Berselancar
dalam Gelombang Pesimisme
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
28 Agustus 2012
Setiap kali kata optimisme hendak kita lukis
di kanvas sejarah, selalu saja menerjang badai pesimisme yang menggentarkan.
Setelah sebulan menjalani penempaan olah batin lewat ibadah puasa, kedatangan
Lebaran mestinya memijarkan optimisme akan kesuburan laku hidup yang lebar,
lebur, luber, dan labur (kupat, laku empat).
Namun, modus keagamaan yang kita rayakan
masih berselancar di permukaan formalisme peribadatan tanpa kesanggupan
menggali kedalaman yang suci. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual,
keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras; tak memiliki kepekaan-perenungan,
kehangatan welas asih, daya-daya penyembuhan, serta perubahan dalam berhubungan
dengan Sang Khalik dan makhluk-Nya.
Lebaran yang mestinya memancarkan sikap
kejiwaan yang lebar terciutkan oleh bayangan kesempitan perlindungan dan
pelayanan publik. Hasrat warga untuk pulang kampung demi memulihkan daya hidup
justru terancam mengorbankan hidup karena keburukan infrastruktur dan standar
keamanan yang menjagal ratusan nyawa manusia.
Gambaran ini bertaut dengan
serangkaian aksi pembunuhan dan kekerasan antarwarga tanpa perlindungan yang
memadai dari aparatur negara. Kehadiran rezim demokrasi tak membuat nyawa
manusia lebih mahal di negeri ini.
Lebaran yang mestinya menghadirkan rasa lebur
dari dosa dengan memijarkan kehendak lebur dengan sesama ternodai oleh aksi-aksi
diskriminasi. Sejauh ini, tak ada cermin yang lebih baik dari kerukunan SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan) di Indonesia seperti perayaan Idul Fitri.
Warga dari berbagai latar suku, agama, ras, dan golongan ikut merayakan Lebaran
sebagai momen karnaval solidaritas multikultural.
Namun, di sela-sela perayaan Lebaran tahun
ini, modal kultural kebangsaan itu dicoba dinistakan oleh kepentingan politik
sempit yang menyerukan kebencian dan pengucilan berbasis kesukuan dan
keagamaan. Tanpa disadari, diskriminasi manusia atas nama SARA merupakan
ekspresi pembangkangan terhadap Tuhan (pencipta segala keragaman).
Lebaran yang mestinya luber dengan pahala
amal-kesalehan tergerus oleh kesemarakan keserakahan korupsi dan kesenjangan
sosial yang kian melebar. Dalam suasana optimisme Lebaran, awan pesimisme
pemberantasan korupsi menghadang dari rebutan kewenangan antara institusi
kepolisian dan KPK yang dibiarkan oleh kepala negara serta dari ironi percobaan
korupsi hakim tindak pidana korupsi sebagai pengadil perkara korupsi.
Luberan amal-kesalehan juga terkuras
tingginya tingkat kesenjangan sosial, terlihat dari angka rasio Gini yang
mencapai 0,41 persen, menandakan kesenjangan tertinggi dalam puluhan tahun
terakhir. Dengan mekanisme luberan redistributif yang tak berjalan secara
fungsional-institusional, luberan rezeki ke tingkat akar rumput di pedesaan
justru dibawa oleh arus mudik buruh urban dan migran dari kalangan rakyat biasa
yang termarjinalkan oleh kebijakan ekonomi pemerintah.
Lebaran yang mestinya melahirkan kondisi
kebatinan manusia yang ”labur”,
bersih dirinya, serta cerah-bercahaya paras dan hatinya justru dikotori oleh
kegelapan hati yang mengatasnamakan agama untuk tujuan-tujuan kebiadaban.
Selang beberapa hari setelah prosesi kembali ke fitrah manusia dengan saling
memaafkan, di Sampang, Madura, sekelompok orang melakukan penganiayaan,
penghancuran permukiman, dan penghilangan nyawa komunitas Syiah. Dalam
peristiwa yang berulang ini, aparatur keamanan justru seperti membiarkan kebrutalan
itu terjadi tanpa proteksi yang semestinya.
Sungguh ironis, semua badai ancaman terhadap
kebaikan dan keadaban publik itu terjadi dalam suasana gegap gempita
sosialisasi Empat Pilar (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Ribuan mil perjalanan dan beragam ikhtiar untuk mengabarkan Pancasila dihabisi
oleh satu tebangan pedang atas nama Tuhan yang dibiarkan negara.
Dengan kehadiran megamendung seperti itu,
yang kita perlukan untuk menyongsong langit harapan bukanlah suatu optimisme yang
buta, melainkan suatu optimisme yang fleksibel—optimisme dengan mata terbuka.
Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan
realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat. Meski
demikian, kita tak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membuat
kita terpenjara dalam ketidakberdayaan.
Pemikiran konvensional
beranggapan bahwa kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan
sebaliknya. Seperti diungkap psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung
mendorong pada kesuksesan. Namun, optimisme harus berjejak pada visi dan
komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanya lamunan kosong.
Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan
warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi
masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas
transformatif kekuasaan dengan mentalitas kepemimpinan yang lebar, lebur,
luber, dan labur.
Politik bisa membawa banyak perbedaan untuk
kebaikan atau keburukan. Dengan angin keburukan yang kita tabur hari ini, masa
lalu menjadi hantu, masa depan menuai badai. Dengan biji kebaikan yang kita
tanam hari ini, masa lalu menjadi lumbung keagungan, masa depan menyongsong
panen kebahagiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar