Idul Fitri dan
Pendidikan Karakter Bangsa
Dede Rosyada ; Direktur Pendidikan
Tinggi Islam Kementerian Agama
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Agustus 2012
PENDIDIKAN karakter kini menjadi salah satu agenda bersama
pemerintah, sekolah, dan masyarakat, sebagai wujud kesadaran akan pentingnya
melakukan upaya-upaya sistemis dalam melaksanakan amanah Pasal 3 Undang-Undang
No 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Fungsi tersebut sangat ideal dalam upaya mengantarkan bangsa ini
menjadi bangsa besar dan memperoleh pengakuan dunia sebagai bangsa maju dengan
dukungan kekuatan sumber daya manusia yang cerdas secara spiritual, emosional,
intelektual, dan kinestesis. Kecerdasan intelektual dan kinestesis tidak akan
mampu berkontribusi secara optimal jika tidak diimbangi dengan kecerdasan emosional
yang menekankan pentingnya sikap inklusif dan pluralistis dalam kebinekaan
serta kecerdasan spiritual yang menekankan kekukuhan moral dalam pengembangan
bangsa ke depan.
Eskalasi pemajuan bangsa masih menghadapi berbagai permasalahan,
antara lain, pertama, sikap inklusif dan multikultural yang masih belum merata
di antara anak bangsa. Padahal, Indonesia negara majemuk yang menurut hasil
survei BPS 2010, jumlah etniknya mencapai 1.128 (JPNN, 2010). Oleh karena itu,
tidak terlalu mudah untuk menyamakan pandangan kendati punya rumusan cita-cita
yang sama, yakni menjadi negara maju, mandiri, dan sejahtera di 2025.
Proses pengambilan keputusan terkadang masih dipengaruhi kepentingan
primordial. Yang kedua ialah sikap menghargai dan menghormati perbedaan.
Keragaman agama, baik dalam konteks hubungan antarumat beragama maupun hubungan intern umat beragama, tidak terlalu mudah dieliminasi karena menyangkut sebuah keyakinan.
Keragaman agama, baik dalam konteks hubungan antarumat beragama maupun hubungan intern umat beragama, tidak terlalu mudah dieliminasi karena menyangkut sebuah keyakinan.
Pengembangan sikap inklusif, pluralistis, dan toleran kini
diprogram secara sistematis, dilaksanakan secara konsisten, dan dievaluasi
terus-menerus dalam proses pendidikan panjang melalui program pendidikan
karakter di semua jenis dan jenjang pendidikan. Di antara 18 nilai yang
diprogramkan untuk dibina dalam pendidikan karakter ialah keberagamaan,
toleransi, cinta damai, semangat kebangsaan, dan cinta persahabatan (Puskurbuk,
2011). Pendidikan karakter tersebut tidak menjadi satu mata pelajaran, tapi
dilaksanakan dalam semua mata pelajaran, dilaksanakan di sekolah, keluarga, dan
masyarakat dalam interaksi kehidupan sosial para siswa.
Momentum Idul Fitri
Ied al-Fithr yang baru saja
dirayakan umat Islam merupakan puncak rangkaian ibadah di bulan Ramadan
sekaligus sarana pendidikan karakter bangsa. Selepas pelaksanaan salat id, umat
Islam melakukan sebuah tradisi keagamaan, saling sapa, dan saling menyampaikan
permohonan maaf antara saudara terdekat sampai terjauh, dan antara tetangga
terdekat sampai terjauh, lintas etnik dan bahkan lintas agama, yang dilandasi
rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air. Dengan demikian, silaturahim itu
bukan lagi identitas keagamaan, melainkan menjadi sebuah identitas kebangsaan
sebagai bangsa agamais dan majemuk.
Setidaknya ada tiga nilai penting dalam tradisi Ied al-Fithr yang
menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia bagi bangsa Indonesia dalam rangka
meningkatkan kualitas keislaman dan keindonesiaan. Pertama, peningkatan
kualitas keberagamaan yang ditandai pelaksanaan salat bersama-sama di masjid
atau di lapangan, termasuk mereka yang pada hari-hari biasa sering tertinggal
salat wajibnya, atau bahkan mungkin selama setahun penuh tidak melakukan
shalat. Pada hari Ied al-Fithr mereka
melaksanakan salat ied bersama muslim
lainnya.
Kedua, peningkatan kualitas hubungan sosial yang dilandasi
kekuatan rasa persahabatan di antara sesama serta semangat cinta damai di
antara sesama muslim, dengan melepaskan berbagai perbedaan etnik, budaya, dan
aliran keagamaan. Semua umat Islam membuka diri untuk bisa saling memberi dan menerima
permintaan maaf. Tradisi sosial yang merupakan pelaksanaan perintah agama
tersebut berdimensi ganda, di samping pelaksanaan ajaran agama juga sebagai
salah satu upaya membangun dan membina karakter bangsa sebagai masyarakat yang
sangat mencintai persahabatan dan kedamaian, sebagai antitesis terha dap individualisme
yang menjadi kecenderungan masyarakat modern kota.
Ketiga, peningkatan kualitas toleransi dan semangat kebangsaan.
Dalam kasus Indonesia, perayaan Hari Raya Idul Fitri tidak hanya menjadi sebuah
prosesi keagamaan umat Islam, tapi juga menjadi bagian dari kegiatan sosial
masyarakat nonmuslim dalam mengembangkan sikap respek terhadap umat Islam.
Tidak sedikit komunitas nonmuslim turut melakukan silaturahim terhadap umat
Islam yang merayakan Idul Fitri. Demikian pula dengan umat-umat Hindu, Buddha,
dan Kong Hu Chu.
Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sebuah lesson learned bagi masyarakat, termasuk untuk siswa sekolah/madrasah
sebagai bagian dari masa depan bangsa. Mereka dibekali pengalaman positif untuk
menjadi generasi yang keberagamaan nya kuat dan tidak semata diidentifika si
dengan ukuran ritual, tapi justru kekuatan teol ogis yang bisa menjadi sumber
motivasi untuk menjadi bangsa besar dan menjadi kekuatan kontrol yang sustainable.
Momentum Idul Fitri juga merupakan lesson learned untuk memperkukuh rasa persatuan dan kesatuan
melalui prosesi silaturahim yang tidak semata sebagai perintah agama, tapi juga
dilandasi semangat kebangsaan sehingga tradisi tersebut tidak hanya dilakukan
di lingkungan kerabat, tapi juga seluruh tetangga dan handai tolan lintas etnik
dan agama.
Portofolio Idul Fitri
Pengalaman merayakan Idul Fitri yang sarat dengan pesan sosial
tersebut merupakan proses pendidikan dalam rangka mempersiapkan mereka untuk
menjadi warga negara yang inklusif, pluralistis, memiliki semangat persatuan
dan kesatuan, serta bisa bekerja sama dengan siapa saja sehingga seluruh
potensi bermanfaat bagi bangsa tanpa terhalangi oleh sekat-sekat primordial.
Pertanyaannya, bagaimana nilai-nilai tersebut dapat ditumbuhkan ke dalam skema
pembelajaran di sekolah/madrasah?
Dalam paradigma baru pendidikan, sekolah tidak hanya mengontrol
kegiatan kurikuler, tapi juga pelaksanaan hasil pembelajaran di lingkungan
keluarga dan komunitas sosial. Kini sekolah memiliki forum untuk berkomunikasi
dengan keluarga melalui school parenting,
yakni hari ketika guru jumpa dengan orangtua untuk menyampaikan target-target
pencapaian pada semester atau tahun berjalan dan peranperan apa yang harus
dilakukan orangtua dalam mengontrol anak-anaknya untuk belajar dan implementasi
hasil belajar di lingkungan keluarga.
Demikian pula guru dapat mengontrol masyarakat melalui forum focus group discussion (FGD) dengan
tokoh-tokoh masyarakat yang sangat berperan dalam perubahan-perubahan budaya
sosial. Guru bisa mengundang produser siaran hiburan di televisi, redaktur
koran dan majalah, serta tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh lainnya untuk
menyampaikan visi dan misi pembelajaran di sekolahnya.
Tidak cukup hanya sampai di situ, guru harus mengikuti
perkembangan para siswanya baik di keluarga maupun di masyarakat dengan
menggunakan instrumen portofolio,
yang menurut Victoria L Benhardt(1999), ‘merupakan
kumpulan catatan tentang apa yang dilakukan serta perubahan-perubahan siswa
untuk melihat pencapaian visi, misi, dan tujuan sekolah pada setiap siswanya’.
Signifikansi portofolio Idul Fitri berguna untuk memonitor perubahan yang direfl
eksikan para siswa di hari raya.
Bagi siswa muslim, portofolio dapat digunakan untuk memonitor
kegiatan siswa dalam pelaksanaan salat Idul Fitri dan aktivitas mereka
menjumpai semua kerabat untuk menyampaikan permohonan maaf. Aktivitas menjumpai
semua tetangga lintas etnik dan agama yang ada di sekitar perumahannya. Bagi
siswa nonmuslim, guru bisa memonitor sikap dan tindakan mereka di hari Lebaran,
apakah menyampaikan ucapan selamat kepada teman-teman muslim mereka dan apakah
mereka melakukan kunjungan silaturahmim dengan teman muslim mereka.
Dengan basis laporan tersebut, para guru bisa mengevaluasi
pencapaian tujuan pendidikan karakter pada para siswanya, baik dalam aspek
keberagamaan, kebangsaan, cinta persahabatan, dan cinta damai yang merupakan
bagianbagian penting dalam rangka mempersiapkan generasi masa depan yang lebih
siap untuk bisa bekerja sama dalam keragaman. Sebaiknya guru PKN dan guru agama
dapat berperan aktif dalam penugasan, pengumpulan, dan penilaian portofolio
itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar