Koalisi
Ideologis Pilkada
Fitra Arsil ; Dosen Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA,
30 Agustus 2012
Fauzi Bowo tampaknya figur yang sangat menarik bagi partai-partai
politik. Dalam Pilkada DKI 2007, Fauzi berhasil memikat hampir seluruh partai
politik untuk mendukungnya berhadapan dengan Adang Darajatun yang hanya
didukung satu partai politik. Kini, di putaran kedua Pilkada DKI 2012, Fauzi
kembali menuai dukungan dari banyak partai politik untuk berhadapan dengan
Jokowi-Ahok yang hanya didukung oleh dua partai politik.
Namun, menariknya, koalisi bentukan Fauzi di putaran kedua Pilkada
DKI tahun ini bukanlah kelanjutan dari dukungan besar-besaran partai politik
kepada Fauzi dalam Pilkada 2007 lalu. Komposisi dukungannya berbeda, bahkan
Fauzi di Pilkada DKI tahun ini maju berawal dari inisiatif partai yang berbeda.
Tahun 2007, Fauzi maju sebagai inisiatif Partai Golkar, sedangkan tahun 2012
Fauzi maju sebagai kader Partai Demokrat.
Partai Golkar pada Pilkada DKI 2012, awalnya malah bukan di
barisan pendukung Fauzi, melainkan memiliki calon lain untuk melawan Fauzi di
putaran pertama pilkada. PDI Perjuangan yang dalam Pilkada 2007 berada dalam
barisan pendukung Fauzi, kini berada di belakang calon lain yang justru menjadi
lawan kuat Fauzi Bowo.
Berubahnya peta koalisi partai pendukung calon kepala daerah
secara besar-besaran, bahkan dengan pola yang cenderung akrobatik dalam pilkada
membenarkan teori bahwa koalisi yang terbentuk dalam suatu pemilihan (pre-electoral coalition) memang tidak
pernah mengikat secara kuat pascaberlangsungnya pemilihan (Mainwaring, 2003:
270).
Koalisi jenis ini cenderung rentan sekali terhadap per ubahan dan
dinamika politik. Selain itu, potensi perubahan koalisi semakin bertambah
karena dalam struktur pemerintahan daerah kekuasaan ekseku tif tidak memerlukan
dukungan legislatif untuk mempertahankan legitimasinya. Kepala pemerintahan
dalam membangun pemerintahannya dan membuat kebijakan tidak akan bergantung
pada partai-partai di parlemen, betapapun mereka adalah par taipartai
pendukungnya dalam pemilihan. Jose Antonio Cheibub menyatakan bahwa politik
dalam sistem presidensial berkarakter zero
sum, yakni kepala pemerintahan yang terpilih menganggapnya sebagai pemenang
seluruhnya.
Koalisi dengan konsep pre-electoral
coalition memang lahir dengan motif utama memenangkan pemilihan daripada
membangun pemerintahan secara bersa ma (Mainwaring
and Scully,1995: 33). Karena itu, pre-electoral
coalition dinilai sulit membawa agenda bersama atau mendasari koalisi
dengan program (policy-based coalition).
Kecenderungan hubungan pasangan calon dengan partaipartai politik adalah
“beli-putus” atau selesai pascapemilihan.
Bentuk terjauh yang menjadi kelanjutan koalisi jenis ini adalah
membagikan portofolio jabatan publik kepada seluruh peserta koalisi. Walaupun,
dalam realitasnya, jabatan dapat dibagikan kepada siapa saja, bahkan kepada
partai politik yang merupakan pihak berlawanan dalam pemilihan umum. Dalam
konteks pe milihan kepala daerah, pembagian jabatan sebagai insentif koalisi
juga lebih sulit dilakukan. Mengingat, jabatan yang dapat dibagi sangat
terbatas. Jabatan di struktur pemerintahan daerah lebih banyak diperuntukkan
pada pejabat karier, bukan pejabat politik.
Dengan memahami karakter koalisi yang terbentuk dalam pilkada,
seperti dikemukakan di atas, mendasarkan kerja sama koalisi hanya berdasarkan
rencana program bersama dalam kontrak politik koalisi sebelum pemilihan (pre-election coalition agreement) yang
memiliki risi ko kegagalan yang cukup tinggi. Apalagi, format ketatanegaraan
dalam sistem pemerintahan yang berlaku di dae rah saat ini jelas tidak
mendukung penegakannya (enforcement).
Tampilnya faktor-faktor ideologi dalam kampanye-kampanye pilkada
sebenarnya dapat juga dianggap sebagai salah satu faktor pendukung bertahannya
kerja sama koalisi pada pembangunan pemerintahan. Kesamaan ideologi dan
platform partai-partai yang berkoalisi da pat membuat partai-partai dan kepa la
daerah lebih mudah menjalankan program dan kebijakan bersama. Robert Axelrod
berpandangan bahwa koalisi dibentuk untuk memperjuangkan kebi jakan terten tu.
Karena itu, kedekatan ideologi dan kesamaan preferensi kebijakan menja di
faktor penting yang membuat koalisi menjadi lebih awet dan lebih kompak. (Lihat Lijphart, 1984: 50-51).
Oleh sebab itu, simbol-simbol ideologis yang secara sengaja atau
tidak telah tampil sebagai alat politik dalam proses pemilihan seharusnya
dibuktikan juga sebagai alat yang mampu membuat nyaman para peserta koalisi
pada bangunan pemerintahan yang terbentuk. Dan, dibuktikan dipakai sebagai landasan
kebijakan dalam mengelola pemerintahan. Sudah waktunya menilai kinerja
partai-partai politik dari bekerjanya platform
dan ideologinya dalam pelaksanaan pemerintahan, bukan hanya dari perolehan
suaranya dalam setiap ka li pemilihan. Platform
dan ideologi, seja tinya memang harus dipergunakan sebagai landasan
pembangunan pemerintahan, bukan cuma sebagai iklan untuk menarik pemilih dalam
kampanye. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar