Teologi sebagai
Problem Tradisi
Mohammad Bisri ; Mantan Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 31 Agustus 2012
KERUSUHAN di
Sampang Madura yang dipicu oleh perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah
merupakan ironi besar di tengah suasana masyarakat masih menikmati suasana
Lebaran. Alih-alih menjadi momen untuk saling memaafkan, Lebaran ternoda oleh
kerusuhan sosial yang menewaskan dua orang, melukai empat lainnya, membakar
rumah, dan membuat 235 warga mengungsi. Lebih ironis ini kejadian kali kedua,
persis seperti setahun lalu.
Peristiwa itu menambah panjang daftar kekerasan berkedok agama. Sebelumnya
kekerasan serupa terjadi di Cikeusik Banten, Nusa Tenggara, Jampang Tengah
Sukabumi dan lainnya. Agama hanya menjadi alat justifikasi.
Dalam pemberitaan, seringkali terbaca bahwa perbedaan doktrin dianggap sebagai penyebab utama konflik beragama. Secara substansial, hubungan antara Sunni dan Syiah tak memiliki rintangan siginifikan bagi keterjalinan keharmonisan. Keduanya justru memiliki banyak titik kesamaan ketimbang perbedaan. Teologi Sunni dan Syiah tidak memiliki perbedaan mendasar, baik dalam konsep ketuhanan (tauhid), kenabian, kitab suci Alquran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan persoalan teologis lainnya.
Ini bisa dirujuk pada literatur teologi dan juga filsafat keduanya. Bahkan keduanya sering dipertemukan pada tokoh yang sama dengan pemikiran sepaham. Kajian tentang dialog Sunni dan Syiah makin intesif menemukan banyak kesamaan di satu pihak, dan menyadarkan bahwa perbedaan yang selama ini dicuatkan sebenarnya tidak menyangkut aspek fundamental. Sayang, makin dekatnya persaudaraan antara pemikiran Sunni dan Syiah hanya berhenti pada tataran elite. Umat secara mayoritas belum mendapat asupan dakwah yang memadai tentang persaudaraan Sunni dengan Syiah.
Biasanya persoalan muncul justru ketika politik atau negara ikut terlibat di dalamnya, sebagaimana terjadi dalam sejarah yang dikenal dengan kasus mibnab pada masa pemerintahan al-Makmun (813-833 M), salah seorang khalifah Abbasiyah. Dalam posisi seperti ini, orang tak bisa membedakan antara nalar agama dan nalar politik karena keduanya sudah bercampur sedemikian rupa.
Sesuatu yang semestinya berada di wilayah sekuler (nalar politik) tidak jarang disakralkan sebagai pendapat agama, demikian pula sebaliknya. Di samping kasus mibnab, banyak sekali kasus serupa dalam sejarah Islam. Di sini negara seolah-olah menempatkan diri sebagai lembaga sensor atas pemikiran keagamaan, mana pikiran yang boleh berkembang dan mana yang tidak boleh.
Untuk menyelesaikan konflik antara Sunni dan Syiah di Sampang, perlu meletakkan teologi dengan segala permasalahannya sebagai problem tradisi. Namun ada berapa konsekuensi yang harus dilakukan. Pertama; teologi harus diletakkan dalam wilayah sekuler atau bisa disebut sekulerisasi teologi. Bukankah teologi selalu menekankan pada transendensi, berbicara tentang langit, zat yang di atas dan seterusnya?
Desakralisasi Teologi
Sekulerisasi teologi adalah upaya menjadikan teologi untuk lebih dekat dengan permasalahan bumi, bawah, manusia, atau rakyat. Dengan demikian, merumuskan teologi yang berwawasan humanistik merupakan keniscayaan, meskipun hal ini oleh sebagian kalangan mungkin dianggap aneh. Sekularisasi juga berarti menjadikan perdebatan teologi lebih arif dengan persoalan kemanusiaan atau kerakyatan.
Kedua; menjadikan teologi sebagai problem tradisi juga berarti menjauhkan teologi dari klaim-klaim mematikan, seperti Islam dan kafir, beriman dan tidak beriman, surga dan neraka, dan seterusnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari proses desakralisasi teologi. Ujung dari desakralisasi teologi sebenarnya adalah relativisme teologi, yakni ilmu teologi sebagaimana ilmu-ilmu yang lain harus diletakkan di atas altar relativisme.
Artinya, kebenaran yang diasumsikan sebagai kebenaran teologi tidak selalu mutlak, tidak berlaku selamanya, tidak menerima perubahan, karenanya pada teologi pun berlaku hukum relativisme. Dengan demikian, meskipun kita meyakini kebenaran doktrin teologi tertentu, hal itu tidak menjadi penghalang untuk membenarkan teologi orang lain.
Dalam pemberitaan, seringkali terbaca bahwa perbedaan doktrin dianggap sebagai penyebab utama konflik beragama. Secara substansial, hubungan antara Sunni dan Syiah tak memiliki rintangan siginifikan bagi keterjalinan keharmonisan. Keduanya justru memiliki banyak titik kesamaan ketimbang perbedaan. Teologi Sunni dan Syiah tidak memiliki perbedaan mendasar, baik dalam konsep ketuhanan (tauhid), kenabian, kitab suci Alquran, maupun kepercayaan akan hari akhir dan persoalan teologis lainnya.
Ini bisa dirujuk pada literatur teologi dan juga filsafat keduanya. Bahkan keduanya sering dipertemukan pada tokoh yang sama dengan pemikiran sepaham. Kajian tentang dialog Sunni dan Syiah makin intesif menemukan banyak kesamaan di satu pihak, dan menyadarkan bahwa perbedaan yang selama ini dicuatkan sebenarnya tidak menyangkut aspek fundamental. Sayang, makin dekatnya persaudaraan antara pemikiran Sunni dan Syiah hanya berhenti pada tataran elite. Umat secara mayoritas belum mendapat asupan dakwah yang memadai tentang persaudaraan Sunni dengan Syiah.
Biasanya persoalan muncul justru ketika politik atau negara ikut terlibat di dalamnya, sebagaimana terjadi dalam sejarah yang dikenal dengan kasus mibnab pada masa pemerintahan al-Makmun (813-833 M), salah seorang khalifah Abbasiyah. Dalam posisi seperti ini, orang tak bisa membedakan antara nalar agama dan nalar politik karena keduanya sudah bercampur sedemikian rupa.
Sesuatu yang semestinya berada di wilayah sekuler (nalar politik) tidak jarang disakralkan sebagai pendapat agama, demikian pula sebaliknya. Di samping kasus mibnab, banyak sekali kasus serupa dalam sejarah Islam. Di sini negara seolah-olah menempatkan diri sebagai lembaga sensor atas pemikiran keagamaan, mana pikiran yang boleh berkembang dan mana yang tidak boleh.
Untuk menyelesaikan konflik antara Sunni dan Syiah di Sampang, perlu meletakkan teologi dengan segala permasalahannya sebagai problem tradisi. Namun ada berapa konsekuensi yang harus dilakukan. Pertama; teologi harus diletakkan dalam wilayah sekuler atau bisa disebut sekulerisasi teologi. Bukankah teologi selalu menekankan pada transendensi, berbicara tentang langit, zat yang di atas dan seterusnya?
Desakralisasi Teologi
Sekulerisasi teologi adalah upaya menjadikan teologi untuk lebih dekat dengan permasalahan bumi, bawah, manusia, atau rakyat. Dengan demikian, merumuskan teologi yang berwawasan humanistik merupakan keniscayaan, meskipun hal ini oleh sebagian kalangan mungkin dianggap aneh. Sekularisasi juga berarti menjadikan perdebatan teologi lebih arif dengan persoalan kemanusiaan atau kerakyatan.
Kedua; menjadikan teologi sebagai problem tradisi juga berarti menjauhkan teologi dari klaim-klaim mematikan, seperti Islam dan kafir, beriman dan tidak beriman, surga dan neraka, dan seterusnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari proses desakralisasi teologi. Ujung dari desakralisasi teologi sebenarnya adalah relativisme teologi, yakni ilmu teologi sebagaimana ilmu-ilmu yang lain harus diletakkan di atas altar relativisme.
Artinya, kebenaran yang diasumsikan sebagai kebenaran teologi tidak selalu mutlak, tidak berlaku selamanya, tidak menerima perubahan, karenanya pada teologi pun berlaku hukum relativisme. Dengan demikian, meskipun kita meyakini kebenaran doktrin teologi tertentu, hal itu tidak menjadi penghalang untuk membenarkan teologi orang lain.
Bahkan jika
pengkotakkan teologi benar-benar sudah mencair maka orang tak lagi bisa
diidentifikasi atas dasar keyakinan teologinya. Seseorang juga tidak bisa lagi
mendefinisikan diri sebagai penganut teologi tertentu sehingga bisa saja pada
saat tertentu menjadi Syiah, pada saat yang lain menjadi Sunni, pada saat yang
lain menjadi Mu’tazilah, pada saat tertentu mengikuti Qadariyah dan seterusnya.
Dalam menyederhanakan persoalan ini, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah, bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi nahdliyin sangat mirip dengan peran dan posisi imam dalam tradisi Syiah. Hanya di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Selama ini, Sampang Madura memiliki preseden positif soal hubungan antara Sunni dan Syiah tetapi mengapa meletup kerusuhan antarkomunitas itu? ●
Dalam menyederhanakan persoalan ini, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan terlalu banyak kesamaan antara NU dan Syiah, bahkan peran dan posisi kiai dalam tradisi nahdliyin sangat mirip dengan peran dan posisi imam dalam tradisi Syiah. Hanya di NU konsep itu hadir dalam wujud budaya, sementara di Syiah dalam bentuk teologi. Selama ini, Sampang Madura memiliki preseden positif soal hubungan antara Sunni dan Syiah tetapi mengapa meletup kerusuhan antarkomunitas itu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar