Nasib Petani
Kedelai
Gatot Irianto ; Pengajar Sekolah Pascasarjana IPB
|
KOMPAS,
29 Agustus 2012
Tirani mayoritas importir kedelai berhasil
memaksa pemerintah untuk kesekian kali membebaskan bea masuk kedelai impor.
Membanjirnya kedelai impor menjadikan nasib petani kedelai kian terpuruk dan
tidak berdaya.
Importir kedelai dengan tameng perajin tahu tempe
tanpa peduli menindas dan menggilas lebih dari 3 juta petani kedelai Indonesia,
sekaligus menjerumuskan Indonesia masuk perangkap impor kedelai. Fenomena
melambungnya harga kedelai yang terus berulang mengindikasikan bahwa pembebasan
bea masuk belum menyelesaikan masalah fundamentalnya.
Ironisnya, ketika harga kedelai di tingkat
petani anjlok, semua pihak melakukan pembiaran. Tidak ada satu pun yang
memperjuangkan nasib petani kedelai.
Swasembada Tanpa Biaya
Jika harga kedelai Rp 8.500 per kilogram terjaga
sampai panen raya, Indonesia pasti dapat mengakselerasi swasembada kedelai
tanpa biaya. Ketergantungan terhadap kedelai impor juga dapat dihentikan
sehingga terjadi penghematan devisa yang sangat besar.
Kedelai Indonesia dapat bersaing dengan kedelai
impor bahkan jika ekstensifikasi melalui redistribusi lahan dapat
dimaksimalkan, Indonesia bisa menjadi salah satu eksportir kedelai dunia.
Kedelai menjadi kompetitif dibandingkan padi dan jagung sehingga bukan menjadi
pilihan komoditas terakhir yang diusahakan.
Yang terjadi selama ini, produktivitas
tanaman kedelai rendah, hanya 1,5 ton per hektar, dan saat panen harganya hanya
Rp 3.000 per kilogram. Hamanya ada 29 jenis sehingga boros pestisida dan mahal
biaya pemeliharaannya.
Hanya dengan rasio harga kedelai lebih dari
dua kali lipat harga gabah maka petani kedelai akan bangkit. Rasio harga
komoditas pangan ini harus diatur pemerintah melalui optimasi peran Bulog
apabila swasembada padi, jagung, dan kedelai akan dilakukan secara simultan.
Peningkatan produktivitas kedelai menjadi di
atas 2 ton per hektar akan mendorong kedelai nasional menjadi tuan rumah di
negeri sendiri. Sentra kedelai di Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan NTB dapat bangkit secara alamiah.
Edukasi publik mutlak dilakukan untuk
membangun nasionalisme perajin dan konsumen tahu dan tempe Indonesia dengan
memaksimalkan penggunaan bahan baku kedelai lokal. Pencerahan tentang kualitas
kedelai, keamanan pangan dan hayati, harga, serta kedaulatan pangan menjadi pintu
masuknya.
Kedelai lokal dipastikan mutunya jauh lebih
bagus dibandingkan kedelai impor karena kesegarannya, tanpa pest treatment,
sehingga terbebas dari unsur racun. Indikatornya, perusahaan multinasional
banyak beralih menggunakan kedelai lokal sebagai bahan baku. Kedelai impor
umumnya merupakan stok lama sehingga dalam penyimpanannya ada perlakuan untuk
pengendalian hama gudang. Selain rasanya kurang lezat juga mengandung residu
bahan kimia yang tidak menyehatkan. Kita bisa membedakan dengan uji indera
(organoleptik) rasa susu kedelai yang segar dibandingkan susu kedelai yang
diimpor.
Sementara dari sisi keamanan pangan dan
hayati, kedelai lokal yang nontransgenik dipastikan jauh lebih aman
dibandingkan kedelai impor yang hampir semuanya transgenik. Dampak jangka
panjang produk transgenik terhadap kesehatan masih dipertanyakan. Itulah alasan
Uni Eropa secara tegas melarang produk transgenik masuk ke kawasan tersebut.
Nasionalisme Konsumen
Mengapa konsumen kita tidak memilih produk
lokal, tetapi kekeuh makan kedelai
transgenik yang belum jelas keamanan pangan dan hayatinya? Melambungnya harga
kedelai impor merupakan momentum ideal untuk mengurangi ketergantungan terhadap
produk transgenik impor.
Para perajin dan konsumen tahu dan tempe
harus tahu bahwa kedelai impor sarat insentif, subsidi, dan proteksi. Semua itu
sengaja dirancang untuk mengalahkan kompetitor produsen kedelai siapa pun, di
mana pun, sampai kapan pun.
Fasilitas yang dinikmati produsen kedelai
impor, antara lain: insentif biaya produksi, asuransi, bahkan pembayarannya ada
tenggat satu tahun dan tanpa bunga. Harga asimetris yang terkandung dalam
komponen harga kedelai impor sangat tidak adil jika dibenturkan dengan kedelai
produksi dalam negeri yang berjuang sendiri tanpa subsidi harga.
Pemerintah harus mengembalikan kedelai
sebagai komoditas yang disubsidi sehingga harganya menjadi rasional bagi
produsen dan kompetitif terhadap kedelai impor. Menyerahkan kedelai kepada
mekanisme pasar yang sangat absurd merupakan bentuk kekerasan pemerintah
terhadap petaninya.
Fanatisme konsumen tahu- tempe berbahan
kedelai lokal harus dibangkitkan. Mengonsumsi tempe dan tahu berbahan kedelai
impor secara tak langsung berarti melakukan pembantaian terstruktur dan
berkelanjutan atas nasib petani kedelai dalam negeri. Pembelaan terhadap nasib
petani kedelai Indonesia dari gempuran kedelai impor adalah syarat mutlak
menuju kedaulatan pangan.
Petani kedelai sudah lama tertindas dan
teraniaya. Perlawanan terhadap kedelai impor dapat terjadi jika semua pemangku
kepentingan tak terpecah belah karena ingin menikmati rente dari impor kedelai.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar