Demokrasi
Mafioso
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir
Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS,
31 Agustus 2012
Keterbukaan, transparansi,
dan akuntabilitas—sebagai pilar utama arsitektur demokrasi—belum juga dapat
dibangun di atas tubuh bangsa ini meski proses demokratisasi telah berlangsung
lebih dari satu dekade.
Korupsi, manipulasi,
penggelapan, transaksi gelap, persekongkolan, negosiasi ilegal, dan konsensus
jahat masih mewarnai gerak-gerik para elite politik, lembaga negara (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif), para pengusaha bahkan para pengacara. Aroma
kejahatan, kriminalitas, dan teror dalam tubuh demokrasi mampu ditutupi dari
mata publik, dalam kondisi ruang politik dikuasai ”jejaring mafioso” yang
cerdas memainkan strategi media.
Aneka kejahatan ditutupi
topeng citra ”bersih”, ”jujur”, ”sederhana” atau ”nasionalis”. Di balik
penampilan wajah-wajah ”demokratis” tersembunyi aneka tindak kejahatan,
kekerasan, manipulasi, dan korupsi. Inilah cara kerja demokrasi para mafioso—democracy of the mafioso.
Mafia politik adalah
organisasi atau jejaring rahasia para ”teroris politik” yang menggunakan elemen
kriminal dalam mengendalikan sistem kekuasaan politik. Di dalamnya, elite
politik, lembaga negara, pengusaha, bahkan pengacara menjelma para mafioso,
yang—dalam kerahasiaannya—menggunakan cara kekerasan dan kejahatan untuk
memperoleh kekuasaan dan kekayaan: mafia hukum, mafia anggaran, mafia pajak,
mafia pemilu, mafia UU, mafia pendidikan, bahkan mafia haji.
Negara Mafia
Kekuasaan cenderung
menyembunyikan diri sendiri. Kian tak tampak, kian kuat kekuasaan. Kekuasaan
berlipat ganda pengaruhnya bila tak terlihat. Namun, negara demokratis—sebagai
manifestasi sistem kekuasaan politik—harus bekerja dalam keterlihatan dan
transparansi. Meski tak semua gerak-gerik harus terlihat, pada dasarnya negara
demokratis harus transparan di mata warga. Demokrasi adalah upaya membuat
kekuasaan terlihat bagi setiap warga. Ia sistem yang minimum ”kekuasaan tak
tampak” (invisible power).
Transparansi menjadikan
gerak-gerik penguasa terlihat oleh warga, sebagai fondasi dan legitimasi
demokrasi representatif. Delegasi kekuasaan oleh rakyat kepada representatif
mensyaratkan kemampuan rakyat mengetahui segala gerak-gerik mereka agar
terbangun tanggung jawab dan amanah kekuasaan.
Kerahasiaan dan
ketaktampakan ada dalam sistem totaliter, di mana semua kebijakan dan keputusan
politik tak dapat diakses warga. Kewargaan tak dimungkinkan karena tak ada
kekuasaan nyata rakyat. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tak tampak tumbuh
ketika kekuasaan menyembunyikan gerak-geriknya. Korupsi, konspirasi, dan mafia
tumbuh subur dalam ketaktampakan. Kontrak legal politik-ekonomi memang bersifat
publik, tetapi di baliknya ada deal-deal rahasia kejahatan dan korupsi (Bobbio,
2003).
Ancaman demokrasi tak datang
dari luar, tetapi dari dalam tubuh demokrasi sendiri, yaitu ketika di dalamnya
tumbuh parasit ”kekuasaan tak tampak” yang bersifat rahasia, tertutup,
melampaui hukum, tetapi mampu bersembunyi di balik sistem formal (partai,
lembaga negara). Rechtsstaat—di mana
sistem kekuasaan diatur oleh konsensus hukum—terancam, bila kekuatan konstitusi
dalam mengatur gerak-gerik politik justru dikalahkan oleh kekuatan tak-tampak
ini (Bobbio, 1987).
Demokrasi menjelma
”demokrasi mafioso” bila setiap rencana, kebijakan, keputusan, dan strategi
publik dikuasai secara rahasia oleh mafioso politik. Kedaulatan di tangan
rakyat kini beralih ke tangan mafioso, yang melalui kekuatan modal ekonomi—yang
diakumulasikan lewat cara-cara korup—mampu mengambil alih kekuatan politik
dengan ”menyandera” kekuasaan dan kedaulatan negara.
Partai dan lembaga negara
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) jadi sarang mafioso politik, yang secara
kolektif membangun ”jejaring mafia”. Dalam jejaring ini aneka
kejahatan—korupsi, penipuan, penggelapan—dilakukan kolektif dengan rantai
jejaring panjang, rumit, dan masif sehingga sulit dideteksi, diurai, dan
diselesaikan. Bahkan, kini ada ”korupsi advokat”, di mana para pengacara yang
punya tugas mulia menegakkan keadilan dan kebenaran justru jadi agen perusak.
Kekebalan
Politik
Demokrasi terancam bila di
dalamnya hidup mekanisme dan aparatus ”keterkecualian” (state of exception), yaitu ketaktersentuhan dan kekebalan sesuatu
dari kekuatan hukum karena ia jadi pemegang otoritas hukum itu sendiri.
”Keterkecualian” menjadi ciri sistem otokrasi dan totalitarianisme. Misalnya,
dalam rezim Orde Baru, di mana presiden—dan orang-orang di lingkarannya—punya
”kekuasaan absolut”, yang tak pernah bersalah atau dapat disalahkan; tak
tersentuh hukum, bahkan hingga kini. ”Kekebalan hukum” tak hanya milik sistem
totalitarianisme, tetapi juga sistem demokrasi.
Kekebalan dibangun lewat
kemampuan jejaring mafioso politik mengendalikan mekanisme hukum. Mereka
”menyandera” sistem hukum itu sendiri dalam kondisi lenyapnya perbedaan antara
kekuatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Prinsip check and balance—sebagai prinsip utama demokrasi—hanya ada secara
de jure, tetapi secara de facto yang ada adalah ”perselingkuhan” di antara
pemangku kekuasaan dalam memanipulasi sistem hukum demokratis (Agamben, 2005).
”Aparatus hukum”—yang jadi
bagian jejaring mafioso—cenderung ”memelihara” mental jahat dan korupsi
ketimbang menghapusnya. Mereka, yang mestinya mendisiplinkan warga, mengatur
tindakan dan menciptakan keadilan justru jadi bagian jejaring ”permainan” hukum
dan keadilan. Secara kolektif dan berjejaring mereka membentuk aneka
persekongkolan di ”ruang gelap demokrasi” sambil berlindung di balik
formalitas, legalitas, dan legitimasi lembaga di mana ia hidup: negara, partai,
atau organisasi formal.
Melemahnya kedaulatan negara
dan rakyat diiringi menguatnya ”kekuatan jejaring”, termasuk jejaring mafioso
politik. Dalam kondisi itu, demokrasi menjelma ”netokrasi” (netocracy), sistem di mana kekuasaan
tertinggi berada di tangan jejaring (network).
Siapa yang menguasai jejaring, ia memiliki kekuasaan. Akan tetapi, untuk itu
perlu modal besar, yang hanya dimiliki para oligarch dan mafioso. Akibatnya,
demokrasi hanya menjadi ajang adu kekuatan jejaring oligarch dan mafioso ini (Bard dan Söderqvist, 2002).
Menguapnya kasus besar
kejahatan dan korupsi bukan karena tak ada data, informasi, barang bukti, dan
saksi, tetapi karena begitu perkasanya kekuasaan jejaring mafioso, yang membuat
aparatus hukum lunglai tak berdaya. Lembaga hukum—termasuk KPK—tak hanya
menghadapi kejahatan individu, tetapi kejahatan jejaring, yang melibatkan
parpol, lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), pengusaha, oknum
advokat. Ketika sistem demokrasi dimanipulasi mafioso, pengetahuan dan akses
rakyat terhadap gerak-gerik elite kekuasaan dikaburkan lewat permainan media.
Informasi yang terdistorsi menutupi gerak-gerik jahat mafioso politik di balik
topeng gerak-gerik elite politik yang tampak wajar, alamiah, dan formal. Di
balik citra elite politik yang sederhana, merakyat, lugu, dan jujur dalam
komunikasi politik justru bekerja cara-cara mafioso sebagai metode politik
kekuasaan.
Ketika kerahasiaan dan
ketersembunyian jadi cara kerja kekuasaan; ketika kejahatan jadi cara
mendapatkan kekuasaan; ketika elite politik, aparatus negara, pengusaha bahkan
pengacara jadi bagian jaringan mafioso, tak ada lagi harapan bagi demokrasi.
Demokrasi tersandera oleh unsur-unsur pembangunnya sendiri. Masa depan
demokrasi sangat bergantung pada kemampuan masyarakat politik melawan kekuatan
mafioso politik ini agar dapat dibangun kembali ruang-ruang keterbukaan,
transparansi, dan akuntabilitas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar