Konflik
Sunni-Syiah di Madura?
Zuhairi Misrawi ; Ketua
Moderate Muslim Society,
Intelektual
Muda Nahdlatul Ulama
|
SINDO,
28 Agustus 2012
Penyerangan terhadap
penganut Syiah di Sampang, Madura, berakhir dengan duka. Dua orang tewas dan
puluhan lainnya terluka. Ironisnya, penyerangan tersebut dilakukan pada saat
warga melaksanakan “Lebaran Ketupat”, ritual yang biasa dilaksanakan warga
Madura seminggu setelah merayakan Idul Fitri.
Dalam teori
konflik dikenal, tidak ada faktor tunggal dalam setiap perseteruan antara satu
kelompok dan kelompok lainnya. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan
sebuah konflik meletus, baik politik, ekonomi, maupun keyakinan. Sebagaimana
dimaklumi, mulanya konflik di Kecamatan Omben
tersebut ditengarai dimotivasi perbedaan dalam internal keluarga. Namun dalam
perjalanannya, konflik mempunyai horizon yang semakin luas karena perbedaan
keyakinan menyusup bahkan dijadikan pemantik dalam konflik mutakhir.
Konflik semakin tidak terkendalikan karena baju keyakinan mulai digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh situasi. Puncaknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang, bahkan menteri agama menegaskan, Syiah sebagai aliran sesat, yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Seperti ihwal fatwa sesat terhadap kelompok minoritas lainnya, fatwa tersebut kerap digunakan secara sewenang-wenang untuk mengeksklusi, bahkan menebarkan kebencian terhadap warga Syiah. Konsekuensinya, muncul sebuah pandangan bahwa warga penganut Syiah tidak diperkenankan untuk tinggal di Kabupaten Sampang.
Sebab itu, menurut Muhammad Arkoun dalam Al Fikr al-Ushuly wa Istihalat al-Ta’shil, fatwa keagamaan ibarat ujung pisau yang jika tidak hati-hati, dapat digunakan oleh kelompok atau perorangan untuk menebarkan kekerasan. Dalam sejarah Islam, dan bahkan dalam sejarah agama-agama lainnya seperti Yahudi dan Kristen, keyakinan kerap digunakan secara serampangan untuk mempertajam konflik.
Konflik yang terjadi di Sampang seakan membenarkan tesis tersebut. Pada Desember 2011 lalu, sekelompok orang melakukan penyerangan terhadap tempat tinggal dan lembaga pendidikan milik warga penganut Syiah dengan bermodalkan fatwa sesat. Akibatnya, sejumlah rumah rusak dan aktivitas pendidikan warga Syiah terhenti. Mereka bahkan harus diungsikan ke tempat yang aman dan pimpinannya Tajul Muluk diamankan di Malang.
Belakangan ini Tajul Muluk divonis dua tahun penjara karena dianggap bersalah melakukan penistaan agama. Meskipun demikian, kekerasan terhadap warga penganut Syiah bukan mereda, melainkan justru semakin eskalatif. Mereka yang anti-Syiah menghendaki agar penganut Syiah tidak berdomisili di Sampang. Pemerintah Sampang bahkan ditengarai berada di pihak kelompok yang anti- Syiah dengan asumsi mengikuti aspirasi suara mayoritas yang diperkuat oleh vonis terhadap pimpinan Syiah dan fatwa sesat MUI setempat.
Dialog Sunni-Syiah
Penjelasan tersebut membuktikan bahwa konflik telah memasuki ranah yang paling sensitif karena kelompok yang anti-Syiah (Sunni) telah menggunakan paham keagamaan sebagai energi kekerasan. Dalam sejumlah komunikasi saya dengan teman-teman di Sampang hampir secara umum mempunyai kesimpulan yang sama: Syiah sebagai aliran sesat. Tentu saja, pandangan tersebut tidak berhenti di situ, melainkan justru secara implisit membenarkan kekerasan terhadap warga penganut Syiah.
Tidak mudah menemukan pihak yang melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap korban. Mereka yang selama ini gigih melakukan pendampingan terhadap Syiah pada umumnya adalah kelompok pro-HAM (hak asasi manusia). Di sini perlu langkah yang cukup serius yang mesti dilakukan oleh kelompok ahlusunah waljamaah, khususnya Nahdlatul Ulama.
Meskipun Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj sudah menegaskan Syiah sebagai salah satu sekte dalam Islam, dalam realitasnya umat masih berpedoman pada fatwa MUI setempat yang ditengarai juga tokoh Nahdlatul Ulama. Karena itu, perlu dialog yang intensif dan terbuka tentang Sunni-Syiah pada level akar rumput. Sebagian pihak kerap mempunyai pandangan yang tidak komprehensif terhadap Syiah sehingga sampai pada kesimpulan yang dapat merugikan kelompok lain.
Di sisi lain, yang ditonjolkan selalu sisi negatif, sementara sisi positif kerap diabaikan. Perihal jalan menuju dialog Sunni-Syiah sebenarnya pernah dirintis oleh Al-Maghfur Lahu KH Abdurrahman Wahid saat menegaskan bahwa NU adalah Syiah kultural. Hal tersebut mengacu pada sejumlah ritual dan tradisi yang berkembang di dalam lingkungan NU yang sebenarnya mengadaptasi dari tradisi Syiah.
Di dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mengutip pandangan Imam Ali Karramallahu Wajhah, “Kebenaran yang tidak terorganisasi, akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi”. Pandangan ini begitu populer di dalam lingkungan pesantren yang membuktikan bahwa Sunni- Syiah mempunyai titik temu karena semua pihak sangat menjunjung tinggi Imam Ali Karramallahu Wajhah.
Penegakan Hukum
Terlepas dari itu semua, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan di Sampang, Madura harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Selain pendekatan kultural, penegakan hukum juga merupakan elemen penting dalam penyelesaian konflik. Langkah ini penting agar siapa pun di negeri ini tidak mudah menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah.
Harus diakui, kekerasan berulang-ulang dilakukan oleh sebuah kelompok karena tidak ada sanksi hukum yang tegas dan berat terhadap pelaku kekerasan. Mestinya, mereka yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan keyakinan dan agama mendapat ganjaran yang setimpal karena mereka telah melakukan dua pelanggaran sekaligus yaitu norma hukum dan norma agama yang sama sekali tidak membenarkan kekerasan.
Pemerintah tidak boleh lagi melakukan pembiaran terhadap kelompok yang menebarkan kebencian dan kekerasan di negeri ini karena sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negara, apa pun agama, suku, ras, dan alirannya. Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia. ●
Konflik semakin tidak terkendalikan karena baju keyakinan mulai digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh situasi. Puncaknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang, bahkan menteri agama menegaskan, Syiah sebagai aliran sesat, yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Seperti ihwal fatwa sesat terhadap kelompok minoritas lainnya, fatwa tersebut kerap digunakan secara sewenang-wenang untuk mengeksklusi, bahkan menebarkan kebencian terhadap warga Syiah. Konsekuensinya, muncul sebuah pandangan bahwa warga penganut Syiah tidak diperkenankan untuk tinggal di Kabupaten Sampang.
Sebab itu, menurut Muhammad Arkoun dalam Al Fikr al-Ushuly wa Istihalat al-Ta’shil, fatwa keagamaan ibarat ujung pisau yang jika tidak hati-hati, dapat digunakan oleh kelompok atau perorangan untuk menebarkan kekerasan. Dalam sejarah Islam, dan bahkan dalam sejarah agama-agama lainnya seperti Yahudi dan Kristen, keyakinan kerap digunakan secara serampangan untuk mempertajam konflik.
Konflik yang terjadi di Sampang seakan membenarkan tesis tersebut. Pada Desember 2011 lalu, sekelompok orang melakukan penyerangan terhadap tempat tinggal dan lembaga pendidikan milik warga penganut Syiah dengan bermodalkan fatwa sesat. Akibatnya, sejumlah rumah rusak dan aktivitas pendidikan warga Syiah terhenti. Mereka bahkan harus diungsikan ke tempat yang aman dan pimpinannya Tajul Muluk diamankan di Malang.
Belakangan ini Tajul Muluk divonis dua tahun penjara karena dianggap bersalah melakukan penistaan agama. Meskipun demikian, kekerasan terhadap warga penganut Syiah bukan mereda, melainkan justru semakin eskalatif. Mereka yang anti-Syiah menghendaki agar penganut Syiah tidak berdomisili di Sampang. Pemerintah Sampang bahkan ditengarai berada di pihak kelompok yang anti- Syiah dengan asumsi mengikuti aspirasi suara mayoritas yang diperkuat oleh vonis terhadap pimpinan Syiah dan fatwa sesat MUI setempat.
Dialog Sunni-Syiah
Penjelasan tersebut membuktikan bahwa konflik telah memasuki ranah yang paling sensitif karena kelompok yang anti-Syiah (Sunni) telah menggunakan paham keagamaan sebagai energi kekerasan. Dalam sejumlah komunikasi saya dengan teman-teman di Sampang hampir secara umum mempunyai kesimpulan yang sama: Syiah sebagai aliran sesat. Tentu saja, pandangan tersebut tidak berhenti di situ, melainkan justru secara implisit membenarkan kekerasan terhadap warga penganut Syiah.
Tidak mudah menemukan pihak yang melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap korban. Mereka yang selama ini gigih melakukan pendampingan terhadap Syiah pada umumnya adalah kelompok pro-HAM (hak asasi manusia). Di sini perlu langkah yang cukup serius yang mesti dilakukan oleh kelompok ahlusunah waljamaah, khususnya Nahdlatul Ulama.
Meskipun Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj sudah menegaskan Syiah sebagai salah satu sekte dalam Islam, dalam realitasnya umat masih berpedoman pada fatwa MUI setempat yang ditengarai juga tokoh Nahdlatul Ulama. Karena itu, perlu dialog yang intensif dan terbuka tentang Sunni-Syiah pada level akar rumput. Sebagian pihak kerap mempunyai pandangan yang tidak komprehensif terhadap Syiah sehingga sampai pada kesimpulan yang dapat merugikan kelompok lain.
Di sisi lain, yang ditonjolkan selalu sisi negatif, sementara sisi positif kerap diabaikan. Perihal jalan menuju dialog Sunni-Syiah sebenarnya pernah dirintis oleh Al-Maghfur Lahu KH Abdurrahman Wahid saat menegaskan bahwa NU adalah Syiah kultural. Hal tersebut mengacu pada sejumlah ritual dan tradisi yang berkembang di dalam lingkungan NU yang sebenarnya mengadaptasi dari tradisi Syiah.
Di dalam Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mengutip pandangan Imam Ali Karramallahu Wajhah, “Kebenaran yang tidak terorganisasi, akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi”. Pandangan ini begitu populer di dalam lingkungan pesantren yang membuktikan bahwa Sunni- Syiah mempunyai titik temu karena semua pihak sangat menjunjung tinggi Imam Ali Karramallahu Wajhah.
Penegakan Hukum
Terlepas dari itu semua, penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan di Sampang, Madura harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Selain pendekatan kultural, penegakan hukum juga merupakan elemen penting dalam penyelesaian konflik. Langkah ini penting agar siapa pun di negeri ini tidak mudah menggunakan kekerasan dalam penyelesaian masalah.
Harus diakui, kekerasan berulang-ulang dilakukan oleh sebuah kelompok karena tidak ada sanksi hukum yang tegas dan berat terhadap pelaku kekerasan. Mestinya, mereka yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan keyakinan dan agama mendapat ganjaran yang setimpal karena mereka telah melakukan dua pelanggaran sekaligus yaitu norma hukum dan norma agama yang sama sekali tidak membenarkan kekerasan.
Pemerintah tidak boleh lagi melakukan pembiaran terhadap kelompok yang menebarkan kebencian dan kekerasan di negeri ini karena sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negara, apa pun agama, suku, ras, dan alirannya. Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar