Transfer
Anggaran (Birokrasi) Daerah
Yuna Farhan ; Sekretaris Jenderal Fitra
|
KOMPAS,
28 Agustus 2012
Kompas edisi 24 Agustus halaman 17 mengangkat
ihwal efisiensi dana transfer yang meningkat pada RAPBN 2013: dialokasikan Rp
518,9 triliun, 31,3 persen dari total belanja.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa
mengungkapkan bahwa transfer daerah masih banyak tersedot untuk belanja
pegawai. Berdasarkan data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
pada 2011 terdapat 124 daerah yang 50 persen lebih anggarannya dialokasikan
untuk belanja pegawai dan meningkat menjadi 302 daerah pada APBD 2012. Bahkan,
16 daerah menganggarkan belanja pegawai di atas 70 persen.
Dengan postur anggaran begini, tujuan otonomi
daerah meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan memperbaiki pelayanan
publik akan sulit dicapai. Fakta ini tak serta-merta disebabkan oleh buruknya
tata kelola anggaran di daerah. Kelemahan pada sistem desentralisasi fiskal dan
tak konsistennya pemerintah pusat, berkontribusi pada potret anggaran daerah
yang lebih banyak dialokasikan untuk ongkos tukang dibandingkan dengan
pelayanan publik.
Rata-rata daerah menggantungkan 80 persen
pendapatan daerahnya pada dana transfer dari APBN, sementara sebagian besar
transfer daerah sudah dalam bentuk belanja pegawai. Dengan memasukkan kebutuhan
belanja pegawai pada dana alokasi umum (DAU), otomatis daerah tak ambil pusing
membiayai atau merekrut pegawai baru.
Meninabobokan
Formula DAU meninabobo- kan daerah untuk
terus merekrut pegawai baru dan memekarkan diri. Formula DAU justru memberikan
insentif terhadap membengkaknya belanja pegawai dan disinsentif bagi daerah
yang efisien belanja pegawainya.
Dalam RAPBN 2013, sebagian besar transfer
daerah dialokasi- kan untuk belanja pegawai dalam bentuk DAU Rp 306,2 triliun
(59 persen), tunjangan profesi guru Rp 43,1 triliun (8 persen), dan tambahan
penghasilan guru Rp 2,4 triliun (1 persen). Praktis sulit mengharapkan daerah
mengalokasikan lebih besar anggarannya untuk belanja modal atau pelayanan
publik.
Hampir setiap tahun dalam penyampaian pidato
nota keuangan, pemerintah selalu mengklaim: terus meningkatkan dana transfer
daerah. Kenyataannya, dari tahun ke tahun proporsi dana transfer daerah tak
bergerak jauh di kisaran 31 persen dari total belanja negara. Dengan asumsi
pertumbuhan ekonomi 6,8 persen dan inflasi 4,9 persen, pertumbuhan transfer
daerah sebe- sar 8,4 persen bukan penambah- an yang signifikan.
Berdasarkan prinsip uang mengikuti fungsi,
transfer daerah justru berbanding terbalik dengan urusan yang didesentralisasikan:
31 urusan pemerintah atau 70 persen urusan pemerintah di- serahkan ke daerah,
sementara dari segi proporsi, anggaran yang ditransfer di kisaran 30 persen.
Pemerintah juga tak konsisten mengalihkan
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang telah menjadi urusan daerah. Pasal
108 Ketentuan Peralihan pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat Daerah secara tegas menyatakan, dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan secara bertahap dialihkan menjadi dana alokasi khusus
(DAK) dan diatur lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Namun,
ketentuan ini tak sungguh-sungguh dilaksanakan.
Dari segi mandat hukum, PP dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan baru dikeluarkan empat tahun kemudian melalui PP No 7/2008
tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembatuan. Dalam PP ini masih dinyatakan bahwa
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dialihkan secara bertahap. Berdasarkan
kajian Fitra (2011), tak terlihat sama sekali dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dialihkan menjadi DAK. Kedua alokasi ini cenderung naik setiap
tahun.
Tidak Adil
Pemerintah pusat juga tidak adil menggunakan
formula DAU yang menciptakan selisih kekurangan DAU. Ini seharusnya hak daerah!
Merujuk pada Pasal 27 UU No 33/2004, jumlah keselu- ruhan DAU ditetapkan
sekurang- kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam negeri (PDN) neto yang
ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa
PDN neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak
setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah
(dana bagi hasil).
Pada praktiknya, alokasi DAU sejak 2008
selalu lebih kecil dari ketentuan ini sebab faktor pengurang PDN neto selalu
bertambah: tak hanya dana bagi hasil, tetapi juga subsidi dan pendapatan yang
bersifat earmark.
Tidak selayaknya pemerintah pusat melempar
kesalahan pada daerah semata atas terjadinya inefisiensi transfer daerah dan
merasa terus berkomitmen meningkatkan desentralisasi fiskal tanpa disertai
dengan perubahan desain desentralisasi fiskal yang dibuatnya sendiri dan
konsisten menerapkan kebijakannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar