Reformasi Hukum
Gagal?
Teten Masduki ; Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
29 Agustus 2012
Resistensi Polri terhadap investigasi KPK
dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan simulator kemudi di Korps Lalu
Lintas mencerminkan masalah utama reformasi hukum yang berjalan lamban sejak 14
tahun lalu. Padahal, program reformasi hukum menjadi prioritas, paling banyak
menyedot sumber daya, mendapat sorotan dan dukungan dunia internasional.
Terlalu banyak pihak yang diuntungkan oleh
keadaan hukum yang bobrok. Bukan saja rezim lama yang masih bercokol di
birokrasi, politik, dan bisnis, melainkan juga para politisi produk reformasi
yang perilakunya mereplikasi rezim kleptokrasi lama yang dikritiknya dulu.
Termasuk mereka yang melakukan pelanggaran HAM berat. Namun, hambatan utama
datang dari para mafia hukum itu sendiri.
Kita tahu banyak aparat hukum senior yang
telanjur memiliki rekening gendut. Spirit untuk memulihkan citra lembaga mereka
yang busuk memang sempat muncul dari segelintir aparat pada awal-awal
reformasi, tetapi kemudian tenggelam oleh semangat membela
”korps” dari
mayoritas aparat hitam.
Masalahnya program reformasi
hukum itu lebih fokus membenahi kompetensi kelembagaan seperti sistem manajemen
perkara, sistem merit, revisi peraturan perundang-undangan, tetapi tidak satu
pun pemerintahan pascareformasi yang berani mencopot aparat hukum yang kotor.
Sehingga semua perbaikan kelembagaan itu tidak banyak memberikan dampak positif
di tangan aparat yang kotor.
Pada era pemerintahan Soeharto, lembaga
yudikatif tunduk pada kekuasaan eksekutif. Maka masalah independensi menjadi
target utama reformasi lembaga peradilan. Namun, belakangan asumsi itu tidak
terlalu tepat. Terbukti pada era korupsi transaktif saat ini siapa pun bisa
melumpuhkan hukum asal punya cukup uang, sama halnya dengan kontrak-kontrak
pemerintah akan jatuh kepada penawar paling besar (the highest bidder). Malah karena telanjur dibikin independen,
lembaga pengadilan seperti punya benteng yang tinggi untuk melindungi diri.
Kemajuan bukan berarti tidak ada. Setidaknya
KPK hingga saat ini dan pengadilan tindak pidana korupsi sebelum dua tahun
terakhir ini cukup membanggakan, meskipun terus dikeroyok oleh aparat hukum
konvensional. Hal itu karena keduanya terputus dari mata rantai mafia hukum,
yang sudah menggurita dalam kelembagaan konvensional. Maka tidak nalar kalau
ada penentangan dari kalangan politisi dan praktisi hukum terhadap strategi
pembenahan hukum seperti ini. Secara teori, jangkar gerakan antikorupsi harus
dilakukan dari luar ketika keinginan untuk berubah dari internal tidak muncul.
Konservatif
Dunia advokat pada awal tahun
1970-an,
yang dicatat Indonesianis masyhur, Profesor Daniel S Lev, memiliki jejak rekam menakjubkan dalam pembaruan hukum
yang di antaranya melahirkan gerakan bantuan hukum dengan tokoh Adnan Buyung
Nasution, Yap Thiam Hien, salah seorang motor penggeraknya. Namun, pada era reformasi tidak banyak gerakan pembaruan
hukum yang dimotori organisasi advokat yang bisa dicatat. Yang mencolok malah
kantor-kantor advokat kebanjiran rezeki kasus-kasus korupsi dan bisnis yang
dibongkar oleh gerakan reformasi, yang suka tidak suka menempatkan mereka
berada di seberang arus perubahan. Meskipun ini soal pilihan, ada juga
sedikit advokat yang konsisten tidak mau menangani kasus korupsi.
Asas profesionalitas dan kesamaan semua orang
di depan hukum adalah alasan yang sering dikemukakan para advokat ketika
membela kasus-kasus korupsi. Dengan alasan yang sama barangkali para ahli hukum
di kampus sulit menolak tawaran sebagai penasihat atau saksi ahli dari firma
hukum bonafide ketika menangani
kasus-kasus yang melibatkan pejabat tinggi atau konglomerat.
Kontradiksi nilai selalu menjadi perdebatan
panjang dalam dunia kepengacaraan menyangkut sumber pembayaran yang mereka
terima yang berasal dari kejahatan yang dibelanya.
Profesi advokat memang diperlukan. Peristiwa
hukum adalah masalah yang kompleks, ada sebab dan akibat sehingga selalu ada
celah-celah atau faktor-faktor yang bisa dijadikan alasan untuk meringankan
pelaku kejahatan sebesar apa pun.
Namun, dalam pembelaan terhadap kliennya,
yang kadang tidak terbatas di ruang pengadilan, cenderung konservatif terhadap
upaya-upaya pembaruan hukum yang diperlukan.
Tidak ada gerakan yang kuat dan masif dari
para ahli serta praktisi hukum untuk mengadopsi asas pembuktian terbalik atau
asas retroaktif dalam revisi undang-undang tindak pidana korupsi, penerapan
prinsip free bargaining atau free agreement dalam pembuatan
undang-undang perlindungan saksi, yang semuanya dipercaya secara empiris sangat
efektif untuk memerangi kejahatan terorganisasi seperti korupsi.
Resistensi
Belakangan ada resistensi
sangat kuat dari para praktisi hukum dan politisi di DPR dalam penerapan
undang-undang pencucian uang terhadap kasus-kasus korupsi.
Hingga hari ini tak sedikit
yang masih berpandangan bahwa pembentukan KPK di luar sistem serta memasalahkan
kewenangan penuntutan KPK. Padahal, kehadiran lembaga-lembaga state auxiliary body semacam itu di mana
saja telah lumrah menyubstitusi kelembagaan konvensional guna mengatasi
kejahatan-kejahatan modern yang sudah mengakar dalam institusi konvensional itu
sendiri.
Termasuk di negara-negara maju yang sistem demokrasinya sudah berjalan dengan
baik.
Fakultas hukum harus mengambil tanggung jawab
terhadap keadaan hukum yang dalam beberapa tahun belakangan ini menduduki
peringkat terburuk di antara negara tetangga.
Barangkali kampus harus melengkapi kemampuan
teknis para mahasiswanya dengan nilai-nilai idealisme profesi, keadilan, dan
kemanusiaan sehingga mereka tidak memperkuat mafia hukum.
Gagasan-gagasan pembaruan sistem hukum
nasional mestinya datang dari fakultas hukum. Bagi masyarakat awam, sistem
hukum apa yang mau dianut tidaklah penting, mau kucing belang atau putih asal
bisa menangkap tikus.
Seperti kata almarhum Profesor
Satjipto Rahardjo, hukum harus mengabdi untuk menghadirkan kesejahteraan
manusia, bukan sebaliknya manusia mengabdi pada hukum seperti menyembah berhala. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar