Remisi tanpa
Diskriminasi
Ida Ayu Made Gayatri ; Ketua National
Alliance for Prisoner in Indonesia (NAPI) Bali dan Mahasiswa Program Doktor
(S3) Kajian Budaya Universitas Udayana
|
REPUBLIKA,
28 Agustus 2012
Wacana pemberian remisi belakangan ini bersifat debatable, khususnya terkait dengan pem
berian remisi yang diterima para `narapidana koruptor'.
Pemberian remisi dianggap kontraproduktif dengan semangat perjuangan
antikorupsi di Indonesia.
Semangat antikorupsi ini telah disikapi positif oleh pemerintah,
termasuk Presiden SBY, aparat penegak hukum seperti kepolisian yang tengah
didera skandal korupsi simulator SIM, dan KPK yang mendapat simpati publik
karena dirasakan konsisten mengusut kasus korupsi. Perdebatan ini bersilang
sengketa sehingga menyinggung masalah remisi yang diterima pelaku koruptor.
Label `koruptor' sebaiknya hanya diberikan kepada tahanan yang menjalani proses
peradilan.
Ketika hakim telah memutuskan perkaranya dan koruptor telah
mendapatkan putusan untuk menjalani masa kurungan badan di lembaga
pemasyarakatan (lapas), gelarnya berubah menjadi narapidana. Dan, kini istilah
ini sudah dimanusiawikan dengan sebutan warga binaan pemasyarakatan (WBP).
Kedudukan WBP dalam lapas (sebaiknya) tanpa diskriminasi,
khususnya dalam mendapatkan fasilitas dan hak serta dalam menjalankan kewajiban
yang mengikutinya. Contohnya dalam menjalankan ibadah, pembinaan, ataupun
latihan kerja.
Diskriminasi berupa pelabelan koruptor dan bukan koruptor
sebaiknya tidak menjelma dalam perlakuan para aparat lapas kepada WBP.
Penghakiman terhadap WBP semestinya tidak terjadi, apalagi ketika mereka
mendapatkan haknya seperti menerima remisi dari negara. Fakta empiris telah
menun jukkan berbagai kekerasan hingga ke rusuhan dalam lapas sering kali
tersulut karena faktor diskriminasi yang diterima para WBP, proses in-out WBP yang tidak lancar, atau lebih
banyak orang yang masuk ketimbang keluar dari dalam lapas.
Wacana pembatasan pemberian remisi hingga peluang terjadinya pembatalan
pembebasan bersyarat bagi para WBP yang berlabel ‘koruptor’ merupa kan wacana
yang tidak proporsional. Wacana yang ditujukan untuk menimbulkan efek jera ini
seharusnya ditujukan ketika proses peradilan berlangsung, khususnya ditujukan
pada pengadilan dan para hakim yang berwenang membuat keputusan.
Semangat antikorupsi tampaknya belum diapresiasikan secara
maksimal oleh lembaga peradilan, seperti putusan hakim yang kurang maksimal
untuk kasus-kasus korupsi. Skandal peradilan belakangan ini mencuat dengan
adanya oknum hakim yang memberikan vonis ringan pada kasus korupsi. Bahkan, ada
oknum hakim ad hoc yang ditangkap
karena gandrung membebaskan koruptor dan terindikasi menerima suap.
Isu korupsi merupakan isu sensitif bangsa Indonesia. Dalam kasus
seperti korupsi, pihak pengadilan mestinya me miliki kepekaan untuk
mengapresiasikan harapan rakyat dan Pemerintah Indonesia untuk memberikan
hukuman maksimal kepada para koruptor.
Semangat antikorupsi ini tampaknya kurang membara dalam institusi
yang menjadi benteng terakhir perjuangan penegakan hukum di Tanah Air. Kuncinya,
hakim seharusnya lebih tegas dalam membuat putusan dan menjatuhkan hukuman yang
maksimal untuk menimbulkan efek jera sehingga semangat ini dirasakan efektif dalam
mencegah tindak kejahatan korupsi.
Hak Remisi
Pemberian remisi kepada Gayus `Sang Koruptor' sempat heboh di
berbagai media massa karena dianggap menerima `overdosis' remisi. Padahal, remisi merupakan hak asasi yang
diterima WBP dimana masa hukuman mereka dikurangi sesuai aturan yang berlaku.
Remisi biasanya diterima WBP pada hari-hari istimewa, seperti hari
raya keagamaan sesuai dengan agama yang dianut dan pada hari peringatan HUT
Republik Indonesia setiap 17 Agustus.
Hak selain remisi yang diterima WBP adalah hak untuk dibesuk,
mengajukan dan menerima, antara lain asimilasi, pembebasan bersyarat (PB), hak
mendapatkan Cuti Menjelang Bebas (CMB), cuti mengunjungi keluarga, dan
lain-lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku. WBP juga berhak mengajukan permohonan
grasi hingga peninjauan kembali (PK) untuk meringankan hukumannya. Hak itu
dapat diberikan dengan berbagai ketentuan, seperti `berkelakuan baik'.
Penilaian ini memang cenderung subjektif dan tergantung dari penilaian sipir
atau petugas lapas.
Remisi adalah hak. Justru, dengan menghalangi atau menghambat WBP
mendapatkan remisi atau hak lain yang dapat diterimanya, hal ini merupakan
pelanggaran HAM. Menghambat pemberian remisi juga akan semakin membuat
kapasitas lapas yang obesitas. Overkapasitas ini semakin gendut untuk menampung
WBP.
Kapasitas yang berlebihan ini
sering dikeluhkan para kepala lapas karena menyedot anggaran negara yang besar.
Apalagi, anggaran yang tidak sedikit itu hanya untuk membiayai kehidupan WBP
yang terpaksa mendekam dalam lapas dan menjadi warga negara yang tidak
produktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar