Dilema
Utang-Piutang
Helmy Akbar ; Anggota Asosiasi Peneliti dan Pemerhati
Sumber Daya Perairan dan Lingkungan IPB |
SUARA
KARYA, 28 Agustus 2012
Pertemuan kelompok negara G-20, belum lama ini telah menyepakati
usulan Indonesia mengenai pembiayaan infrastruktur untuk mendukung program
pembangunan ekonomi global. Memang sesuai dugaan sebelumnya bahwa pertemuan
tersebut tidak lain sebagai upaya menghimpun kekuatan dan sumber dana dari negara-negara
berkembang dan miskin untuk menyelamatkan dunia akibat krisis Eropa.
Sebelumnya. krisis ini telah didahului oleh krisis subprime mortage-nya adidaya
AS.
Pembiayaan infrastruktur dinilai penting dalam mendukung proyek
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Pembiayaan yang besar dibutuhkan untuk mendanai proyek ini sehingga tidak
sepenuhnya bisa dibiayai dengan pendanaan domestik tetapi memerlukan dukungan
kalangan swasta, baik dalam negeri maupun asing.
Asian Development Bank (ADB) sendiri sebagai
pihak kreditor telah menyiapkan komitmen pengadaan utang baru senilai 2,5
miliar dolar AS. Dana bertajuk country
partnership strategy ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan inklusif
dan meningkatkan kelestarian lingkungan. ADB akan memfokuskan pinjaman maupun
asistensi pada enam sektor strategis. Yaitu, sektor energi, transportasi,
manajemen sumber daya alam, keuangan, persediaan air bersih dan layanan
perkotaan lainnya, serta sektor pendidikan.
Yang sangat mengherankan, komitmen pemerintah menjadi kreditur
atau pemberi pinjaman kepada IMF karena pernah menjadi pengutang terbesar dari
IMF. Negara tidak tanggung-tanggung memberi pinjaman mencapai satu miliar dolar
AS guna membantu negara-negara dunia yang dilanda krisis. Dengan harapan krisis
Eropa cepat selesai dan tidak menular ke mana-mana. Uang ini, konon, berasal
dari cadangan devisa RI yang sekarang pada posisi 111,52 miliar dolar AS.
Kebijakan berutang maupun berpiutang yang tidak digunakan untuk
kepentingan rakyat, justru dapat melemahkan perekonomian. Alasannya?
Pertama, langkah memberikan piutang kepada IMF terbilang
berbahaya. Kondisi perekonomian Indonesia belum stabil. Dampak melemahnya
ekonomi global mulai terasa. Ekonomi Indonesia pada triwulan I 2012 mulai
melambat (pertumbuhan sekitar 6,3 persen) dibanding triwulan I 2011 sebesar
6,43 persen.
Hanya sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang
masih bisa tumbuh di atas 20,9 persen. Untuk sektor real estate, jasa perusahaan, angkutan dan komunikasi hanya mampu
tumbuh di bawah 2,5 persen. Meski ekonomi masih tumbuh positif, kualitas
ekonomi dengan indikator jumlah pengangguran, jumlah orang miskin dan tingkat
kesejahteraan belum bisa dikatakan baik. Data BPS juga menunjukkan perputaran ekonomi
masih berkutat pada Jawa sebesar 57,50 persen dan Sumatera 23,60 persen.
Dari
sisi penyerapan tenaga kerja, BPS mencatat pada Februari 2012, jumlah angkatan
kerja sebesar 120,4 juta orang dengan penyerapan pasar tenaga kerja 112,8 juta
orang. Artinya, jumlah pengangguran terbuka tercatat 7,6 juta orang atau
berkurang jika dibandingkan pada Agustus 2011 (7,7 juta orang). Penyerapan
tenaga kerja dalam kurun Agustus 2011 hingga Februari 2012 hanya 100.000 orang.
Meski ekonomi tumbuh tidak berdampak signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja.
Kedua, dengan adanya krisis Eropa otomatis kondisi ekonomi jelas
menurun seiring dengan menurunnya nilai ekspor. Angka ekspor sejauh ini bisa
diamankan karena masih adanya permintaan dari negara Asia seperti China dan
India serta negara Eropa seperti Jerman. Namun, faktanya ekonomi kawasan Asia
yang banyak ditopang China dan India juga mulai melamban. Adapun beberapa
perusahaan Jerman pun mulai mengurangi karyawan dengan jalan PHK.
Ketiga, walaupun Vice
President ADB Stephen P Groff menyebutkan utang dari ADB berkurang sebesar
228 juta dolar AS (hingga Maret 2012, total utang dari ADB 11,23 miliar dolar
AS atau sekitar 4,9 persen dari total utang). Nilai utang total negara sejauh
ini terus bertambah. Utang seperti ini jelas akan membebani, malah menghambat
pembangunan. Karena, setiap tahun negara akan disibukkan dengan aktivitas
"gali lobang tutup lobang" bahkan bisa diistilahkan gali terus hingga
lupa kalau harus menutup lobang. Termasuk membayar bunga utangnya.
Utang yang diberikan oleh pihak luar seperti ADB mustahil tanpa
kepentingan. Kucuran utang yang diberikan menuntut imbalan setiap termin
pengucuran. Di antaranya, jika imbalan mensyaratkan perubahan legislasi
terhadap pengelolaan SDA, aturan yang dikeluarkan oleh DPR akhirnya menjadi
sarat nuansa kapitalistik dan menguntungkan si pemberi utang. Misalnya, terkait
kebijakan sektor energi dan mineral, juga SDA lain seperti pengelolaan air.
Negara harus tegas memutus praktik utang yang menguntungkan pihak luar, lalu
menghindarkan dari campur tangan asing dalam pembangunan dan investasi.
Selama ini langkah penyelamatan ekonomi yang dilakukan oleh negara
bersifat reaktif, dan cenderung mengabaikan langkah pembangunan dan penguatan
industri manufaktur strategis. Sebagai permulaan, pemerintah harus memberikan
perhatian lebih besar pada industri bidang manufaktur seperti PT Dirgantara
Indonesia (dulu IPTN), PT Pelni (pelayaran), PT Krakatau Steel (industri baja),
PT Pindad (alat tempur militer), PT. Pertamina, PT Antam, PT Telkom, PT PLN dan
sejenisnya. Serta tidak hanya fokus pada efisiensi dan penjualan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), yang seharusnya menjadi alat negara membangun industri
manufaktur strategis dan selanjutnya membangun infrastruktur.
Sebelum negara berpikir untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang perlu dibenahi adalah visi politik ekonomi perlu didisain lebih
ekspansif dan pro-industrialisasi, dengan mulai melakukan penyelamatan aset
negara, menghapus kepemilikan privat menjadi kepemilikan umum (rakyat) atau
kepemilikan negara pada sektor yang bersifat strategis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar