Merombak
Pengelolaan Olahraga Kita
Achmad Soetjipto; Vice President Federasi Dayung Asia dan Ketua Umum PODSI
|
SINAR
HARAPAN, 28 Agustus 2012
Olahraga prestasi dalam
perkembangan global saat ini telah menjelma mengikuti fenomena yang dikenal
sebagai the global sporting arm race.
Pasca-Perang Dingin, kedigdayaan
suatu negara tidak lagi dibuktikan hanya dengan kekuatan militer dan perlombaan
senjata. Olahraga telah menggantikannya sebagai angkatan perang yang baru.
Keunggulan olahraga menjadi
simbol kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban. Ini karena
capaian olahraga melibatkan sepenuhnya kekuatan riset, ilmu pengetahuan,
teknologi, pendidikan, anggaran (ekonomi), kebijakan (politik), dan dukungan
rakyat (sosial).
Untuk bertarung dan unggul dalam
kompetisi olahraga global, pembinaan olahraga harus melibatkan
komponen-komponen tersebut yang kemudian dikelola secara canggih, sistemik, dan modern.
Kecanggihan pengelolaan ditandai
dengan adanya kebijakan nasional dan perencanaan strategik dengan kerangka
kerja berjangka panjang yang merupakan proses dinamis untuk mewujudkan visi
olahraga nasional.
Manajerial yang terorganisasi
rapi berikut program latihan yang sarat inovasi dan terapan sports sains sesuai
tuntutan perbaikan yang terus-menerus, raising
the bar; lebih cepat, lebih kuat, lebih eksplosif.
Sistem pembinaan juga harus mampu
menggerakkan bangunan olahraga mulai akar rumput, olahraga sekolah, dan
pendidikan jasmani, pencarian dan konfirmasi bakat, perluasan partisipasi untuk
menambah pool atau lumbung calon atlet potensial, program pengembangan atlet
berbakat, hingga program performa tinggi yang khusus dikemas guna mengantarkan
para atlet elite ke podium internasional.
Faktor-faktor seperti fasilitas,
peningkatan mutu pelatih, kompetisi, sports science, nutrisi, keunggulan
karakter dan budaya juara, serta good
sportsmanship mendapat tempat yang utama.
Sebagai “Angkatan Perang” model
baru, atlet harus dicari, ditemukan, diseleksi, dilatih, serta dikembangkan
potensinya dengan cara profesional dan disiplin keras. Bahkan harus lebih keras
dari sistem pelatihan militer mengingat tantangan yang dihadapi atlet lebih
nyata.
Militer meskipun berlatih dengan
keras belum tentu diterjunkan dalam perang, sementara medan peperangan atlet
terjadwal rutin, baik single event maupun multievent dari
tingkat nasional, regional, hingga Olimpiade.
Yang membedakan tentu saja
lingkungannya. Lingkungan olahraga prestasi adalah lingkungan keunggulan yang
tumbuh dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai olahragawan sejati tanpa
memerlukan sistem komando ketat dan hierarki tak terbantahkan seperti yang
berlaku di kalangan tentara.
Bila tentara berpandangan no substitute for victory, di dunia olahraga proses pencapaian
kemenangan lebih diutamakan ketimbang kemenangannya sendiri.
Tahun 2008, Kemenpora pernah
merintis sistem ini melalui Program Atlet Andalan (PAL) dengan mengadopsi
sistem terbaik dari negara-negara maju, yaitu pelaksanaan High Performance Program (HPP). Fitur
dari HPP yang menonjol adalah Pertama
program digerakkan oleh sports science.
Arti pentingnya kita mencoba
mengubah cara cara melatih atlet dengan melibatkan para sports specialist dan sports scientist untuk membantu para pelatih dalam menyusun
program latihan, serta melakukan analisis untuk mendapatkan jawaban mengapa
atlet menang atau kalah.
Kedua dibentuk skuat, yaitu ready stock atlet yang siap tanding di ajang internasional,
berkemampuan setara sehingga mereka bisa saling menutupi. Skuat dibentuk dengan
menggunakan kriteria baku dan
sistem seleksi yang ketat (selection policy)
tetapi transparan dan adil.
Ketiga adalah social
and life style management, yaitu pengelolaan kehidupan sosial dan gaya
hidup atlet, termasuk di
antaranya program life after sports. Hal ini penting
tetapi terlupakan, padahal atlet yang sudah berkomitmen untuk meraih prestasi
olahraga, kehidupan normal sebagai pemuda sudah ditinggalkan.
HPP kemudian disusun ke dalam suatu Rencana
Strategik yang memiliki kerangka kerja empat tahunan sesuai siklus Asian Games atau
Olimpiade, yang kemudian dielaborasi menjadi rencana-rencana operasi untuk
setiap cabang olahraga.
Menghadapi multievent, PAL bersama
federasi olahraga menyusun
Strategi Pemenangan meliputi keputusan cabang olahraga prioritas
dan penetapan prediksi medali yang dilakukan berdasarkan performance evidences yang dinamis.
Pemilihan cabang prioritas sangat
mempertimbangkan potensi serta daya kompetitif cabor dan kecukupan anggaran. Strategi Pemenangan kemudian
dilaksanakan secara konsisten tanpa kompromi.
Sistem juga dikelola secara terbuka sesuai standar Good
Corporate Governance karena KPI-nya sudah terumuskan jelas dan organisasi
diawaki oleh personel profesional bergaji. Tidak ada pekerja amatiran yang
bekerja secara sukarela di mana kesalahan selalu ada toleransi.
Tidak ada personel yang pagi melatih
atlet PAL, siang sibuk dengan kontingen PON Provinsi, dan sorenya buru buru mengajar di sekolah Ragunan. Dengan
sistem ini PAL berani memprediksikan perolehan medali, peringkat, bahkan record
atlet pada SEA Games Laos 2009.
Profesionalitas manajerial juga
tampak dari terpenuhinya sebagian besar kebutuhan dasar atlet, terutama uang
saku. Hampir tidak ada gugatan berarti selama program itu berjalan, baik
menyangkut masalah akomodasi, anggaran try
out, suplemen, serta nutrisi.
Berbalik dengan keadaan sekarang.
Kita tentu sedih melihat tayangan TV, usai Eko Yulianto meraih medali di
Olimpiade London 2012, keluhan yang dikeluarkannya: minta uang sakunya selama
tiga bulan segera dibayar karena dia butuh biaya untuk kelahiran anak
pertamanya.
Belum lagi federasi olahraga yang
uang akomodasinya sejak persiapan Asian
Beach Game maupun persiapan kualifikasi Olimpiade yang sampai sekarang juga
belum dibayar. Alasan anggaran negara lamban turun semakin memperjelas betapa
amatirnya pengelolaan olahraga nasional.
Ini mempertegas tidak adanya
koordinasi dan kerja sama yang baik antarkelembagaan. Dengan situasi seperti
ini, kita hanya dipaksa memaklumi kegagalan mempertahankan tradisi emas di
ajang Olimpiade. Kegagalan tentu tidak bisa ditimpakan ke satu dua pihak, karena
ini merupakan kesalahan sistemik.
Dengan demikian pembenahan harus
dilakukan secara mendasar dan sistematis. Pembenahan pertama yang harus
dilakukan adalah kembali melaksanakan HPP karena sudah nyata teruji oleh
negara-negara maju.
Terlepas dari beberapa kekurangan
dan kontroversi keberadaan PAL, itu merupakan embrional sebuah permulaan.
Perbedaan pendapat cara pandang atau persepsi yang menyertainya haruslah kita
gunakan sebagai katalis untuk perubahan menuju kepemilikan sistem yang lebih
andal.
Bandingkan dengan Australia yang
telah menerapkan HPP sejak 1976. Prima
(Program Indonesia Emas) sebenarnya lembaga yang dibentuk untuk meneruskan
program ini. Dalam kepres, Prima jelas tujuannya untuk mengantar atlet ke
podium.
Sayangnya, realisasi HPP sudah
tidak tampak lagi bahkan wacana pun tidak. Ini tentu harus diluruskan dan
mengembalikan Prima ke jalurnya untuk hanya fokus bagaimana mampu merebut
medali negara lain.
HPP harus disusun ulang ke dalam
suatu Rencana Strategik disertai Winning
Strategy yang dikelola secara sistemik, termasuk
konsep manajemennya. Strukturnya yang begitu top heavy harus dilangsingkan dengan meningkatkan jumlah para
pelatih dan sports specialist dan
mengurangi berbagai staf yang tidak jelas.
Selain HPP, kita juga masih
memerlukan dua program pendukung yang mutlak perlu dibenahi sehingga tak
terjadi tumpang tindih dan duplikasi upaya. Pertama, program pengembangan atlet
pra-elite (usia 14-18 tahun).
Kedua, program pendidikan jasmani
(penjas) dan olahraga sekolah. Mungkin program pra-elite inilah yang perlu
diberikan tanggung jawabnya ke KONI karena setelah ada Prima, tampaknya KONI
sudah tidak tahu lagi apa tugas pokoknya. Sementara untuk level atlet pemula,
penjas, dan olahraga sekolah lebih pas diberikan ke Diknas.
Dalam mensikronkan ketiga program
ini tentu harus ada sinergi dari berbagai instansi di bidang olahraga. KONI,
KOI, Prima, Induk Cabang Olahraga dan Kemenpora, serta Diknas harus mau duduk
bersama untuk membuat Blue Print olahraga nasional. Semua demi kepentingan nasional. Ego
pribadi dan ego kelembagaan harus ditanggalkan.
Mungkin beberapa pihak ada yang
berat atas alasan hak dan wewenang tertentu, terlebih mereka yang selama ini
mendapat keuntungan dari sistem yang berjalan.
Namun dengan berbagai cara mereka
harus dipaksa untuk bersedia berjalan bersama. Jika membandel mereka harus
dihapus dari peta olahraga nasional. Gejolak pasti ada, tantangan pasti
mengadang. Tidak ada perubahan yang mudah, tapi perubahan adalah keniscayaan.
Pemerintah adalah pihak yang
paling berkepentingan dan paling memungkinkan untuk menjadi lokomotif
perubahan. Dengan alasan untuk kepentingan
nasional dan selama ini sistem olahraga nasional yang berjalan sudah tidak
dapat lagi membawa atlet ke podium maka perlu perombakan sistem.
Pemerintah wajib melakukan ini
karena anggaran olahraga 99 persen dari APBN. Di luar KOI yang merupakan
representasi IOC dan menjadi Komite Olimpiade di Indonesia, pemerintah dapat
sepenuhnya mengambil alih kendali olahraga nasional.
Jika perlu, Kemenpora cukup
menjadi Kementerian Olahraga saja dan sektor kepemudaan bisa digabung dengan
kementerian lain sehingga lebih fokus dalam mengelola olahraga. Karena selama
ini kepemudaan lebih banyak semangat politik, sementara olahraga harus steril dari politik.
Pemerintah janganlah kendur
dengan provokasi-provokasi berbagai pihak yang terancam dengan program overhaul. Jika pemerintah melakukan
intervensi, Indonesia akan mendapat sanksi dari IOC. Apakah kita percaya negara
seperti Vietnam, Myanmar, Laos, China, Rusia, Bolivia, Venezuela, negara-negara
Timur Tengah, pemerintahnya tidak intervensi di bidang olahraga?
Olahraga kita belumlah seperti
Amerika atau Inggris yang bahkan mampu memberikan pemasukan kepada negara.
Olahraga kita masih seperti
bayi yang apabila tidak disusui oleh pemerintah bisa mati. Jadi apalagi yang
ditakutkan pemerintah? Lain soal jika pemerintah memang tidak peduli karena
menganggap olahraga tidak penting. Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Bathin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar