Tuhan Tidak
Perlu Kelompok
Ahmad Muchlish Amrin ; Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Agustus 2012
PENGEROYOKAN
kaum Sunni terhadap kaum Syiah yang terjadi di Omben, Sampang, Madura, (26/8)
merupakan cerminan cara pandang masyarakat terhadap berbagai macam perbedaan
dalam agama. Klaim kebenaran (truth claim)
yang ‘diderita’ kaum Sunni Madura saat ini ialah sebuah keniscayaan bagi umat
Islam. Kebenaran, bila menjadi rezim, akan selalu menyingkirkan kebenaran yang
lain. Saat itulah akan menjadi ketidakbenaran baru yang diterjemahkan melalui
tindakan-tindakan ke kerasan.
Carles
Taylor dalam Multiculturalism: Examining
the Politics of Recognition (1994) mengatakan tiap kelompok budaya dan
agama menuntut (dan berhak mendapatkan) pengakuan dan penghargaan. Bahayanya
ketika mereka yang memiliki identitas mayoritas menolak mengakui dan menghargai
minoritas. Kurangnya toleransi seperti itu berdampak serius, khususnya bagi
demokrasi dan keadilan dalam agama dan budaya. Penyebabnya ialah kekakuan
identitas komunal yang memercayai dirinya sebagai autentik dan superior, atau
kekakuan identitas universalis yang berusaha untuk memengaruhi yang lain dengan
cara memaksa.
Pada
prinsipnya, Islam ialah agama damai dan bisa menerima perbedaan. Islam ialah
rahmat bagi semua alam (rahmatan lil
alamin), rahmat bagi semua golongan. Artinya Islam bukan hanya rahmatan lil sunniyin, lil syi’ah, lil
mu’tazilah, dan seterusnya. Emha Ainun Najib (1999) dalam forum Macapat Syafa’at pernah mengatakan jika
dalam Islam ada 43 golongan, satu golongan yang akan masuk surga, yakni ahlu sunnah wal jama’ah, saya akan
memilih yang 42 golongan itu sebab tidak satu pun yang 42 golongan substansinya
tidak mengaku sebagai ahlu sunnah
wal-jamaah.
Ketika
kaum Sunni memandang kaum Syiah sebagai the
other (yang lain) dan memandang sepele,
kecil, bahkan sesat, dengan sendirinya kaum Sunni menganggap dirinya paling
benar. Padahal kita belum tahu apakah perilaku kelompok Sunni itu benar menurut
Allah? Sudah mencerminkan sebagai sosok perilaku agama yang mencintai
kedamaian? Tentu tidak. Peristiwa pengeroyokan kaum Sunni terhadap kaum Syiah
di Madura hanya berangkat dari pikiran kosong, cara pandang yang kurang tepat,
dan menganggap the other itu bukan
bagian dari dirinya.
Kita yakin bahwa Tuhan tak punya kelompok, bahkan Tuhan tak
punya agama. Kalaupun ada ayat Quran yang menyatakan inna al-dina `inda Allahi al-Islam,
artinya sesungguhnya agama yang paling benar di sisi Allah ialah Islam, perlu
digarisbawahi kata Islam itu tidak bermakna institusional atau kelembagaan.
Islam
dimaknai secara substansial, yakni para pencinta kedamaian. Dalam Quran dan hadis begitu detail menjelaskan
sebaik-baik manusia ialah mereka yang mampu berbuat baik terhadap orang lain,
sebaik-baik manusia ialah mereka yang mampu mengelola di muka bumi (khalifah fi al-ard). Makna
`mengelola' tentu tidak sekadar seperti seorang koki mengolah tepung menjadi
kue. Akan tetapi, mengelola kebencian menjadi cinta, mengelola iri dan dengki
menjadi kagum dan senang, dan mengelola kekerasan menjadi kelembutan.
Kita
dianggap bertambah keislamannya bukan karena rajin mengolok-olok orang lain,
bukan karena menyerang orang lain. Justru orang yang paling mulia di hadapan
Allah SWT ialah mereka yang selalu membuat orang lain senang dan bahagia.
Karena itulah, buah perilaku agama kita ialah seberapa banyak kita membantu
orang lain melalui harta, jiwa, tenaga, dan pikiran. Bukan seberapa hitam jidat
kita, sementara perilaku sosial kita nothing.
Partial Truth
Perlu
disadari semua penganut agama bahwa setiap kelompok itu memiliki kebenaran
parsial (partial truth), yang di
dalamnya juga mengandung kemungkinan salah. Pemahaman itu akan memantik
kesadaran kita bahwa tak patut dan tak pantas untuk mengklaim kelompok kita
sebagai yang paling benar.
Contohnya di saat kelompok tertentu yakin akan kebenaran ilahiyah dengan sistem teologi mereka, tetapi percaya agama-agama
lain bersifat manusia (human). Sifat
itu memungkinkan terbentuknya kesadaran multikulturalisme dalam batas-batas
klaim kebenaran agama atau kelompok sendiri (Muhammad Ali, 2001).
David
Gitomer (1996) memberikan dua rumusan penting dalam mengelola cara beragama
kita. Pertama, outsider, yakni jalan
tradisi mengartikulasikan dirinya dalam mengajarkan rumusan-rumusan bagi
penganutnya dan di luar penganutnya. Kedua, insider,
yakni pengalaman kolektif realitas yang diungkapkan dalam rumusan-rumusan yang tidak
sepenuhnya bisa diungkapkan dalam bahasa biasa. Karena itulah, tujuan dialog antaragama atau kelompok agama bukan untuk
mereduksi kelompok atau agama lain, melainkan pertemuan sejati antara wawasan,
pemahaman, persamaan, perbedaan, dan saling menerima antara kelompok yang satu
dan kelompok yang lain.
Perbedaan kelompok dalam agama merupakan
sesuatu yang biasa dan tak perlu ada konflik antarkelompok, apalagi melukai
serta saling membunuh antara kelompok satu dan yang lain. Tugas para pemeluk agama sekarang ini ialah bagaimana
agama menjadi pesat dalam konteks ilmu pengetahuan, sosial, budaya, pendidikan,
serta teknologi.
Penganut agama seharusnya sudah tidak berpikir tentang
klaim-klaim kelompok atau agama yang kebenarannya pun sangat relatif. Mari kita berbuat sebanyak-banyaknya untuk orang lain.
Kalau begitu, cara beragama kita indah, bukan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar