Kekerasan atas
Nama Agama
dan Problem
Kebangsaan Kita
Kacung Marijan ; Guru
Besar Universitas Airlangga (Unair), Staf Ahli Mendikbud
|
SINDO,
29 Agustus 2012
Kekerasan
atas nama agama kembali terjadi. Kali ini terulang kembali di Sampang. Kelompok
pengikut Sunni dan Syiah bersitegang, saling menyerang, dan berakhir dengan
pembakaran sejumlah rumah pengikut Syiah.
Tidak
hanya itu, korban nyawa pun terjadi. Konflik dan aksi kekerasan yang melibatkan
dua pengikut aliran di dalam Islam seperti itu memang bukan khas Indonesia.
Sejak masa kekhalifahan, sepeninggal Nabi Muhammad SAW, ketegangan di antara
dua kelompok ini tidak hanya sebatas ketegangan wacana. Dalam kasus tertentu,
perbedaan itu berujung pada kekerasan,dan hal ini terjadi di sejumlah
negara.
Di Indonesia, pengikut Syiah tergolong minoritas. Tetapi secara umum, kehadiran Syiah sebenarnya tidak menjadi masalah yang sangat berarti. Hal ini berbeda dengan aliran Ahmadiyah yang dianggap telah keluar dari ajaran Islam karena dipandang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Syiah, dalam pandangan banyak ulama, merupakan bagian dari aliran di dalam Islam.
Kompleksitas Masalah
Meskipun demikian, seperti halnya praktik interaksi aliranaliran di dalam agama-agama lainnya, perbedaan pandangan teologis antara pengikut Sunni dan Syiah itu bisa mencuat ke arah konflik yang mengemuka, manakala masing-masing berpandangan bahwa hanya kelompoknya yang paling benar dan kelompok lain salah. Tidak berhenti sampai di sini, terdapat pemikiran dan tindakan untuk saling meniadakan. Model konflik zero-sum game inilah yang memicu munculnya kekerasan itu.
Di dalam kasus Sampang, masalahnya menjadi lebih kompleks karena dua konteks. Pertama, konflik itu sejatinya tidak lepas dari konflik pribadi antara dua saudara di dalam memperebutkan “sesuatu”. Untuk menambah amunisi kekuatan, masing-masing lalu “meminta bantuan” dari komunitas yang berbasis pada pemahaman dua aliran itu.
Kedua, konflik di Sampang terjadi di daerah yang tergolong terbelakang. Kabupaten Sampang termasuk salah satu kabupaten tertinggal. Tingkat pendidikan masyarakatnya, misalnya, di bawah rata-rata tingkat pendidikan di Jawa Timur. Kehidupan ekonominya juga tergolong paspasan.
Sementara itu, budaya paternalistiknya masih kental. Tingkat kepatuhan kepada pemimpin-pemimpin masyarakatnya masih tinggi. Tidaklah mengherankan kalau kita mendapati realitas bahwa orang-orang yang terlibat langsung dalam konflik kekerasan itu, sebenarnya tidak memahami secara mendalam substansi persamaan dan perbedaan teologis antara Sunni dan Syiah. Yang mereka tahu adalah, mereka merupakan bagian dari Sunni dan Syiah. Ketika ada yang menggerakkan untuk saling meniadakan, mereka mengikuti begitu saja ajakan itu.
Problem Kebangsaan
Apa yang terjadi di Sampang itu merupakan peristiwa buruk yang tidak perlu terjadi. Konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama itu bukan hanya telah mencederai kesucian agama, melainkan juga mencederai rasa kebangsaan kita. Adanya perbedaan di dalam menafsirkan agama merupakan suatu realitas. Semua agama memiliki pengalaman semacam ini.
Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa ajaran yang dibawa oleh para nabi, termasuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tidak semuanya berisikan pedoman-pedoman yang sudah. Tidak sedikit ajaran yang harus ditafsirkan. Karena itu, ketika muncul adanya kelompok-kelompok dalam penafsirannya, hal itu merupakan hal yang wajar saja. Meskipun demikian, perbedaan penafsiran, yang di antaranya telah melahirkan aliran-aliran itu, tidak sertamerta menghilangkan persamaan-persamaannya.
Adanya pengakuan tentang persamaan dan perbedaan itu akan melahirkan sikap saling menghormati satu sama lain. Apalagi, masing-masing juga menyadari bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bagian dari usaha untuk sama-sama mencapai kebaikan dan kemuliaan. Penonjolan perbedaan yang berujung pada lahirnya konflik dan saling meniadakan justru bisa merusak nilai-nilai agama yang dianut itu.
Dalam konteks keindonesiaan, apa yang terjadi di Sampang itu sangat mengkhawatirkan. Sejak awal, konstruksi kebangsaan yang dibangun Indonesia adalah bangsa yang majemuk, tetapi satu. Konstruksi demikian sejalan dengan bingkai paham multikultural. Dalam paham yang terakhir ini, hubungan antarkelompok digambarkan dalam dua karakteristik. Pertama adalah proeksistensi, dan yang kedua adalah koeksistensi.
Suatu bangsa yang majemuk akan terjalin secara baik manakala masing-masing kelompok mengakui dan mendukung keberadaan kelompok lain. Mendukung kelompok lain untuk ada, berarti mendukung dirinya sendiri untuk tetap ada. Selain itu, suatu bangsa yang majemuk akan berjalan secara baik manakala antara kelompok satu dan kelompok lain bisa dan saling bekerja sama.
Perbedaan etnik, kelas sosial, agama, dan karakteristik sosiologis lainnya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk saling berinteraksi di dalam kehidupan sehari-hari. Kasus yang terjadi di Sampang bertolak belakang dengan karakteristik paham multikultural itu. Di antara kelompok yang bertikai itu terdapat pemikiran dan aksi untuk tidak saling mengakui dan upaya meniadakan satu sama lain. Konsekuensi selanjutnya, mereka tidak menginginkan kerja sama satu sama lain.
Rekayasa Sosial
Mengingat kasus seperti Sampang itu membahayakan karakteristik kebangsaan Indonesia, kejadian serupa di kemudian hari tidak boleh terulang kembali. Tidak mudah mewujudkannya memang, tetapi kita perlu memiliki langkah strategis berupa rekayasa sosial untuk mencegahnya. Pendidikan multikulturalisme merupakan kata kuncinya. Melalui pendidikan demikian, masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup mengenai eksistensi masyarakat Indonesia yang berbeda-beda.
Tidak hanya mengetahui, mereka bisa saling mengakui dan bekerja sama satu sama lain. Pendidikan multikulturalisme tidak harus dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan formal. Komunitas, organisasi organisasi masyarakat bisa melakukannya. Yang terakhir ini bahkan memiliki implikasi yang tidak kalah pentingnya, karena proses pembelajaran dilakukan bersamaan dengan praktik hidup bersama-sama di dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, intervensi negara juga penting. Intervensi negara itu berupa aksi aparat negara, khususnya aparat keamanan dan penegak hukum, dalam melakukan pencegahan dan penanganan masalah kalau terjadi kerusuhan semacam itu terjadi.
Bagaimanapun, negara merupakan institusi pokok yang memiliki kekuatan, termasuk kekuatan kekerasan, agar peristiwa-peristiwa semacam itu tidak terjadi. ●
Di Indonesia, pengikut Syiah tergolong minoritas. Tetapi secara umum, kehadiran Syiah sebenarnya tidak menjadi masalah yang sangat berarti. Hal ini berbeda dengan aliran Ahmadiyah yang dianggap telah keluar dari ajaran Islam karena dipandang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Syiah, dalam pandangan banyak ulama, merupakan bagian dari aliran di dalam Islam.
Kompleksitas Masalah
Meskipun demikian, seperti halnya praktik interaksi aliranaliran di dalam agama-agama lainnya, perbedaan pandangan teologis antara pengikut Sunni dan Syiah itu bisa mencuat ke arah konflik yang mengemuka, manakala masing-masing berpandangan bahwa hanya kelompoknya yang paling benar dan kelompok lain salah. Tidak berhenti sampai di sini, terdapat pemikiran dan tindakan untuk saling meniadakan. Model konflik zero-sum game inilah yang memicu munculnya kekerasan itu.
Di dalam kasus Sampang, masalahnya menjadi lebih kompleks karena dua konteks. Pertama, konflik itu sejatinya tidak lepas dari konflik pribadi antara dua saudara di dalam memperebutkan “sesuatu”. Untuk menambah amunisi kekuatan, masing-masing lalu “meminta bantuan” dari komunitas yang berbasis pada pemahaman dua aliran itu.
Kedua, konflik di Sampang terjadi di daerah yang tergolong terbelakang. Kabupaten Sampang termasuk salah satu kabupaten tertinggal. Tingkat pendidikan masyarakatnya, misalnya, di bawah rata-rata tingkat pendidikan di Jawa Timur. Kehidupan ekonominya juga tergolong paspasan.
Sementara itu, budaya paternalistiknya masih kental. Tingkat kepatuhan kepada pemimpin-pemimpin masyarakatnya masih tinggi. Tidaklah mengherankan kalau kita mendapati realitas bahwa orang-orang yang terlibat langsung dalam konflik kekerasan itu, sebenarnya tidak memahami secara mendalam substansi persamaan dan perbedaan teologis antara Sunni dan Syiah. Yang mereka tahu adalah, mereka merupakan bagian dari Sunni dan Syiah. Ketika ada yang menggerakkan untuk saling meniadakan, mereka mengikuti begitu saja ajakan itu.
Problem Kebangsaan
Apa yang terjadi di Sampang itu merupakan peristiwa buruk yang tidak perlu terjadi. Konflik kekerasan yang mengatasnamakan agama itu bukan hanya telah mencederai kesucian agama, melainkan juga mencederai rasa kebangsaan kita. Adanya perbedaan di dalam menafsirkan agama merupakan suatu realitas. Semua agama memiliki pengalaman semacam ini.
Hal ini tidak lepas dari realitas bahwa ajaran yang dibawa oleh para nabi, termasuk yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tidak semuanya berisikan pedoman-pedoman yang sudah. Tidak sedikit ajaran yang harus ditafsirkan. Karena itu, ketika muncul adanya kelompok-kelompok dalam penafsirannya, hal itu merupakan hal yang wajar saja. Meskipun demikian, perbedaan penafsiran, yang di antaranya telah melahirkan aliran-aliran itu, tidak sertamerta menghilangkan persamaan-persamaannya.
Adanya pengakuan tentang persamaan dan perbedaan itu akan melahirkan sikap saling menghormati satu sama lain. Apalagi, masing-masing juga menyadari bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bagian dari usaha untuk sama-sama mencapai kebaikan dan kemuliaan. Penonjolan perbedaan yang berujung pada lahirnya konflik dan saling meniadakan justru bisa merusak nilai-nilai agama yang dianut itu.
Dalam konteks keindonesiaan, apa yang terjadi di Sampang itu sangat mengkhawatirkan. Sejak awal, konstruksi kebangsaan yang dibangun Indonesia adalah bangsa yang majemuk, tetapi satu. Konstruksi demikian sejalan dengan bingkai paham multikultural. Dalam paham yang terakhir ini, hubungan antarkelompok digambarkan dalam dua karakteristik. Pertama adalah proeksistensi, dan yang kedua adalah koeksistensi.
Suatu bangsa yang majemuk akan terjalin secara baik manakala masing-masing kelompok mengakui dan mendukung keberadaan kelompok lain. Mendukung kelompok lain untuk ada, berarti mendukung dirinya sendiri untuk tetap ada. Selain itu, suatu bangsa yang majemuk akan berjalan secara baik manakala antara kelompok satu dan kelompok lain bisa dan saling bekerja sama.
Perbedaan etnik, kelas sosial, agama, dan karakteristik sosiologis lainnya tidak menjadi halangan bagi mereka untuk saling berinteraksi di dalam kehidupan sehari-hari. Kasus yang terjadi di Sampang bertolak belakang dengan karakteristik paham multikultural itu. Di antara kelompok yang bertikai itu terdapat pemikiran dan aksi untuk tidak saling mengakui dan upaya meniadakan satu sama lain. Konsekuensi selanjutnya, mereka tidak menginginkan kerja sama satu sama lain.
Rekayasa Sosial
Mengingat kasus seperti Sampang itu membahayakan karakteristik kebangsaan Indonesia, kejadian serupa di kemudian hari tidak boleh terulang kembali. Tidak mudah mewujudkannya memang, tetapi kita perlu memiliki langkah strategis berupa rekayasa sosial untuk mencegahnya. Pendidikan multikulturalisme merupakan kata kuncinya. Melalui pendidikan demikian, masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup mengenai eksistensi masyarakat Indonesia yang berbeda-beda.
Tidak hanya mengetahui, mereka bisa saling mengakui dan bekerja sama satu sama lain. Pendidikan multikulturalisme tidak harus dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan formal. Komunitas, organisasi organisasi masyarakat bisa melakukannya. Yang terakhir ini bahkan memiliki implikasi yang tidak kalah pentingnya, karena proses pembelajaran dilakukan bersamaan dengan praktik hidup bersama-sama di dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, intervensi negara juga penting. Intervensi negara itu berupa aksi aparat negara, khususnya aparat keamanan dan penegak hukum, dalam melakukan pencegahan dan penanganan masalah kalau terjadi kerusuhan semacam itu terjadi.
Bagaimanapun, negara merupakan institusi pokok yang memiliki kekuatan, termasuk kekuatan kekerasan, agar peristiwa-peristiwa semacam itu tidak terjadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar