Keharusan
Verifikasi Paratai Politik
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum
Tata Negara, Direktur Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Agustus 2012
TERHITUNG sejak 10 Agustus lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah
membuka pendaftaran verifikasi partai politik (parpol). Sesuai dengan ketentuan
Pasal 16 Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Legislatif, KPU melakukan verifikasi atas kelengkapan dan kebenaran persyaratan
partai politik. Selain itu, KPU diberi limitasi berupa kewajiban menyelesaikan
verifikasi selambat-lambatnya 15 bulan sebelum pemungutan suara.
Sekiranya diletakkan dalam bingkai proses pemilu yang adil, verifikasi
menuju Pemilu 2014 tak dapat dikatakan sebagai masalah sederhana. Bila berkaca
pada pengalaman Pemilu 2009, verifikasi menjadi salah satu pergunjingan besar. Banyak pihak menilai
salah satu penyebab membengkaknya jumlah parpol peserta Pemilu Legislatif 2009
ialah kegagalan melakukan verifikasi secara akurat. Jika penilaian itu
benar, bukan tidak mungkin pengalaman serupa akan terulang kembali pada Pemilu
2009. Ujungnya, pemilih kembali disuguhi jumlah parpol yang dapat dikatakan di
luar batas kewajaran.
Tak hanya itu. Masalah lain yang segera menghadang ialah sejumlah aturan dalam
UU No 8/2012 terutama yang terkait dengan syarat verifikasi yang dinilai
diskriminatif.
Pasal tertentu bahkan dinilai lebih menguntungkan parpol yang memenuhi ambang
batas parlemen (parliamentary threshold)
di DPR. Karena penilaian itu, di tengah DPR. Karena penilaian itu, di tengah
menjamurnya kemunculan parpol dan posisi strategis verifikasi, badan posisi
strategis verifikasi, banyak pihak berharap agar KPU tidak kehilangan nyali
dalam menilai kemampuan sebuah parpol memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu
sebagai peserta Pemilu 2014.
Keniscayaan
Dalam praktik, verifikasi dilakukan untuk mendapatkan badan hukum
sebagai parpol.
Apabila syarat-syarat sudah terpenuhi, parpol
disahkan sebagai badan hukum. Tujuan verifikasi pada tahap tersebut yaitu
membuktikan terpenuhi atau tidaknya syarat untuk berbadan hukum. Dengan
terpenuhinya syarat yang ada, parpol tersebut sah berbadan hukum. Selama tidak
dibubarkan atau membubarkan diri, status badan hokum yang dikeluarkan Menteri
Hukum dan HAM tetap melekat pada parpol bersangkutan.
Adapun verifikasi sebagai peserta pemilu merupakan proses
pemeriksaan yang terkait dengan keterpenuhan syarat sebuah parpol untuk
mengikuti pemilihan umum. Jamak dipahami, verifikasi itu ditujukan sebagai
upaya membuktikan kebenaran dan keterpenuhan berbagai syarat dalam kepesertaan pada
pemilu. Proses tersebut dimaksudkan untuk mendorong parpol membuktikan kemampuan
menjadi peserta pemilu. Karena itu, syarat kepesertaan parpol dalam mengikuti
pemilu jauh lebih berat jika dibandingkan dengan syarat untuk memperoleh status
badan hukum.
Dengan maksud itu, sebenarnya, verifikasi tidak hanya ditujukan
sebagai mekanisme mengecek kesiapan dan keterpenuhan syarat sebagai peserta
pemilu bagi parpol baru, tetapi juga parpol yang telah lama eksis. Keniscayaan
verifikasi bagi parpol lama, apabila terjadi perubahan aturan, menjadi jauh
lebih berat daripada persyaratan menjadi peserta pada pemilu sebelumnya. Hal
demikian dilakukan agar parpol peserta pemilu benar-benar mampu memenuhi
persyaratan baru yang diperberat.
Seperti diketahui, guna menjadi peserta Pemilu 2009, parpol hanya
disyaratkan memiliki kepengurusan minimal di 2/3 jumlah provinsi dan memiliki
kepengurusan minimal di 2/3 jumlah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan. Untuk provinsi yang bersangkutan. Untuk menuju Pemilu 2014, syarat
itu diperberat menjadi memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, memiliki
pengurus minimal di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi bersangkutan, dan
memiliki kepengurusan minimal di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota
bersangkutan.
Diskriminatif
Tujuan verifikasi memang dimaksudkan untuk mengecek kebenaran
banyak syarat sebagai peserta pemilu. Namun bila merujuk Pasal 8 UU No 8/2012,
tidak semua parpol memiliki keharusan untuk diverifikasi sebagai peserta
pemilu. Dalam hal ini, ketentuan yang termaktub dalam UU No 8/2012
mengategorisasi parpol dalam dua kelompok. Dengan merujuk aturan verifikasi
yang ada, kedua kelompok itu diperlakukan secara berbeda untuk menjadi peserta
pemilu.
Kelompok pertama yaitu parpol yang secara otomatis menjadi peserta
pemilu karena pada Pemilu 2009 berhasil memenuhi ambang batas suara parlemen. Untuk
kategori pertama itu, parpol tidak perlu diverifikasi KPU. Kelompok kedua yaitu
parpol yang hanya dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi sembilan
persyaratan yang diatur Pasal 8 ayat (2) UU No 8/2012. Parpol yang masuk
kategori tersebut ialah parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
parlemen pada Pemilu 2009 dan parpol baru. Terhadap dua kelompok parpol itu,
keleng kapan persyaratan mereka sebagai peserta pemilu harus diverifikasi.
Dengan pengaturan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
parpol yang ada di DPR, karena memenuhi parliamentary
threshold, secara otomatis menjadi peserta pemilu. Lain halnya dengan
parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen dan
parpol baru, mereka hanya dimungkinkan menjadi peserta Pemilu 2014 setelah
memenuhi syarat yang diperberat. Jika dilihat dari berbagai sudut pandang, aturan tersebut
memiliki persoalan konstitusional serius karena dinilai menabrak prinsip pemilu
dalam UUD 1945. Persoalan serius itu muncul karena pembentuk UU dengan
sertamerta menjadikan ambang batas parlemen menjadi semacam jalan tol parpol di
DPR untuk bebas dari kewajiban diverifikasi.
Ketika menyampaikan keterangan ahli di Mahkamah Konstitusi (MK),
saya tegaskan pemberlakuan
syarat baru (syarat yang sudah diperberat), tetapi hanya diberlakukan untuk
sebagian peserta pemilu, dapat dinilai sebagai legal policy yang tidak adil, diskriminatif. Tidak adil karena
persyaratan baru yang ditetapkan melalui perubahan UU tersebut sebetulnya juga
belum tentu dapat dipenuhi parpol yang memenuhi ambang batas parlemen pada
Pemilu 2009. Penting untuk dicatat, am bang batas parlemen bukan ambang batas
pemilu sehingga tak dapat dijadikan alasan pembenar untuk me nerapkan
persyaratan peserta pemilu secara berbeda bagi setiap peserta pemilu.
Di sisi lain, pembedaan persyaratan hanya mungkin dapat dibenarkan
sejauh dan sepanjang persyaratan untuk menjadi peserta pemilu tidak berubah.
Artinya, parpol yang memenuhi ambang batas dibolehkan ikut pemilu tanpa harus melalui verifikasi ulang sepanjang persyaratan untuk menjadi peserta pemilu tidak diubah/diperberat dari syarat pemilu sebelumnya. Dengan adanya pilihan kebijakan memperberat syarat menjadi peserta pemilu, semua parpol yang berkeinginan menjadi peserta pemilu seharusnya diverifikasi ulang.
Artinya, parpol yang memenuhi ambang batas dibolehkan ikut pemilu tanpa harus melalui verifikasi ulang sepanjang persyaratan untuk menjadi peserta pemilu tidak diubah/diperberat dari syarat pemilu sebelumnya. Dengan adanya pilihan kebijakan memperberat syarat menjadi peserta pemilu, semua parpol yang berkeinginan menjadi peserta pemilu seharusnya diverifikasi ulang.
Bagaimanapun juga, pemenuhan ambang batas parlemen tidak dapat
dijadikan dalil untuk menghindar dari kewajiban verifikasi menjadi peserta
pemilu. Meskipun ada di antara parpol yang memenuhi ambang batas parlemen,
keikutsertaan sebagai peserta pemilu masih didasarkan pada pemenuhan syarat
lama yang diatur dalam UU pemilu sebelumnya. Dengan menggunakan dalih
keberhasilan pemenuhan ambang batas parlemen sebagai cara pemenuhan syarat
menjadi peserta pemilu, syarat verifikasi menuju Pemilu 2014 hampir dapat
dipastikan bias kepentingan politik parpol yang ada di DPR.
Berharap kepada MK
Terkait dengan kredibilitas pembentuk undang-undang, Jeremy
Waldron dalam The Dignity of Legislation
(1999) mengungkapkan, legislation and
legislatures have a bad name in legal and political philosophy, a name
sufficiently disreputable to sufficiently disreputable to cast doubt on their
credentials as respectable source of law. Karena gugatan atas reputasi dan
kredibilitas demikian, produk yang dihasilkan pembentuk UU sangat mungkin tidak
sejalan dengan konstitusi. Paling tidak, kemungkinan itu dapat ditelusuri dari
syarat verifikasi yang memudahkan parpol di DPR.
Dalam konteks tersebut, peran Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi
sangat vital dalam memulihkan ketidaksamaan syarat dan perlakuan bagi semua
parpol yang hendak menjadi peserta Pemilu 2014. Karena itu, demi sebuah proses
yang adil, harapan untuk memulihkan tercederainya prinsip keadilan hanya bisa
ditumpukan kepada MK. Apalagi, selama ini, MK mampu membuktikan diri sebagai
penjaga demokrasi konstitusional di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar