Cara Pandang
Baru Otonomi Daerah
Djohermansyah Djohan ; Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam
Negeri
|
KOMPAS,
28 Agustus 2012
RUU pengganti UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang tengah dibahas di DPR merupakan ikhtiar pemerintah
untuk memperbaiki pemerintahan daerah menjadi lebih lebih efektif dan stabil.
Juga untuk mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam kerangka NKRI.
Namun, artikel Ramlan Surbakti berjudul ”Otonomi
Daerah dari Presiden?” (Kompas, 31 Juli 2012) mempertanyakan RUU dimaksud. Ia
mengkritisi beberapa ”cara pandang baru” yang dirumuskan pemerintah, utamanya
terkait kekuasaan Presiden dalam otonomi daerah.
Sejatinya, cara pandang baru merupakan terobosan
untuk mencari jalan keluar terhadap permasalahan pemerintahan daerah yang
semakin kronik dan sistemik pasca-reformasi pemerintahan daerah. UU No 32/2004
telah menghadirkan ribuan kasus. Pilkada yang makin pelik dan kompleks,
pemekaran daerah dan eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali, ratusan
pemimpin daerah kena kasus hukum, pembangkangan kepala daerah terhadap
pemerintah atasan, lahirnya aneka peraturan daerah (perda) bermasalah, dan lain
sebagainya.
Negara apa pun di dunia pasti menginginkan
keteraturan dan keserasian dalam kehidupan pemerintahan daerahnya, apalagi di
negara kesatuan yang sangat majemuk seperti Indonesia. Padahal, ciri utama
otonomi daerah dalam konteks negara kesatuan adalah adanya hubungan hierarki
antara pusat dan daerah.
Dalam praktik negara kesatuan, daerah otonom
dibentuk oleh pemerintah pusat dan bahkan juga dapat dihapus bila dia tak mampu
melaksanakan otonominya. Sumber kewenangan untuk menjalankan pemerintahan
daerah berasal dari pemerintah pusat dan tanggung jawab pemerintahan pun
dipegang oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, sesuai Pasal 4
(1) UUD 1945.
Menafsirkan Otda
Untuk menafsirkan konsep desentralisasi dan
otonomi daerah yang bersumber dari UUD 1945 secara tepat, sangat penting bila
kita memahami asbabun nuzul serta
berbagai pemikiran para pendiri bangsa yang merumuskan konsep tersebut. Menurut
Mohammad Hatta, ”...adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya, yang tidak
hanya ada pada pucuk pimpinan negeri, melainkan juga pada setiap tempat di
kota, di desa, dan di daerah” (Kompilasi UU Otonomi Daerah, 2004). Artinya,
otonomi daerah sangat penting dalam menentukan kemajuan rakyat, bukan semata
dari petinggi pemerintah pusat.
Demikian pula pemikiran Soepomo dalam
penjelasan Pasal 18 UUD 1945: ”...di
daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh
karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan”.
Ini artinya, kehadiran DPRD dalam sistem pemerintahan daerah kita merupakan
wujud dari politik desentralisasi, bukan hanya semata-mata administratif
desentralisasi yang lebih menekankan pada pendelegasian kewenangan. Dengan
demikian, pemikiran untuk menghapus DPRD dengan pertimbangan efisiensi semata
tak saja inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 18 (3) UUD 1945,
juga perampasan terhadap hak rakyat dalam berdemokrasi yang bersendikan
permusyawaratan.
Untuk mengakomodasi hak rakyat, seraya
menjalankan kewajiban mempertahankan NKRI melalui pemerintahan daerah yang
teratur dan efektif, maka RUU pengganti UU No 32/2004 berpijak pada dasar-dasar
konstitusional yang kontekstual seiring perkembangan masyarakat.
Pertama, pada dasarnya terdapat kaitan erat
antara Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945. Pasal 18 Ayat (5)
menyatakan, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah.
Sementara Pasal 4 Ayat (1) menyatakan, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
berdasarkan UUD.
Kedua, dalam konteks negara kesatuan,
pelaksanaan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif hanya ada di tingkat
pusat. Karena itu, dalam memaknai Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 berarti tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari konsep negara kesatuan.
Ini berarti kekuasaan yang diotonomikan pada
hakikatnya kekuasaan eksekutif yang ada di tangan Presiden sebagaimana dimaksud
Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945. Tanggung jawab akhir dari seluruh penyelenggaraan
urusan pemerintahan, termasuk yang diotonomikan, tentunya berada di tangan
Presiden.
Konsekuensi logis dari pengaturan itu, maka
Presiden punya kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan, monitoring dan
evaluasi, bahkan sanksi terhadap penyelenggara pemerintahan daerah yang tidak
amanah, tidak menaati perundang- undangan dan kebijakan pemerintah pusat. Dalam
hubungan itu, maka perda sebelum diberlakukan dievaluasi, daerah-daerah tiap
tahun dinilai kinerjanya, dan kepala daerah yang melanggar sumpah jabatan dapat
diberhentikan.
Meluruskan Pijakan
Konstitusi negara adalah pijakan utama dalam kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, terutama Pasal 4 (1) dan Pasal
18 UUD 1945. Dengan demikian, pemerintahan daerah disusun dengan mengedepankan
demokrasi, serta harus mengakomodasi hak-hak masyarakat di daerah. Demikian
juga dengan tata cara pembuatan kebijakan, maka kehadiran DPRD dalam tatanan
pemerintahan daerah tak sepenuhnya mengadopsi teori trias politika. Buktinya,
tidak ada korelasi dan hubungan hierarkis antara DPRD dengan DPR dalam sistem
politik Indonesia.
Penilaian Ramlan terhadap pengaturan penataan
daerah yang dianggap berpikir terbalik dan ”mendikte” DPR dalam menjalankan
fungsi legislasinya perlu dikoreksi. Sebenarnya, RUU pengganti UU No 32/2004
memasukkan pengaturan desain besar penataan daerah (Desartada) ke dalam RUU itu. Namun, penjabarannya ditetapkan dengan
peraturan pemerintah karena Desartada merupakan pedoman teknis dalam penataan
daerah.
Keberadaan Desartada bukan untuk ”mendikte” DPR, melainkan justru membantu
DPR dalam membentuk UU pemekaran daerah yang baik melalui tahapan daerah
persiapan lebih dahulu. Secara legal formal DPR tetap memiliki wewenang menolak
atau menerima daerah persiapan yang diusulkan pemerintah untuk ditingkatkan
jadi daerah otonom.
Pengalaman menunjukkan, DPR pernah membuat
205 UU tentang pembentukan daerah otonom baru selama 1999-2009. Sebagian besar
daerah otonom baru yang dilahirkan melalui UU yang kerap disebut pengamat
sebagai UU copy paste itu sarat
dengan masalah, terutama berkaitan dengan sengketa batas wilayah, ibu kota dan
aset dengan daerah induk yang mengganggu jalannya pemerintahan. UU yang
dibentuk itu lebih cenderung mengakomodasi kepentingan politik semata, tetapi
mengabaikan aspek dan indikator teknis pemerintahan sehingga persyaratan
minimum suatu daerah otonom baru tidak terpenuhi.
Karena itu, guna mengatasi karut-marut
berbagai dampak negatif kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah kita dewasa
ini, pemerintah harus mengambil langkah nyata dengan cara pandang baru.
Penataan otonomi daerah melalui RUU pengganti UU No 32/2004 diharapkan dapat
jadi solusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar