Kriteria
Pemimpin Amanah
Satryo Soemantri Brodjonegoro ; Dirjen
Dikti (1999-2007);
Guru
Besar ITB; dan Anggota AIPI
|
KOMPAS,
31 Agustus 2012
Dalam waktu dekat akan ada
sejumlah perguruan tinggi yang menjalani proses pemilihan atau pencarian
pemimpinnya, rektor atau direktur, karena masa baktinya telah berakhir.
Tampaknya terjadi
kegamangan, baik di kalangan pemerintah maupun perguruan tinggi, mengenai tata
cara pemilihan atau pencarian dan mengenai kriteria calon. Setiap pihak
berusaha menyajikan konsep atau perangkat yang nyaman untuk dirinya, yang
memberikan zona nyaman bagi dirinya sehingga memudahkan dalam kebijakan yang
menguntungkan dirinya.
Pemerintah mengharapkan
pemimpin tersebut mampu dan loyal kepada pemerintah dalam menjalankan berbagai
kebijakan pemerintah. Loyalitas kepada pemerintah jadi kriteria dominan dalam
mekanisme ini. Masyarakat perguruan tinggi mengharapkan pemimpin tersebut mampu
menyejahterakan kampusnya dan mengapresiasi aspirasi masyarakat kampus.
Popularitas di kalangan kampus jadi kriteria dominan dalam mekanisme ini.
Seharusnya tak ada masalah
antara keduanya apabila pemerintah dan perguruan tinggi punya tujuan dan
kerangka berpikir yang sama. Sebaliknya akan ada masalah berat dan mendasar
jika keduanya mempunyai tujuan dan kerangka berpikir yang berbeda.
Loyalis atau Populis?
Pemimpin kampus seyogianya
bukanlah sosok yang loyalis ataupun populis, melainkan pemimpin yang berkarya,
bukan berkarier. Apa karya yang diharapkan dari seorang pemimpin kampus? Tak
lain adalah menjadikan kampus sebagai kekuatan moral yang mampu menyejahterakan
masyarakat melalui kiprahnya.
Bagaimana cara memilih atau
mencari pemimpin kampus? Penulis cenderung menggunakan istilah mencari pemimpin
bukan memilih pemimpin. Sangat berbeda antara memilih dan mencari. Kalau
memilih artinya menetapkan dari calon yang ada atau tersedia atau mencalonkan
diri atau dicalonkan, sedangkan mencari artinya menemukan calon yang sesuai
tugas yang akan diemban. Seharusnya proses yang dilakukan kampus adalah
pencarian, bukan pemilihan, rektor atau direktur.
Ada hal yang mendasar dalam
proses pencarian pemimpin yaitu bahwa calon tak harus mendaftarkan diri atau
melamar karena rektor atau direktur bukan pekerjaan atau jabatan karier tetapi
penugasan atau jabatan amanah. Tugas diamanahkan kepada orang yang mampu
mengembannya. Mampu tidaknya seorang calon bukan ditentukan oleh dirinya
sendiri, melainkan oleh kalangan di luar dirinya.
Kita patut mempertanyakan
jika seseorang menyatakan bahwa dirinya mampu dan berhasil. Sebab, kemampuan
dan keberhasilan seseorang tak dapat dinilai oleh diri sendiri. Hal itu tidak
obyektif dan sangat subyektif. Namun, penilaian dilakukan oleh kalangan
independen di luar dirinya sehingga obyektif.
Untuk mendapatkan pemimpin
yang amanah bagi institusi perguruan tinggi, pemerintah dan perguruan tinggi
sebagai dua entitas terpisah harus memerankan dirinya sebagai pemangku
kepentingan untuk kemajuan bangsa dan negara. Pemerintah seyogianya memberikan
otonomi kepada perguruan tinggi untuk menjalankan tugasnya membangun negara dan
bangsa. Perguruan tinggi seyogianya mengamalkan amanah otonomi dari pemerintah
berdasarkan kaidah hakiki suatu perguruan tinggi. Baik pemerintah maupun
perguruan tinggi bertanggung jawab menyejahterakan masyarakat.
Dengan otonomi yang
diembannya, Majelis Wali Amanah (Board of
Trustees) perguruan tinggi membentuk panitia untuk meneliti dan mencari
sejumlah calon pemimpin kampus yang kompeten dan amanah. Pencarian dilakukan,
antara lain, dengan menelaah rekam jejak kepemimpinan dan kewibawaan akademik
dari mereka yang berkiprah di bidang akademik.
Bagi yang berkompeten,
panitia akan menanyakan kesediaan mereka untuk menjadi pemimpin kampus. Dalam
hal ini tidak ada proses pendaftaran atau pencalonan diri sebagai calon
pemimpin kampus. Untuk menjamin kualitas pemimpin yang akan diberi amanah,
panitia harus terdiri atas orang-orang yang amanah dan hanya punya pamrih
terhadap kemajuan kampus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar