Selasa, 14 Agustus 2012

Nilai Ekonomi Mudik


Nilai Ekonomi Mudik
Elfindri ; Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
REPUBLIKA,  13 Agustus 2012


Mudik adalah terminologi orang pulang kampung. Biasanya terjadi pada masa Lebaran Idul Fitri. Pada masa lain, seperti Hari Raya Kurban atau akhir tahun, mudik juga ada, tetapi tidak sebesar selama Lebaran. Dalam terminologi migrasi, mudik dapat termasuk dalam jenis migrasi cyrcular.

Profesor Graeme Hugo, penemu jenis migrasi ini dari Flinders University South Australia, mendefinisikan proses perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dalam dimensi lebih dari satu hari dan kurang dari satu bulan. Jika mudiknya hanya satu hari maka kategori migrasi ditemukan oleh Prof Ida Bagus Mantra sebagai migrasi ulang-alik. Tetapi, jika mudiknya tidak lagi untuk kembali bermigrasi maka itu dikatakan returned migration.

Fenomena migrasi sirkular bisa disebabkan oleh seseorang pindah ke suatu daerah karena kosong lapangan pekerjaan pertanian dan menunggu masa panen. Atau, karena sengaja untuk bekerja mencari pekerjaan tambahan yang dilihat di perkotaan.

Apa pun alasannya, model migrasi mudik adalah sebuah fenomena di mana bisa dilakukan oleh perorangan atau keluarga untuk bepergian. Tujuannya relatif sama, bersilaturahim. Umumnya, anakanak mengunjungi orang tua atau melihat tempat kelahiran dan bersilaturahim dengan sanak keluarga ser ta kaum kerabat yang pernah dekat. Beruntunglah ketika pemudik masih me miliki orang tua.

Tahun ini diperkirakan 15 juta penduduk akan mudik. Model kembali ke kampung berupa mudik akan semakin banyak dan masif dengan kemajuan ekonomi dan revolusi sarana transportasi, termasuk perbaikan sarana dan prasarana angkutan jalan raya, laut, dan udara. Proses migrasi seperti ini akan membawa banyak aktivitas ekonomi. Di antaranya akan tersedia banyak lapangan kerja pada subsektor transportasi, angkutan, jasa perbankan, jasa biro, dan perdagangan yang mendukungnya.

Kita tidak mengetahui berapa banyak rata-rata pengeluaran mudik per orang. Tetapi, kalau dipatok saja Rp 5 juta per orang maka setidaknya akan terjadi perputaran uang untuk mendukung proses mudik sebesar Rp 75 triliun, di mana sebanyak itu akan bergerak dalam waktu lebih kurang dua pekan. Sebagian di antaranya akan beredar di pedesaan.

Selain dari semakin banyaknya uang yang beredar, biasanya arus balik barang juga akan memuncak, baik barang yang dibawa secara langsung oleh pemudik maupun yang dikirim lewat pos barang dan wesel, transfer bank, dan sebagainya. Arus informasi juga akan intensif, baik mereka yang mudik maupun tidak.

Nilai Positif

Dari proses mudik, apa makna silaturahim yang perlu diisi? Apakah dampak mudik negatif atau sebaliknya bisa dioptimalkan untuk membangun daerah desa? Banyak yang mengkajinya akhir-akhir ini. Ada yang menyatakan bahwa proses migrasi ke kota telah menghilangkan sifat gotong-royong yang selama ini membudaya di desa-desa. Sehingga, banyak juga kegiatan yang dulu dikerjakan secara bergotongroyong berubah menjadi kegiatan yang dilakukan dengan cara moneterisasi. Fenomena itu ditemukan pada kajian-kajian dampak negatif migrasi, seperti di Jawa Barat oleh Prof Jaja Saefullah dan Prof Josh Azuma.

Proses mudik bisa dimaknai menjadi positif sekiranya dalam proses silaturahim yang dibangun terjadi proses transfer nilai-nilai positif. Di antaranya semakin dapatnya para pemudik melihat dan memecahkan persoalan keluarga mereka yang ada di desa-desa. Pemudik dapat memberikan nilai-nilai encouragement atau rangsangan untuk maju karena mereka relatif lebih banyak memperoleh akses informasi di kota-kota.

Bagi pemudik yang memiliki dana, sebenarnya proses mudik sendiri dapat meningkatkan nilai transfer dana dari kota besar ke desa-desa melalui penambahan modal yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk modal kerja yang diperlukan. Sekarang lembaga keuangan mikro sudah relatif tersedia, baik dalam bentuk koperasi, BMT, maupun BPR di desa-desa.

Ketika terjadi kesadaran untuk mentrasfer sumber permodalan dari tabungan pemudik maka begitu dapat diperkirakan akan menjadi sumber modal baru untuk menggerakkan kegiatan ekonomi yang dapat dikerjakan oleh sanak famili. Pemikiran di atas lebih bernilai ketimbang proses pengumpulan dana digunakan untuk memperluas bangunan masjid. Setelah masa Lebaran berlalu maka masjid yang besar menjadi sepi.

Nilai positif lainnya adalah mencari jalan keluar bersama terhadap proses keberlangsungan pendidikan putra-putri yang ada di pedesaan. Para pemudik yang memiliki kemampuan yang cukup dapat secara langsung berupaya menjadi orang tua asuh agar anak anak dalam rentang usia masih dapat bertahan sekolah melalui pengembangan fungsi pemudik. Banyak nilai sosial ekonomi yang positif yang dapat ditularkan ke sanak keluarga di kampung.

Namun, sebaliknya tidak kalah pentingnya nilai-nilai negatif dapat juga terjadi. Para pemudik yang hidup di kota besar bisa saja lupa bahwa norma dan etika di kampung halaman adalah masih akan tetap tinggi. Oleh karena itu, kebiasaan buruk di daerah kota sebaiknya dihilangkan karena akan tetap membawa mudharat yang tinggi untuk perkembangan pedesaan.

Apa pun yang akan dilakukan selama mudik, sebenarnya yang perlu disadari adalah isilah kegiatan selama itu dengan yang jauh lebih bermanfaat. Ketika semua pemudik merasa hal itu penting maka dampak dari proses migrasi yang ada tentunya akan dirasakan juga manfaat baliknya pada daerah asal.

Tetapi, sekiranya transfer itu tidak terjadi maka proses mudik hanyalah sekadar ritual hampa, dia tidak membuahkan hasil yang apa-apa kecuali rasa capai yang sudah dihabiskan di perjalanan dengan sejuta risiko. Semakin menggunakan roda dua, semakin tinggi risikonya. Semakin menggunakan angkutan udara, maka semakin besar bia yanya. Tapi, apa pun sarana dan prasarana yang dimanfaatkan, di mata Allah SWT hanya niatlah yang akan menjadikan sebuah proses mudik sarat dengan pemaknaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar