Dua Opsi untuk
‘Kasus Simulator’ KPK-Polri
Kastorius Sinaga ; Sosiolog, Saat ini menjadi Penasihat
Ahli Kapolri
|
JARINGNEWS.COM,
26 Agustus 2012
Hari Jumat (24/8) siang, Gubernur STIK-Akpol
nonaktif yang merupakan mantan Kepala Korlantas Polri, Irjen Djoko Susilo,
hadir di Bareskrim Mabes Polri untuk diperiksa sebagai 'saksi' kasus korupsi
proyek simulator ujian SIM untuk tahun 2011. Sebelumnya, di akhir bulan Juli,
Djoko Susilo ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK setelah sebelumnya, secara
mendadak, KPK menggeledah kantor Korlantas Ppolri untuk menyita dokumen dalam
rangka pengumpulan barang-barang bukti atas kasus itu. Atas gebrakan mengejutkan
dari KPK ini, Bareskrim bergerak cepat menetapkan dan lalu menahan lima
tersangka terkait kasus ini, yaitu lima tersangka Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) proyek yakni Brigjen Pol Didik Purnomo (DP), AKBP Teddy Rusmawan (TR),
Kompol Legimo (L) serta Dirut PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang
(SB) dan Dirut PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Santoso (BS).
Alhasil, 'tarik tambang' KPK versus Bareskrim Polri atas kasus ini tak terelakkan. Memori buruk masyarakat atas rivalitas ke dua lembaga penegak hukum dalam episode Cicak-Buaya kembali tersingkap. Akankah episode Cicak-Buaya Jilid II akan muncul?
Tarik menarik atas kasus korupsi simulator di Korlantas Polri ini telah berkembang menjadi perseteruan baru antara dua lembaga penegak hukum utama di negeri ini. Sorotan dan reaksi publik sangat intensif tertuju pada rivalitas antar kedua lembaga sehingga sepintas 'anatomi lengkap' kasus korupsi simulator bernilai Rp 167,9 miliar itu sendiri menjadi samar bagi publik. Banyak pihak menduga bahwa perseturuan ala Cicak-Buaya Jilid II kembali muncul. Menkopolhukam Djoko Suyanto sendiri, secara proaktif, berupaya keras meredakan spekulasi tersebut dan berupaya mendorong munculnya sinergi, ketimbang konfrontasi dua lembaga. Mengingat kasus ini sangat menarik bagi pemberitaan media massa, politisasi kasus ini di wacana publik tak terelakkan.
Presiden Tak Perlu Intervensi
Banyak pihak berupaya menyeret campur-tangan Presiden ke dalam pusaran arus polemik kasus simulator ini. Dalih yang dipakai terkesan normatif namun bertendensi politis, yaitu bahwa Presiden adalah atasan Kapolri. Hingga saat ini, sikap non-intervensi Presiden terhadap kasus ini sangat tepat untuk mengurangi hiruk-pikuk polemik atas isu ini.
Kita tahu, setiap statemen dan sikap seorang Kepala Negara akan sangat potensial menuai interpretasi ataupun persepsi yang kemudian dapat memperparah upaya politisasi terhadap suatu kasus hukum di ranah publik. Kita juga mengetahui bahwa kepastian hukum bukanlah berada di statemen publik Presiden. Tetapi di tangan kinerja segenap penegak hukum sesuai sistem hukum pidana kita. Oleh karenanya, sangatlah tepat bila Presiden menahan diri untuk tidak terseret dorongan arus publik mengintervensi situasi yang berkembang di antara KPK dan Polri.
Di samping itu, juga harus diakui, berbeda dengan situasi kasus Cicak-Buaya dahulu, sikap menahan diri dari kedua pimpinan lembaga Polri dan KPK untuk tidak terjebak dalam 'perang wacana' di media massa, menurut saya, sangat tepat. Kasus ini adalah kasus pelanggaran hukum di lembaga penegak hukum yang harus tetap berada di ranah hukum. Untuk menjaga agar kasus ini tetap bergerak di ranah hukum, maka ke dua institusi cukup bekerja dengan seksama sesuai kewenangannya masing-masing sebagaimana diatur di dalam hukum acara pidana kita. Memberi celah terhadap kasus ini untuk ditarik ke ranah lain, misalnya ranah politik, akan dapat mentransformasikan kasus ini menjadi gerakan 'pro-kontra' yang menyeret keterlibatan massa di tingkat grassroots. Bila terseret jauh ke akar rumput, ujung-ujungnya juga akan menjauhkan kita dari langkah penyelesaian hukum secara cepat, tepat dan akuntabel.
Dua Opsi
Isu utamanya sekarang, siapakah dari kedua lembaga ini yang berwenang menangani kasus simulator ini? Atas isu ini terdapat dua opsi, yaitu opsi 'either or' (either KPK or Bareskrim Polri), dimana dalam model ini, KPK dipandang sebagai pihak yang paling legitimate menangani kasus ini sendirian dan sepenuhnya, dan, Polri cukup pasif saja sebagai objek KPK.
Opsi kedua yang lebih bijaksana dan memiliki 'side effects' yang cukup positif ke depan adalah opsi sinergi kedua lembaga untuk menggarap kasus ini secara bersamaan dengan penuh akuntabilitas. Pilihan salah satu dari ke dua opsi mengandung plus-minus akibat persepsi masyarakat yang sudah sempat terbangun atas masing-masing institusi. Persepsi yang berkembang atas masing-masing institusi tersebut kebetulan cukup bertolak-belakang.
Alhasil, 'tarik tambang' KPK versus Bareskrim Polri atas kasus ini tak terelakkan. Memori buruk masyarakat atas rivalitas ke dua lembaga penegak hukum dalam episode Cicak-Buaya kembali tersingkap. Akankah episode Cicak-Buaya Jilid II akan muncul?
Tarik menarik atas kasus korupsi simulator di Korlantas Polri ini telah berkembang menjadi perseteruan baru antara dua lembaga penegak hukum utama di negeri ini. Sorotan dan reaksi publik sangat intensif tertuju pada rivalitas antar kedua lembaga sehingga sepintas 'anatomi lengkap' kasus korupsi simulator bernilai Rp 167,9 miliar itu sendiri menjadi samar bagi publik. Banyak pihak menduga bahwa perseturuan ala Cicak-Buaya Jilid II kembali muncul. Menkopolhukam Djoko Suyanto sendiri, secara proaktif, berupaya keras meredakan spekulasi tersebut dan berupaya mendorong munculnya sinergi, ketimbang konfrontasi dua lembaga. Mengingat kasus ini sangat menarik bagi pemberitaan media massa, politisasi kasus ini di wacana publik tak terelakkan.
Presiden Tak Perlu Intervensi
Banyak pihak berupaya menyeret campur-tangan Presiden ke dalam pusaran arus polemik kasus simulator ini. Dalih yang dipakai terkesan normatif namun bertendensi politis, yaitu bahwa Presiden adalah atasan Kapolri. Hingga saat ini, sikap non-intervensi Presiden terhadap kasus ini sangat tepat untuk mengurangi hiruk-pikuk polemik atas isu ini.
Kita tahu, setiap statemen dan sikap seorang Kepala Negara akan sangat potensial menuai interpretasi ataupun persepsi yang kemudian dapat memperparah upaya politisasi terhadap suatu kasus hukum di ranah publik. Kita juga mengetahui bahwa kepastian hukum bukanlah berada di statemen publik Presiden. Tetapi di tangan kinerja segenap penegak hukum sesuai sistem hukum pidana kita. Oleh karenanya, sangatlah tepat bila Presiden menahan diri untuk tidak terseret dorongan arus publik mengintervensi situasi yang berkembang di antara KPK dan Polri.
Di samping itu, juga harus diakui, berbeda dengan situasi kasus Cicak-Buaya dahulu, sikap menahan diri dari kedua pimpinan lembaga Polri dan KPK untuk tidak terjebak dalam 'perang wacana' di media massa, menurut saya, sangat tepat. Kasus ini adalah kasus pelanggaran hukum di lembaga penegak hukum yang harus tetap berada di ranah hukum. Untuk menjaga agar kasus ini tetap bergerak di ranah hukum, maka ke dua institusi cukup bekerja dengan seksama sesuai kewenangannya masing-masing sebagaimana diatur di dalam hukum acara pidana kita. Memberi celah terhadap kasus ini untuk ditarik ke ranah lain, misalnya ranah politik, akan dapat mentransformasikan kasus ini menjadi gerakan 'pro-kontra' yang menyeret keterlibatan massa di tingkat grassroots. Bila terseret jauh ke akar rumput, ujung-ujungnya juga akan menjauhkan kita dari langkah penyelesaian hukum secara cepat, tepat dan akuntabel.
Dua Opsi
Isu utamanya sekarang, siapakah dari kedua lembaga ini yang berwenang menangani kasus simulator ini? Atas isu ini terdapat dua opsi, yaitu opsi 'either or' (either KPK or Bareskrim Polri), dimana dalam model ini, KPK dipandang sebagai pihak yang paling legitimate menangani kasus ini sendirian dan sepenuhnya, dan, Polri cukup pasif saja sebagai objek KPK.
Opsi kedua yang lebih bijaksana dan memiliki 'side effects' yang cukup positif ke depan adalah opsi sinergi kedua lembaga untuk menggarap kasus ini secara bersamaan dengan penuh akuntabilitas. Pilihan salah satu dari ke dua opsi mengandung plus-minus akibat persepsi masyarakat yang sudah sempat terbangun atas masing-masing institusi. Persepsi yang berkembang atas masing-masing institusi tersebut kebetulan cukup bertolak-belakang.
KPK yang mendapat tingkat social trust yang tinggi
dari masyarakat dipandang paling tepat sebagi 'sole agent' menuntaskan kasus simulator ini.
Alasannya sederhana. Atas opsi pertama, KPK
bersih dari conflict of
interest atas kasus ini. Ada anggapan yang memang masuk akal bahwa
bila Polri yang (ikut) menangani kasus ini maka gejala 'jeruk makan
jeruk' bisa terjadi akibat kuatnya ‘solidaritas semu’ le spirit d corps berdasar
hirarkhis di kalangan kepolisian, serta asumsi bahwa dana korupsi simulator ini
telah mengalir kemana-mana di kalangan petinggi Polri.
Karenanya, harus diakui, opsi pertama ini akan melahirkan penguatan legitimasi publik KPK di satu pihak, tetapi di pihak lain akan mendelegitimasi institusi Polri secara signifikan. Di samping itu juga, untuk saat ini, KPK akan kurang maksimal diuntungkan oleh opsi pertama ini karena saat ini Polri telah menggarap 'lapisan hilir' jejaring aktor kasus ini lewat penahanan dan penyidikan Didik Cs. Lapisan Didik Cs sangat dibutuhkan oleh KPK untuk dapat menuntaskan status tersangka atas Irjen Djoko Susilo yang dapat kita anggap sebagai 'aktor hulu' dari kasus ini.
Atas pertimbangan itu, opsi ke dua, yaitu sinergi KPK-Polri di dalam menangani kasus ini secara bersama-sama, dipandang menjadi alternatif yang solutif untuk mencegah berlarut-larutnya rivalitas Polri dan KPK yang bertendensi kurang sehat tersebut. KPK menggarap di level hulu dari kasus ini dengan fokus pada Irjen Djoko Susilo serta pihak yang lebih tinggi bila memang ditemukan bukti-bukti pendahuluan, sementara Bareskrim menggarap aspek strukturalnya dengan membongkar praktik koruptif di dalam tender, mark-up fiskal dan persekongkolan jahat di Korlantas Polri. Kesempatan untuk bersih-bersih diri sembari me-leverage kasus ini untuk melahirkan 'Densus 89 Antikorupsi' di lingkungan internal Polri, yang saat ini sedang mereformasi diri dengan mengusung tema 'zero tolerance to corruption' itu, mendapatkan legitimasi dan momentum yang tepat.
Gelar Kasus Bersama
Kecurigaan 'jeruk makan jeruk' pada kepolisian bila memilih opsi ke dua di atas dapat dieliminasi dengan cara 'gelar perkara bersama' oleh Bareskrim dan KPK. Dalam gelar kasus bersama itu, ke dua institusi dapat memperesentasikan status, progres dan konstruksi hukum kasus yang juga dihadiri oleh saksi ahli masing-masing dari ke dua institusi. Bila perlu, untuk menjaga transparansi, gelar perkara tersebut dapat dihadiri oleh LSM seperti ICW dan sebagainya, dan jurnalis secara interaktif sehingga publik mendapatkan informasi yang lengkap atas konstruksi kasus berikut arah, strategi dan kebijakan penyidikan yang dilakukan baik oleh KPK maupun Bareskrim Polri.
Untuk pertama kali, gelar perkara bersama ini telah pernah dilakukan oleh KPK dan Polri ketika menangani kasus mafia hukum dan mafia pajak Gayus. Saat itu dalam status sebagai Penasihat Ahli Kapolri, penulis hadir sebagai saksi ahli dari pihak Mabes Polri dan menurut saya gelar perkara tersebut membuahkan sinergi dan hasil yang bagus di antara KPK dan Polri.
Dalam sistem hukum pidana kita, fungsi penyidikan sebagai garda terdepan di dalam penegakan hukum, sangat penting dijaga dari aspek independensi dan akuntabilitasnya terhadap prinsip-prinsip hukum acara pidana kita. Gelar perkara secara bersama dan terbuka akan dapat mendorong akuntabilitas dan profesionalitas penyidik terhadap kasus yang ditanganinya. Sinergi di antara lembaga-lembaga penegak hukum di bawah pengawasan yang berkualitas dari civil societies merupakan langkah yang sangat penting dan esensial untuk menjadikan hukum sebagai panglima di negara tercinta ini. ●
Karenanya, harus diakui, opsi pertama ini akan melahirkan penguatan legitimasi publik KPK di satu pihak, tetapi di pihak lain akan mendelegitimasi institusi Polri secara signifikan. Di samping itu juga, untuk saat ini, KPK akan kurang maksimal diuntungkan oleh opsi pertama ini karena saat ini Polri telah menggarap 'lapisan hilir' jejaring aktor kasus ini lewat penahanan dan penyidikan Didik Cs. Lapisan Didik Cs sangat dibutuhkan oleh KPK untuk dapat menuntaskan status tersangka atas Irjen Djoko Susilo yang dapat kita anggap sebagai 'aktor hulu' dari kasus ini.
Atas pertimbangan itu, opsi ke dua, yaitu sinergi KPK-Polri di dalam menangani kasus ini secara bersama-sama, dipandang menjadi alternatif yang solutif untuk mencegah berlarut-larutnya rivalitas Polri dan KPK yang bertendensi kurang sehat tersebut. KPK menggarap di level hulu dari kasus ini dengan fokus pada Irjen Djoko Susilo serta pihak yang lebih tinggi bila memang ditemukan bukti-bukti pendahuluan, sementara Bareskrim menggarap aspek strukturalnya dengan membongkar praktik koruptif di dalam tender, mark-up fiskal dan persekongkolan jahat di Korlantas Polri. Kesempatan untuk bersih-bersih diri sembari me-leverage kasus ini untuk melahirkan 'Densus 89 Antikorupsi' di lingkungan internal Polri, yang saat ini sedang mereformasi diri dengan mengusung tema 'zero tolerance to corruption' itu, mendapatkan legitimasi dan momentum yang tepat.
Gelar Kasus Bersama
Kecurigaan 'jeruk makan jeruk' pada kepolisian bila memilih opsi ke dua di atas dapat dieliminasi dengan cara 'gelar perkara bersama' oleh Bareskrim dan KPK. Dalam gelar kasus bersama itu, ke dua institusi dapat memperesentasikan status, progres dan konstruksi hukum kasus yang juga dihadiri oleh saksi ahli masing-masing dari ke dua institusi. Bila perlu, untuk menjaga transparansi, gelar perkara tersebut dapat dihadiri oleh LSM seperti ICW dan sebagainya, dan jurnalis secara interaktif sehingga publik mendapatkan informasi yang lengkap atas konstruksi kasus berikut arah, strategi dan kebijakan penyidikan yang dilakukan baik oleh KPK maupun Bareskrim Polri.
Untuk pertama kali, gelar perkara bersama ini telah pernah dilakukan oleh KPK dan Polri ketika menangani kasus mafia hukum dan mafia pajak Gayus. Saat itu dalam status sebagai Penasihat Ahli Kapolri, penulis hadir sebagai saksi ahli dari pihak Mabes Polri dan menurut saya gelar perkara tersebut membuahkan sinergi dan hasil yang bagus di antara KPK dan Polri.
Dalam sistem hukum pidana kita, fungsi penyidikan sebagai garda terdepan di dalam penegakan hukum, sangat penting dijaga dari aspek independensi dan akuntabilitasnya terhadap prinsip-prinsip hukum acara pidana kita. Gelar perkara secara bersama dan terbuka akan dapat mendorong akuntabilitas dan profesionalitas penyidik terhadap kasus yang ditanganinya. Sinergi di antara lembaga-lembaga penegak hukum di bawah pengawasan yang berkualitas dari civil societies merupakan langkah yang sangat penting dan esensial untuk menjadikan hukum sebagai panglima di negara tercinta ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar