RAPBN dan
Ekonomi
Umar Juoro ; Ekonom
|
REPUBLIKA,
27 Agustus 2012
Presiden
SBY menyampaikan RAPBN 2013 pada 16 Agustus saat ekonomi masih tumbuh cukup
tinggi, namun ekonomi Indonesia mulai merasakan dampak krisis Eropa dan
stagnasi ekonomi AS dan Jepang. Dalam RAPBN 2013 tidak ada stimulus fiskal yang
berarti.
Belanja
modal yang diharapkan mendorong perekonomian hanya meningkat sekitar 15 persen.
Sedangkan subsidi energi meningkat sebesar 35 persen. Rasio defisit terhadap
PDB diturunkan menjadi 1,6 persen. Dengan pola RAPBN seperti ini diharapkan
perekonomian akan tumbuh 6,8 persen.
Tidak
adanya stimulus di dalam RAPBN karena pemerintah beranggapan sedang menyiapkan
kebijakan di luar anggaran dalam rangka menghadapi dampak dari krisis Eropa.
Dampak yang sudah kita rasakan adalah defisit neraca berjalan sebesar 3,1
persen terhadap PDB, tingkatan yang tergolong mengkhawatirkan. Pemerintah
berencana terus membatasi impor terutama barang konsumsi, dan memberikan
insentif pada industri yang memproduksi bahan antara untuk mengurangi
ketergantungan pada impor.
Namun,
langkah-langkah mengatasi dampak krisis Eropa tersebut belum tampak nyata.
Dengan kemungkinan Eropa mengalami resesi pada 2012 dan kalaupun pulih akan
sangat lambat, pertumbuhan 6,8 persen untuk Indonesia pada 2013 akan sulit
dicapai.
Subsidi
tidak ditekan karena tahun 2013 adalah menjelang pemilu sehingga berisiko
politik tinggi jika harga BBM dinaikkan untuk mengurangi subsidi. Dalam
realisasinya, subsidi BBM akan lebih besar daripada yang dianggarkan karena
kecenderungan harga minyak dunia meningkat dengan kemungkinan di atas 100 dolar
AS per barel, dan konsumsi BBM bersubsidi kemungkinan akan kembali melewati
kuota sebesar 46 juta kiloliter.
Pemerintah
dalam menghadapi besarnya subsidi energi ini juga melakukan usaha di luar
kerangka anggaran, dengan berusaha melakukan langkah-langkah langsung membatasi
konsumsi BBM bersubsidi tidak melebihi kuota, dan melakukan diversifikasi ke
gas. Namun, langkah-langkah dalam diversifikasi belum tampak jelas, apalagi
pasokan gas cenderung bermasalah.
Melihat
pola RAPBN 2013 tampak bahwa anggaran ini lebih sebagai kewajiban formal
tahunan tanpa upaya sungguh-sungguh untuk mendorong perekonomian dalam negeri
dari sisi investasi pemerintah, ataupun dalam meningkatkan efisiensi anggaran
dalam belanja rutin, khususnya yang menonjol adalah anggaran subsidi energi.
Upaya langsung dari sisi anggaran dalam menghadapi dampak krisis Eropa juga
tidak terlihat nyata.
Logika
politiknya adalah biasanya menjelang pemilu pemerintah melakukan stimulasi
anggaran dalam mendorong kegiatan ekonomi untuk mendapat simpati publik. Apalagi,
perekonomian juga sedang menghadapi dampak krisis Eropa. Ruang stimulasi
anggaran ini masih terbuka karena defisit baru 1,6 persen dari PDB. Sekalipun
belakangan terjadi pelepasan obligasi negara oleh investor asing, namun minat
investor terhadap SUN untuk membiayai defisit yang lebih besar untuk stimulasi
masih cukup baik. Permasalahannya adalah dalam efektivitas penggunaan anggaran
harus diperbaiki. RAPBN 2013 tampaknya mempunyai logika yang berbeda.
Sementara
itu, dari sisi kebijakan moneter, kecenderungannya adalah pada pengetatan
karena anggapan BI adanya kelebihan likuiditas di pasar. Sekalipun BI rate
tidak dinaikkan, namun suku bunga FASBI, fasilitas untuk satu malam dinaikkan.
Begitu pula, kebijakan apa yang disebut sebagai macroprudential, yang pada hakikatnya membatasi ruang gerak bank,
terus dilakukan. Sedangkan inklusi keuangan yang memperbesar akses masyarakat
pada lembaga keuangan masih jauh dari optimal.
Dengan
kebijakan fiskal yang tidak stimulatif dan kebijakan macroprudential yang restriktif, susah mengharapkan perekonomian
untuk ekspansi sendiri, apalagi menghadapi dampak krisis Eropa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar