Kebudayaan dalam
Pemerintahan
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
27 Agustus 2012
Sebenarnya banyak yang mempertanyakan
komentar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, beberapa
waktu lalu, tentang eksistensi taman budaya yang tersebar di banyak provinsi
negeri ini.
Hal yang cukup mengejutkan adalah anggapan
sang menteri tentang lembaga budaya itu yang, menurut dia, bisa jadi etalase
produk-produk budaya Indonesia. Sinisme pun merebak: taman budaya menjadi showroom?
Lebih dari itu, sebagian pihak mempertanyakan
urusan sang menteri dengan keberadaan taman budaya di Indonesia. Sejak bilakah taman-taman budaya itu jadi bagian atau
urusan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf)? Bukankah
semestinya ia dalam subordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud)? Tidakkah mengerikan bila taman-taman budaya itu didesak jadi
toko-toko yang mengecer karya-karya seni negeri ini, bukan justru menjadi
laboratorium atau kawah candradimuka kerja-kerja artistik para seniman kita?
Semua pertanyaan itu sesungguhnya bermuara
pada salah paham, yang akhirnya melahirkan visi dan misi yang keliru, dari para
menteri kita tentang apa dan di mana posisi kebudayaan dalam kerja mereka
(pemerintah). Satu persoalan yang sudah terjadi ketika kebudayaan dipisahkan
dari (departemen) pendidikan, dan lebih celaka lagi ditautkan dengan
(departemen) pariwisata. Protes mengalir deras hingga akhirnya pemerintah
mengambil keputusan mengembalikan kebudayaan ke habitat aslinya bersama
pendidikan.
Persoalan muncul kembali terkait wilayah
kerja dari kebudayaan dan ekonomi kreatif, karena yang belakangan juga merasa
berkepentingan dengan kebudayaan dan kesenian yang terikut di dalamnya.
Efeknya, terjadi semacam tarik-menarik kepentingan, misalnya tentang industri
film, Galeri Nasional, dan respons terhadap klaim Malaysia atas sejumlah produk
budaya kita.
Hulu dan Hilir
Terlebih dahulu perlu diafirmasi apa makna
dan bagaimana kerja kebudayaan kita, sekurangnya untuk dua kementerian itu. Hal
utama adalah memahami kebudayaan sebagai sebuah produk (juga proses di
baliknya) dan manfaatnya secara praktis. Sebagaimana dalam industri, produk
adalah bagian hulu, sementara manfaat ada di bagian hilir.
Dalam pengertian ini, kebudayaan, termasuk
kesenian di dalamnya, adalah sebuah kerja yang idealistik di ujung hulunya. Di
bagian inilah konten, ide-ide, bentuk, dan rekayasa artistik diolah dan
diproduksi. Dari hasil ini muncul kemudian manfaat- manfaatnya. Dari sekian
banyak manfaat itu, baik yang benda maupun tak benda, baik yang material maupun
imaterial, diapresiasi publik dengan fungsi dan signifikansi masing-masing.
Salah satu dari pemanfaatan itu adalah
mendapatkan surplus nilai secara praktis, material, dan komersial. Sebagaimana
alam memproduksi kayu yang kemudian kita jual dalam bentuk kursi, demikian pula
produk artistik dari kebudayaan juga harus diproses lagi untuk mendapatkan
surplus nilai saat ia dilempar ke ranah publik untuk diapresiasi.
Dari pemahaman dasar itu, jelaslah di mana
posisi dan peran pemerintah. Ada yang bermain di hulu (Kemdikbud) dan di hilir
(Kemenparekraf). Kemdikbud bertanggung jawab menciptakan kondisi sekondusif
mungkin bagi dinamika kerja kreatif-artistik: mulai dari infrastruktur,
pendanaan, perlindungan hukum, fasilitas pajak, dan sebagainya. Karena itu—di
bagian ini—isi, bentuk, termasuk eksperimentasi dan pembaruan hingga pergaulan
atau relasi institusional ada di dalam di wilayah Kemdikbud.
Sementara Kemenparekraf memanfaatkan secara
praktis dan pragmatis semua produk itu, tidak peduli bagaimana isi dan bentuk
hasil kreatif itu. Tugasnya melakukan pengemasan, promosi, dan jika perlu
”menjual” tanpa perlu ikut campur, apalagi mengganggu proses yang ada di hulu.
Dengan distribusi tugas seperti di atas, tak
perlu lagi ada kerancuan atau tarik-menarik di antara keduanya mengenai banyak
hal. Soal taman budaya atau Galeri Nasional, misalnya, mudah dipahami apakah ia
merupakan bagian integral dari proses kreatif (hulu) atau komersialisasi
(hilir). Saya kira kita, umumnya para pekerja budaya, paling tidak setuju soal
itu ada di bagian hulu.
Atau, siapa yang bertanggung jawab pada diplomasi
budaya, tentang masalah klaim-klaim budaya itu? Tentu saja keduanya, bahkan
bertiga dengan Kementerian Luar Negeri, tetapi dengan pembagian kerja yang
jelas.
Sebagai lembaga ide(alis), Kemdikbud
menyiapkan argumen seilmiah dan seadekuat mungkin. Kemenparekraf mengemasnya
untuk kebutuhan media internasional dan lain-lain. Lalu, Kemlu menggerakkan
jaringannya untuk menyebarluaskan argumen canggih yang sudah indah itu.
Logika ini bisa diterapkan pada banyak
masalah lain, termasuk film dan juga satu hal ganjil yang luput selama ini:
arkeologi!
Arkeologi sebagai disiplin ilmu berada dalam
wilayah kerja praktis dan aplikatif Kemdikbud. Penempatan ini sebenarnya cukup
mengherankan, atau bisa jadi justru seperti diistimewakan. Sebab hanya ia
satu-satunya kerja saintifik yang termaktub dalam wilayah kerja Kemdikbud.
Boleh jadi hal itu terjadi lantaran
pengertian arkeologi berkait ketat dengan situs-situs purbakala, yang
pemeliharaan, konservasi, dan restorasinya memang jadi tanggung jawab
Kemdikbud. Arkeologi dan situs menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa ini,
sejarah identitas dan jati diri yang menjadi soal krusial dalam pendidikan dan
kebudayaan. Namun, apakah sejarah hanya berkait dengan arkeologi, situs, dan
ilmu sejarah? Tidakkah banyak cabang ilmu lain yang juga turut menelusurinya,
seperti paleontologi, bahasa, antropologi, bahkan genetika?
Dalam hemat penulis, arkeologi
sebagai disiplin ilmu sebaiknya dientaskan dari Kemdikbud. Kembalikan ia pada
komunitas akademiknya, dalam hal ini LIPI. Tugas Kemdikbud bukan melakukan
riset spesifik di bidang itu, tapi melakukan perlindungan, konservasi, dan
restorasi saja, plus menyebarluaskan maknanya kepada generasi muda.
Kebudayaan Lelucon
Akhirnya, harus tetap dikatakan, kebudayaan dalam pemerintahan seyogianya tidak hanya
dianggap hiburan, lelucon, atau pemanis dari kerja-kerja kenegaraan lainnya.
Kebudayaan adalah—sekali lagi—fundamen dari semua kerja pemerintahan.
Dengan kebudayaan (aparatus) pemerintah bisa melakukan signifikansi atau
menjumput nilai dan hikmah dari hasil kerjanya. Tanpa kebudayaan, semua jadi
hampa. Tak dibutuhkan kecerdasan lebih untuk memahami hal itu.
Menggembirakan misalnya, dalam beberapa bulan
terakhir ini muncul seksi kebudayaan dan seksi kesenian dalam Kementerian Dalam
Negeri. Sebuah keputusan visioner yang menggambarkan kesadaran betapa kerja
membangun kesadaran bernegara akan terasa reduksionis, bahkan menyesatkan bila
hanya didasari oleh cara berpikir politis, bukan kebudayaan.
Visi semacam ini semestinya juga ada dalam kementerian
atau lembaga negara lainnya, bahkan di bidang pertahanan atau Mahkamah Agung
dan Kepolisian. Namun, apakah kita bisa berharap
pemerintah memiliki visi sehebat itu, sementara di kementeriannya sendiri
kebudayaan begitu nelangsa berhadapan dengan adik kandungnya (baca:
pendidikan), ketika ia hanya menerima 0,5 persen dari dana yang dianggarkan
bagi sang adik? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar