Kedelai dan BBM
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan
Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
|
KOMPAS,
30 Agustus 2012
Kedelai dan BBM sebenarnya sangat jauh
berbeda. Namun, untuk negara kita, dalam beberapa aspek ternyata keduanya
memiliki banyak kesamaan.
Satu hal yang pasti, dalam kedua komoditas
tersebut negara kita sama-sama mengalami krisis. Jika krisis kedelai barangkali
relatif baru saja terjadi, krisis bahan bakar minyak (BBM) sudah jauh lebih
sering dan hingga kini juga masih terus berlangsung.
Kedua komoditas tersebut juga sama-sama
terkait ketahanan nasional. Jika kedelai salah satu komoditas yang berkaitan
dengan ketahanan pangan, BBM adalah salah satu komoditas yang erat kaitannya
dengan ketahanan energi. Jika kebutuhan kedelai nasional sekitar 71 persen
dipenuhi dari impor, kebutuhan BBM nasional sekitar 40 persen dipenuhi dari
impor.
Jadi, dalam kedua komoditas itu kita
sama-sama bergantung pada impor. Meski di satu sisi kita mengklaim negara
agraris dan juga produsen minyak, ternyata dalam hal jaminan pasokan kebutuhan
nasional untuk kedua komoditas tersebut sama-sama sangat rentan.
Tidak Fokus
Dalam hal penanganan krisis, penulis tidak
mengerti kebijakan apa yang diambil untuk kedelai karena memang tidak
berkecimpung di bidang pangan. Namun, dalam hal krisis BBM pun penulis bingung
pada fokus kebijakan yang diambil pemerintah.
Pada 2005-2006 dikatakan akan menggalakkan
pengembangan bahan bakar nabati (BBN) untuk substitusi BBM. Namun, pada
2008-2011, haluan sudah berganti pada kebijakan pembatasan BBM kendaraan
pribadi, yang hingga kini tak juga terealisasi.
Pada awal 2012 dikatakan juga akan menggalakkan
pengembangan bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi. Akan tetapi, tiba-tiba
yang dijalankan adalah pelarangan kendaraan dinas pemerintah pusat dan daerah,
BUMN, serta BUMD untuk mengonsumsi BBM subsidi.
Kemudian, saat ini juga sedang ramai dibicarakan
tentang bagaimana menggalakkan penggunaan mobil listrik, yang katanya juga
untuk mengatasi impor BBM yang semakin meningkat itu. Dengan anggaran yang
sering dikatakan terbatas, apa bisa semua kebijakan itu dijalankan dengan baik
dan efektif guna mengatasi persoalan yang ada?
Klaim Keberhasilan
Dalam hal kebijakan BBM ini, belakangan
bahkan terasa makin membingungkan saja.
Di satu sisi pemerintah mengklaim bahwa
kebijakan pelarangan kendaraan dinas pemerintah untuk mengonsumsi BBM subsidi
telah berhasil mengurangi laju konsumsi premium bersubsidi. Ini diperkirakan
akan mengurangi 5-6 persen konsumsi BBM subsidi secara keseluruhan (kurang
lebih setara dengan 2 juta-2,4 juta kiloliter). Namun, di sisi lain pemerintah
akan mengajukan tambahan kuota volume BBM subsidi ke DPR hingga 4 juta
kiloliter.
Apakah ini berarti dalam menghitung volume
kuota yang sebelumnya itu asal-asalan ataukah sebenarnya volume BBM subsidi
yang dihemat tidak sebesar itu atau bahkan tidak ada?
Masih segar dalam ingatan bahwa pada Mei 2012
ketika mencanangkan gerakan hemat energi nasional, pemerintah bahkan mengklaim
akan bisa menghemat konsumsi BBM subsidi hingga 6 juta kiloliter. Jika
kebijakan itu benar-benar dijalankan dan berhasil, sebagaimana sering
dinyatakan, mestinya tak perlu lagi meminta tambahan kuota hingga sebesar itu.
Pada akhirnya, penulis hanya bisa prihatin
dan berharap agar kebijakan dan penanganan krisis kedelai tidak (bernasib) sama
dengan BBM. Syukur-syukur jika permasalahan yang membelit kedua komoditas yang
berbeda tersebut sama-sama dapat ditangani secara sungguh-sungguh sehingga kita
terbebas dari krisis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar