Nilai Ekonomi
Mudik
Elfindri ; Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
REPUBLIKA,
13 Agustus 2012
Mudik
adalah terminologi orang pulang kampung. Biasanya terjadi pada masa Lebaran
Idul Fitri. Pada masa lain, seperti Hari Raya Kurban atau akhir tahun, mudik
juga ada, tetapi tidak sebesar selama Lebaran. Dalam terminologi migrasi, mudik
dapat termasuk dalam jenis migrasi cyrcular.
Profesor
Graeme Hugo, penemu jenis migrasi ini dari Flinders
University South Australia, mendefinisikan proses perpindahan penduduk dari
suatu tempat ke tempat lain dalam dimensi lebih dari satu hari dan kurang dari
satu bulan. Jika mudiknya hanya satu hari maka kategori migrasi ditemukan oleh
Prof Ida Bagus Mantra sebagai migrasi ulang-alik. Tetapi, jika mudiknya tidak
lagi untuk kembali bermigrasi maka itu dikatakan returned migration.
Fenomena
migrasi sirkular bisa disebabkan oleh seseorang pindah ke suatu daerah karena
kosong lapangan pekerjaan pertanian dan menunggu masa panen. Atau, karena
sengaja untuk bekerja mencari pekerjaan tambahan yang dilihat di perkotaan.
Apa
pun alasannya, model migrasi mudik adalah sebuah fenomena di mana bisa
dilakukan oleh perorangan atau keluarga untuk bepergian. Tujuannya relatif
sama, bersilaturahim. Umumnya, anakanak mengunjungi orang tua atau melihat
tempat kelahiran dan bersilaturahim dengan sanak keluarga ser ta kaum kerabat
yang pernah dekat. Beruntunglah ketika pemudik masih me miliki orang tua.
Tahun
ini diperkirakan 15 juta penduduk akan mudik. Model kembali ke kampung berupa
mudik akan semakin banyak dan masif dengan kemajuan ekonomi dan revolusi sarana
transportasi, termasuk perbaikan sarana dan prasarana angkutan jalan raya,
laut, dan udara. Proses migrasi seperti ini akan membawa banyak aktivitas
ekonomi. Di antaranya akan tersedia banyak lapangan kerja pada subsektor
transportasi, angkutan, jasa perbankan, jasa biro, dan perdagangan yang
mendukungnya.
Kita
tidak mengetahui berapa banyak rata-rata pengeluaran mudik per orang. Tetapi,
kalau dipatok saja Rp 5 juta per orang maka setidaknya akan terjadi perputaran
uang untuk mendukung proses mudik sebesar Rp 75 triliun, di mana sebanyak itu
akan bergerak dalam waktu lebih kurang dua pekan. Sebagian di antaranya akan beredar
di pedesaan.
Selain
dari semakin banyaknya uang yang beredar, biasanya arus balik barang juga akan
memuncak, baik barang yang dibawa secara langsung oleh pemudik maupun yang
dikirim lewat pos barang dan wesel, transfer bank, dan sebagainya. Arus informasi
juga akan intensif, baik mereka yang mudik maupun tidak.
Nilai Positif
Dari
proses mudik, apa makna silaturahim yang perlu diisi? Apakah dampak mudik
negatif atau sebaliknya bisa dioptimalkan untuk membangun daerah desa? Banyak
yang mengkajinya akhir-akhir ini. Ada yang menyatakan bahwa proses migrasi ke
kota telah menghilangkan sifat gotong-royong yang selama ini membudaya di desa-desa.
Sehingga, banyak juga kegiatan yang dulu dikerjakan secara bergotongroyong
berubah menjadi kegiatan yang dilakukan dengan cara moneterisasi. Fenomena itu
ditemukan pada kajian-kajian dampak negatif migrasi, seperti di Jawa Barat oleh
Prof Jaja Saefullah dan Prof Josh Azuma.
Proses
mudik bisa dimaknai menjadi positif sekiranya dalam proses silaturahim yang
dibangun terjadi proses transfer nilai-nilai positif. Di antaranya semakin
dapatnya para pemudik melihat dan memecahkan persoalan keluarga mereka yang ada
di desa-desa. Pemudik dapat memberikan nilai-nilai encouragement atau rangsangan untuk maju karena mereka relatif
lebih banyak memperoleh akses informasi di kota-kota.
Bagi
pemudik yang memiliki dana, sebenarnya proses mudik sendiri dapat meningkatkan
nilai transfer dana dari kota besar ke desa-desa melalui penambahan modal yang
dapat digunakan oleh masyarakat untuk modal kerja yang diperlukan. Sekarang
lembaga keuangan mikro sudah relatif tersedia, baik dalam bentuk koperasi, BMT,
maupun BPR di desa-desa.
Ketika
terjadi kesadaran untuk mentrasfer sumber permodalan dari tabungan pemudik maka
begitu dapat diperkirakan akan menjadi sumber modal baru untuk menggerakkan
kegiatan ekonomi yang dapat dikerjakan oleh sanak famili. Pemikiran di atas
lebih bernilai ketimbang proses pengumpulan dana digunakan untuk memperluas
bangunan masjid. Setelah masa Lebaran berlalu maka masjid yang besar menjadi
sepi.
Nilai
positif lainnya adalah mencari jalan keluar bersama terhadap proses
keberlangsungan pendidikan putra-putri yang ada di pedesaan. Para pemudik yang
memiliki kemampuan yang cukup dapat secara langsung berupaya menjadi orang tua
asuh agar anak anak dalam rentang usia masih dapat bertahan sekolah melalui
pengembangan fungsi pemudik. Banyak nilai sosial ekonomi yang positif yang
dapat ditularkan ke sanak keluarga di kampung.
Namun,
sebaliknya tidak kalah pentingnya nilai-nilai negatif dapat juga terjadi. Para
pemudik yang hidup di kota besar bisa saja lupa bahwa norma dan etika di
kampung halaman adalah masih akan tetap tinggi. Oleh karena itu, kebiasaan
buruk di daerah kota sebaiknya dihilangkan karena akan tetap membawa mudharat
yang tinggi untuk perkembangan pedesaan.
Apa
pun yang akan dilakukan selama mudik, sebenarnya yang perlu disadari adalah
isilah kegiatan selama itu dengan yang jauh lebih bermanfaat. Ketika semua
pemudik merasa hal itu penting maka dampak dari proses migrasi yang ada
tentunya akan dirasakan juga manfaat baliknya pada daerah asal.
Tetapi, sekiranya transfer itu tidak
terjadi maka proses mudik hanyalah sekadar ritual hampa, dia tidak membuahkan
hasil yang apa-apa kecuali rasa capai yang sudah dihabiskan di perjalanan
dengan sejuta risiko. Semakin menggunakan roda dua, semakin tinggi risikonya.
Semakin menggunakan angkutan udara, maka semakin besar bia yanya. Tapi, apa pun
sarana dan prasarana yang dimanfaatkan, di mata Allah SWT hanya niatlah yang
akan menjadikan sebuah proses mudik sarat dengan pemaknaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar