Neil Armstrong
Berbohong?
Nurman Kholis ; Peneliti Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan,
Balitbang dan Diklat
Kemenag RI
|
REPUBLIKA,
30 Agustus 2012
Sehari setelah meninggalnya Neil Armstrong, Republika memuat
reportase berjudul “Jejak Armstrong
Meninggalkan Misteri“ (27/08/2012). Di dalamnya diungkapkan teori
konspirasi tentang pendaratan manusia di Bulan merupakan suatu kebohongan. Hal
ini diduga sebagai rekayasa Amerika Serikat untuk memenangkan perang dingin
melawan Uni Soviet. Dalam reportase tersebut juga ditulis tentang dirinya yang
dikabarkan menjadi Muslim. Tetapi, kabar ini tidak pernah terbukti.
Berkenaan dengan pro dan kontra tentang Armstrong, sebelumnya pada
8 Juni 2012 Republika pernah memuat reportase berjudul “Armstrong Jawab Rumor Teori Konspirasi“. Di dalamnya, antara lain,
dikutip tuduhan Bill Kaysing dalam We
Never Went to the Moon: America's Thirty Billion Dolar Swindle pada 1974
tentang kebohongan Amerika di balik berita pendaratan tersebut. Tuduhan ini
dibantah Neil Armstrong yang menurutnya tidak mungkin rahasia sebesar itu
disimpan oleh 3.500 wartawan dari seluruh dunia yang mengikuti proses
peluncuran dan 400 ribu karyawan proyek Apollo 11.
Surah ar-Rahman 33
Jauh sebelum beredarnya berita pendaratan Neil Armstrong dan kawan-kawan
di Bulan, setengah abad yang lalu di kalangan umat Islam di Indonesia telah
terjadi polemik berkenaan dengan kemampuan manusia ini. Hal tersebut
sebagaimana disampaikan seorang pembaca dalam majalah Gema Islam No 21 Tahun I,
1 Desember 1962 kepada Buya Hamka, “Saya bertanya kepada seorang ulama
terkemuka di tempat saya. Beliau menyatakan, ‘Jika manusia mendarat di Bulan maka batallah kerasulan Nabi Muhammad
SAW’”.
Hamka pun menjawab, justru pendaratan tersebut akan membuat
semakin nyata kerasulan Nabi Muhammad SAW. Salah satu argumentasinya adalah
firman Allah, “Wahai sekalian jin dan manusia, jika kamu mampu menembus dari
ruang angkasa langit dan Bumi maka tembuslah. Tetapi, tidaklah kamu akan dapat
menembusnya, kecuali dengan ‘sulthan’
(QS ar-Rahman:33). Menurut Hamka, “sulthan”
itu berarti pengetahuan. Ia pun menjelaskan orang yang tidak meyakini manusia
dapat mendarat di Bulan karena masih menggunakan tafsir karya ulama 300 atau
700 tahun yang lalu.
Karena itu, beredarnya berita pendaratan Neil Armstrong dan
kawankawan tujuh tahun kemudian pada Juli 1969 semakin memperkuat pendapat
mereka yang meyakini manusia dapat mendarat di Bulan. Meskipun demikian, masih
saja ada umat Islam yang tidak memercayainya. Hal ini sebagaimana diulas oleh
KH Mansur Jufri dalam bukunya Al-Masail Jilid II yang diterbitkan di Sukabumi,
September 1969. Ia memiliki pandangan yang sama dengan Buya Hamka dan juga
menjadikan arRahman ayat 33 sebagai salah satu argumentasinya.
Ia pun menambahkan, berita pendaratan tersebut justru akan
memperkuat iman atas kebenaran mi’raj
Nabi Muhammad SAW. KH Mansur pun berusaha meyakinkan pihak yang kontra dengan
menyatakan bahwa gambar Bulan dari jarak dekat dan siaran televisi yang
disaksikan oleh berjuta-juta manusia di dunia dan benda-benda Bulan yang dibawa
oleh para astronaut, seperti tanah dan batu, merupakan bukti autentik.
Penulis berusaha untuk mengetahui kalangan umat Islam mana saja
yang tetap bersikap kontra terhadap berita pendaratan tersebut. Beberapa dari
mereka pun akhirnya ditemui. Mereka, antara lain, para kiai dan lulusan pesantren
yang hanya mempelajari kitab-kitab kuning tanpa buku-buku pelajaran sebagaimana
dipelajari di sekolah-sekolah.
Salah satu argumentasi ketidak percayaan mereka terhadap kemampuan
manusia untuk mendarat di Bulan karena benda ini berada di dalam langit
sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan, Allah menciptakan di dalamnya
Bulan sebagai cahaya dan menjadikan Matahari sebagai pelita?” (QS Nuh:15-16).
Karena Bulan berada di langit maka tidak mungkin ada yang bisa mencapainya,
kecuali atas izin Allah sebagaimana dialami Malaikat Jibril, Nabi Muhammad SAW,
dan buraq.
Sementara itu, surah ar-Rahman ayat 33 yang digunakan salah satu
argumentasi pihak yang pro terhadap kemampuan manusia untuk mendarat di Bulan,
menurut M Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, adalah tidak tepat. Ia pun
mengutip tim penulis Tafsir al-Muntakhab yang menyatakan bahwa upaya menembus
langit dan Bumi yang berjarak jutaan tahun cahaya itu mustahil dapat dilakukan
oleh jin dan manusia.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Alquran tentang jin yang
menyatakan, “Sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tingkat di
langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi, sekarang
barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan
menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya) (QS al-Jinn:9).
Adapun surah ar-Rahman ayat 33 dimaksudkan sebagai peringatan dan
tantangan bagi mereka yang bermaksud menghindar dari tanggung jawabnya di
akhirat kelak. Karena itu, ayat ini tidak berbicara dalam konteks duniawi,
apalagi menyangkut kemampuan manusia untuk menembus angkasa luar sehingga
perintah “tembuslah!” bukan untuk dilaksanakan.
Berdasarkan ayat yang dikutip oleh Quraish Shihab tersebut maka
jika Armstrong berhasil mendarat di Bulan berarti pesawat yang ia gunakan telah
melewati ruang angkasa yang sangat luar biasa panas. Selain itu, jika ada
seorang Muslim mendarat di Bulan maka syariat Islam pun tidak berlaku. Sebab,
penentuan waktu dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa, dan haji distandarkan
pada perputaran Bulan dan Matahari yang berlaku di orbit Bumi ini.
Karena itu, ia tidak terkena untuk kewajiban berpuasa yang
ditentukan berdasarkan kemunculan hilal. Sebab, Bulan yang jika terlihat dari
Bumi berbentuk Bumi ini selamanya dilihat karena terletak di bawah telapak
kaki.
Kini, Armstrong telah meninggal dunia dan kabar tersebut tidak ada
yang meragukannya. Tetapi, kabar tentang dirinya yang pernah meninggalkan Bumi
ini, kemudian mendarat di Bulan hingga kini masih menjadi polemik. Apakah
Armstrong berbohong atau tidak suatu saat nanti akan ditemukan jawabannya tanpa
polemik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar