Ancaman Migrasi
Penduduk
Rakhmat Hidayat ; Pengajar Sosiologi Perkotaan Universitas
Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Université Lumière Lyon 2, Prancis
|
REPUBLIKA,
28 Agustus 2012
Jakarta dan kota-kota besar lainnya mulai menunjukkan geliatnya
pascaliburan Idul Fitri. Dinamika sosial ekonomi akan kembali pada posisi
semula. Salah satu masalah klasik yang dihadapi Jakarta adalah meningkatnya
proses urbanisasi dan migrasi kaum pendatang dari daerah.
Gejala urbanisasi dan migrasi ini bukan semata-mata masalah fisik
atau ekonomi. Tetapi, sudah menjadi masalah sosial kependudukan yang kompleks.
Mereka dibawa saudara maupun tetangganya yang sudah terlebih dahulu tinggal di
Jakarta. Mereka yang menjadi masalah adalah kaum pendatang yang tidak memiliki
keahlian memadai. Hal ini menjadi masalah klasik yang dihadapi Jakarta
pasca-Lebaran. Cara penyelesaiannya tidak menunjukkan akar masalah
sesungguhnya.
Masalah klasik ini sebenarnya terjadi karena beberapa hal.
Pertama, pusat pertumbuhan ekonomi masih terpusat di Jakarta yang jadi magnet
pertumbuhan ekonomi nasional. Setiap orang dari berbagai latar belakang sosial,
ekonomi, dan pendidikan berlomba-lomba bermigrasi ke Jakarta berharap keberuntung
di Jakarta.
Kedua, karena Jakarta masih sebagai sentral pembangunan, faktanya,
keadilan pembangunan belum tersebar di daerah-daerah. Kita menjumpai di
lapangan bahwa pembangunan belum bisa dikembangkan di kawasan-kawasan yang
masih potensial, terutama di luar Jawa. Kita memerlukan pengembangan kawasan
sebagai bagian dari strategi pembangunan sosial yang berkeadilan.
Ketiga, akibat migrasi, kaum pendatang dari berbagai daerah
memberikan implikasi kependudukan bagi daerahdaerah, yaitu semakin berkurangnya
sumber daya manusia (SDM) di daerah maupun perdesaan. Khususnya, SDM terdidik
yang dipercaya menjadi aktor utama pembangunan daerah. SDM daerah maupun
perdesaan tergiur dengan kesempatan kerja maupun tingginya gaji di perkotaan.
Sebenarnya, hal ini fenomena yang manusiawi. Tetapi, akan menjadi masalah besar
jika pemerintah tak mampu menyelesaikannya.
Akar Masalah
Kekhawatiran Pemerintah Provinsi Jakarta terhadap meningkatnya
pendatang pasca-Lebaran tentu dapat dipahami dalam konteks dinamika pembangunan
sosial ekonomi. Ancaman migrasi dan urbanisasi para pendatang dari daerah
terjadi karena persoalan keadilan pembangunan yang tidak merata di Indonesia. Realitas
di lapangan, kita bisa melihat bahwa Jakarta adalah impian penduduk Indonesia
untuk bekerja. Selagi masalah ketidakadilan pembangunan masih belum bisa
diatasi maka melonjaknya migrasi pendatang selalu akan terjadi setiap ta
hunnya. Bagi Jakarta, ancaman ini memberikan beberapa implikasi.
Pertama, kapasitas demografi akan semakin meningkat. Jakarta menghadapi
tantangan semakin besar dengan akses lahan yang mendukung kehidupan warganya
dengan aman dan nyaman. Ini menjadi ancaman kapasitas kota bagi kehidupan
warganya yang lebih manusiawi dan humanis. Kepadatan penduduk akan semakin
besar. Di sisi lain, akses pemilihan lahan semakin terbatas. Hal inilah yang
menjadikan Jakarta sebagai ruang kontestasi secara fisik maupun sosial bagi
warganya.
Kedua, gejala migrasi dan urbanisasi akan memberikan implikasi
pada ancaman kriminalitas, kemiskinan kota, dan berbagai masalah sosial
perkotaan lainnya. Tingginya kontestasi sosial ekonomi Jakarta melahirkan dua
kelompok, yaitu kelompok sosial dominan dengan kepemilikan kapitalnya dan
kelompok subordinasi dengan defisit kapital. Kelompok kedua ini adalah kelompok
yang terpinggirkan dalam arus kontestasi Jakarta. Sebagian besar dari mereka
adalah kaum pendatang tanpa pendidikan formal dan keahlian khusus.
Pengembangan Kawasan
Gejala urbanisasi dan migrasi tak bisa hanya diselesaikan dengan
operasi yustisi yang tidak menyelesaikan masalah. Melarang pendatang datang ke
Jakarta juga bukan solusi yang mendasar. Persoalan ini harus diselesaikan
secara komprehensif oleh seluruh pemangku kepentingan. Sinergi antara
Pemerintah Jakarta, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah seharusnya bisa
dilakukan secara simultan dan berkelanjutan.
Dalam konteks pembangunan sosial, gejala migrasi ini bukan sekadar
masalah Jakarta, tetapi dalam konteks yang lebih luas merupakan masalah
pemerataan pem bangunan di Indonesia. Agenda strategis yang harus dilakukan
adalah pengembangan kawasan.
Pembangunan yang berpusat pada satu wilayah sudah tidak relevan
lagi dalam konteks pembangunan sosial. Dominasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
politik yang selama ini berkembang tidak bisa lepas dari strategi ekonomi
politik Orde Baru yang mengedepankan sentralisasi. Rezim mengembangkan
pusat-pusat pertumbuhan di satu kawasan tertentu dan mengabaikan pengembangan
kawasan di luar pusat pertumbuhan tersebut. Akibatnya, terjadi disparitas
pembangunan sosial ekonomi di luar pusat-pusat pertumbuhan, terutama Pulau
Jawa.
Ketika Orde Baru, kita sering mendengar Indonesia adalah Pulau
Jawa. Kita juga mendengar Indonesia selalu identik dengan “Jakarta sentris”.
Tidak heran, pasca-Orde Baru muncul berbagai kekecewaan dalam bentuk gerakan
separatisme yang diusung berbagai kelompok karena kekecewaan terhadap Jakarta
akibat pembangunan yang tidak adil.
Kita harus belajar pada pengalaman Orde Baru dalam mendesain
strategi pembangunan ekonomi politik. Pemba ngun an yang bertumpu pada satu
pusat kekuasaan bisa menjadi bom sosial pada kemudian hari tanpa memperhatikan
pengembangan kawasan lainnya.
Apalagi, pasca-Orde Baru Indonesia mempraktikkan otonomi daerah.
Perspektif yang harus dibangun adalah adanya filosofis membangun berbagai pusat
pertumbuhan yang memungkinkan terjadi akselerasi pembangunan sosial ekonomi di
tingkat akar rumput.
Saat ini, berkembang secara masif era pemberdayaan sebagai
konsekuensi logis dari model pembangunan berpusat kepada rakyat (people cenceterd development). Semakin
banyak pusat pertum buhan ekonomi yang dibangun akan ada modal pembangunan yang
lebih ber keadilan sosial. Kita tak lagi bergantung pada dominasi pusat yang
memarjinalkan peran kawasan lain.
Selagi kita tak bisa
menyelesaikan per masalahan urbanisasi ini ke akar masalahnya maka kita akan
menghadapi ma salah klasik setiap tahun. Kita memerlukan solusi komprehensif
untuk me minimalisasi ancaman urbanisasi ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar