Ironi
Pertumbuhan Ekonomi
Restu Iska Anna P ; Pemerhati
Masalah Ekonomi; Tinggal di Balikpapan
|
SINAR
HARAPAN, 29 Agustus 2012
Meski sudah empat tahun berlalu,
peristiwa itu seperti baru kemarin. Ketika itu menjelang Lebaran, ribuan warga
miskin berbondong-bondong mengantre zakat berupa pemberian uang dan sembako
gratis.
Mengenaskan, 21 orang, rata-rata
janda berusia 50–70 tahun, akhirnya tewas akibat terinjak-injak, ketika
mengantre di dekat rumah H Syaichon di Pasuruan, 15 September 2008.
Sebagian orang mungkin mengidap
amnesia, sehingga lupa dan tragedi itu nyaris terulang setiap kali menjelang
Lebaran, seperti ditayangkan televisi.
Sungguh memprihatikan, setiap
kali melihat tayangan warga miskin, mulai dari kakek-nenek hingga anak-anak
yang digendong ibunya, berdesak-desakan berebut pembangian zakat atau sembako.
Itulah potret buram kemiskinan.
Kaum miskin akan mencari cara
untuk menyintas, apalagi jika ada pembagian sembako atau uang gratis.
Mereka rela berdesakan. Kita
jangan buru-buru menyalahkan kaum miskin atau dermawan yang membagi zakat
secara langsung. Siapa sih mau jadi miskin? Lalu siapa mau berbagi seperti H
Syaichon? Memang soal cara pemberian zakat, seharusnya tidak lagi seperti itu.
Namun dalam hal kemiskinan, yang
patut dipersalahkan sebenarnya bukan pemberi zakat, tetapi sistem ekonomi dan
pengelolaan negara kita yang kian jauh dari amanat konstitusi, khususnya Pasal
33 UUD1945.
Amanat konstitusi menyebutkan
orang miskin dan telantar menjadi tanggung jawab negara, tetapi ternyata orang
miskin tidak pernah merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi.
Dengan sistem ekonomi neoliberal
semua hanya menguntungkan segelintir elite dan memiskinkan banyak wong cilik.
Melambungnya harga BBM dan sembako jelang Lebaran sungguh kian mencekik leher
para ibu yang penghasilan suaminya pas-pasan
Tanpa Pemerataan
Kaum miskin nyaris tidak
kecipratan berkah pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah. Seperti
diketahui, Badan Pusat Statistik pada awal Agustus merilis pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada kuartal II/2012.
Sungguh kabar yang manis, ekonomi
negeri kita tercatat tumbuh 6,4 persen dibandingkan periode yang sama 2011,
yang 6,3 persen.
Apalagi, negara-negara tetangga
malah mencatat penurunan. Malaysia tumbuh 4,7 persen (triwulan I), Singapura
hanya tumbuh 1,9 persen (triwulan II), China merosot drastis menjadi tumbuh 7,6
persen, India hanya tumbuh 5,3 persen (triwulan I), bahkan Thailand mengalami
stagnasi (pertumbuhan nol persen) pada triwulan I.
Pertumbuhan itu tentu bisa
menjadi alasan bagi pemerintah untuk berbangga, seolah semua kebijakan
pemerintah tidak ada cacatnya. Padahal, pertumbuhan itu tidak ada artinya bagi
warga miskin. Jadi jangan pernah meminta kaum miskin untuk memahami angka-angka
pertumbuhan ekonomi itu.
Menurut Bank Dunia, separo
penduduk negri ini sudah masuk kategori miskin, mengingat standar hidup mereka
kurang dari US$ 2 per hari. Ancaman krisis utang Eropa, juga pasti akan kian
menyengsarakan kaum miskin.
Kaum miskin, khususnya para
nelayan, petani, dan penganggur (termasuk penganggur terdidik) kini hanya bisa
“nelangsa”. Masalahnya pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah disertai
pemerataan. Selalu ada kesenjangan antara kota dan desa, antara Jawa luar Jawa,
Indonesa bagian barat dan timur, antara yang berpunya dan miskin.
Selain tak bisa menikmati berkah
pertumbuhan ekonomi, kaum miskin juga tidak pernah bisa menikmati berkah
melimpahnya kekayaan alam negeri ini.
Menggeliatnya sektor tambang dan
perkebunan sawit, misalnya, justru membawa kepiluan bagi warga di sekitar
tambang dan perkebunan. Coba tanya warga Papua di dekat Freeport atau warga di
dekat perkebunan sawit di Buol, yang kini menyeret Hartati Murdaya karena diduga
menyuap Bupati Buol untuk perluasan kebun sawit.
Korporasi tambang atau perkebunan
sawit kini bak monster raksasa yang malah membiarkan warga asli hidup di luar
kandungan Ibu Pertiwi.
Warga sekitar tambang atau
perkebunan tak bangga lagi pada tanah mereka. Martabat, peradaban, dan dan
kearifan lokal tidak pernah diperhitungkan dalam kontrak tambang atau
perkebunan. Mereka menjadi terasing di kampung halaman sendiri. Inilah ironi
besar saat ini.
Wakil Rakyat dan Polisi
Ironi lainnya, para wakil rakyat
yang seharusnya membela rakyat justru hanya gemar mendahulukan kepentingan
egonya. Simak mereka yang bangga bergelar koruptor dengan gaya hidup
serbamewah, sebagaimana ditunjukkan Nazarrudin.
Konon, sebelum ditangkap dan
dipenjara, Nazarrudin gemar bergaya hidup supermewah. Sepatu Bally-nya berharga
Rp 5 juta, langganan tukang jahitnya di Plaza Indonesia Rp 100 juta per dua
bulan, ke mana-mana membawa uang Rp 20 juta dan US$ 10.000, dan sebagainya.
Meski bukan Nazarrudin, kini juga
banyak wakil rakyat suka tampil klimis, tetapi jauh dari rakyat. Menyedihkan
mereka yang menyebut diri wakil rakyat tidak memiliki kepekaan dan empati
dengan rakyat, khususnya kaum miskin, yang mereka wakili.
Menjadi anggota dewan ternyata
bukan untuk membawa perubahan, tetapi hanya melanjutkan paradigma lama, yakni
menikmati betapa empuknya kursi kekuasaan. Sementara itu, para aparat hukum dan
polisi yang seharusnya menegakkan keadilan justru tak pernah memihak pada
keadilan dan kebenaran.
Korupsi simulator SIM atau kasus
rekening gendut para jenderal polisi adalah bukti bahwa polisi bukan abdi
masyarakat, tetapi abdi dari “perut” mereka sendiri. Menyedihkan bahwa
orang-orang kecil yang berurusan dengan polisi malah akhirnya ditarget dan
diharuskan setor uang dalam jumlah cukup besar, agar kasusnya tidak sampai
dibawa ke pengadilan.
Simak pula orang kecil yang
menncuri semangka, buah kakao, dan sebagainya, pasti akan segera divonis
relatif berat. Di sisi lain, para koruptor kakap justru kerap divonis ringan
dan mendapat remisi.
Kesenjangan sosial kini juga
menjadi masalah. Yang kaya kian kaya dan yang miskin kian terjebak dalam
kemiskinan kronis.
Padahal, kalau orang mau kembali
ke ekonomi Pancasila, kesenjangan sosial yang amat lebar itu bisa dihindari.
Ini karena ekonomi Pancasila mencoba membuat keseimbangan antara ekonomi
neoliberal yang cenderung individualistik dengan ekonomi marxian yang
bersemangat kolektif.
Jadi keadilan sosial harus jadi
tolok ukur ke depan, agar masyarakat bawah juga bisa merasakan berkah
melimpahnya kekayaan alam di negeri yang genap berumur 67 tahun pada bulan ini.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar