatan informal yang berakhir pada sejumlah kesepakatan. Ada dua
contoh keberhasilan yang dilakukan pemerintahan era Soeharto, yakni
penyelesaian konflik di Kamboja, dengan penyelenggaraan Jakarta Informal
Meeting (JIM), dan penyelesaian konflik di Mindanao Selatan.
Dua hal tersebut adalah contoh
bagaimana upaya pendekatan informal kerap kali menjadi penyelaras sebelum
disetujui para kepala negara dan kepala pemerintahan anggota ASEAN dalam
Konferensi Tingkat Tinggi, bila pertemuan tingkat menteri berakhir tanpa
kesepakatan.
Kebuntuan ASEAN
Kebuntuan terkait kesepakatan
anggota ASEAN dalam memutuskan Tata Perilaku Penyelesaian Konflik di Laut China
Selatan, secara geopolitik-keamanan menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.
Hal ini karena Indonesia
merupakan salah satu negara berpengaruh dan berkepentingan untuk tetap menjaga
stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara. Indonesia berharap agar
penyelesaian sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan China dan sejumlah
negara anggota ASEAN berakhir damai.
Penyelesaian sengketa secara
damai juga menjadi salah satu prinsip dalam Piagam ASEAN. Dalam konteks yang
lain, atas nama kedaulatan negara dan harga diri nasional, masing-masing
anggota ASEAN yang bersengketa juga melanggar prinsip yang termaktub dalam
Piagam ASEAN, khususnya Pasal 2 Ayat 2 Point k.
Di situ disebutkan bahwa negara
anggota tidak menggunakan wilayahnya untuk kepentingan yang mengancam
kedaulatan, integritas, atau stabilitas politik dan ekonomi negara-negara
anggota ASEAN lainnya.
Ketidakkonsistenan sejumlah
negara anggota atas prinsip tersebut di atas dalam Piagam ASEAN juga
dimanfaatkan sejumlah negara yang memiliki kepentingan di kawasan Asia
Tenggara. Selain China yang secara langsung terlibat dalam perebutan gugus
kepulauan di Laut China Selatan, Amerika Serikat juga secara bertahap
memindahkan pangkalan lautnya mendekat ke kawasan Asia Tenggara, yakni di
Darwin dan Singapura.
Selain kedua negara tersebut,
Australia juga berminat memainkan peran aktifnya dalam penyelesaian konflik
tersebut. Desakan parlemen dan organisasi think-tank
berpengaruh di Australia menjadi pegangan bagi pemerintah Australia untuk
mengambil peran strategis di kawasan.
Sementara itu, Vietnam yang
menjadi salah satu negara yang berkonflik di Laut China Selatan mengundang
Rusia untuk membangun pangkalan angkatan lautnya. Tawaran pemerintah Vietnam
tersebut menjadi sinyalemen bahwa ketegangan akan sangat mungkin pecah
sewaktu-waktu.
Hal ini bisa berubah menjadi
konflik bersenjata apabila tidak dikelola dengan pendekatan persuasif dan
damai, sebagaimana yang ditegaskan dalam Piagam ASEAN, khususnya Pasal 22
tentang Penyelesaian Sengketa.
Dalam konteks ini, langkah
diplomasi intensif langsung dilakukan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
sepekan setelah pertemuan di Kamboja. Hal tersebut dilakukan untuk kembali
menjahit ikatan kerja sama dan kesepakatan terhadap materi dari tata perilaku
sebagai panduan dalam penyelesaian Konflik di Asia Tenggara dengan tetap
mengacu pada Piagam ASEAN.
Hanya saja, apa yang dilakukan Marty belum cukup ampuh mencairkan ketegangan
sejumlah anggota ASEAN yang bersengketa dalam perebutan gugus pulau di Laut
China Selatan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar