Pengakuan dan
Permintaan Maaf
Mugiyanto ; Penyintas pada Peristiwa Penculikan
Aktivis Pro Demokrasi
Tahun 1998, Saat ini Ketua
IKOHI
|
SINAR
HARAPAN, 27 Agustus 2012
Selama sebulan terakhir, isu penegakan HAM
diwarnai dengan perdebatan tentang perlu tidaknya Presiden sebagai kepala
negara menyampaikan permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM yang
terjadi di masa lalu.
Pemicunya adalah dikeluarkannya laporan hasil
penyelidikan Komnas HAM tentang kasus tragedi kemanusiaan sekitar 1965-1967.
Dalam laporan setebal hampir 1.000 halaman
tersebut, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM
berat dalam bentuk pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, perampasan
kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara
paksa. Selanjutnya, Komnas HAM merekomendasikan Jaksa Agung untuk
menindaklanjutinya dengan penyidikan dan penyelesaian nonjudisial (KKR).
Sebelumnya, setidaknya selama tiga tahun
terakhir, di kalangan korban pelanggaran HAM telah beredar berita bahwa
Presiden SBY akan segera mengeluarkan sebuah kebijakan politik untuk
menyelesaikan pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu.
Berita ini diperkuat dengan adanya beberapa
kali pertemuan antara beberapa NGO HAM dengan Presiden SBY dan pejabat-pejabat
terkait seperti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko
Polhukam), Menteri Hukum dan HAM, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum dan HAM,
serta anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum dan HAM.
Akan tetapi, lama-kelamaan berita itu memudar seiring banyaknya kasus-kasus
baru yang lebih menyita perhatian publik, terutama kasus korupsi para pejabat
publik.
Kemudian pada awal tahun ini, angin segar
kembali berhembus. Albert Hasibuan, anggota Wantimpres bidang Hukum dan HAM
menghembuskan kabar melalui berbagai media bahwa Presiden SBY berencana untuk
meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Perkembangan ini lantas direspons oleh
beberapa tokoh, antara lain adalah rohaniwan Franz Magnis-Suseno, yang melalui
tulisannya di harian Kompas, mengatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi Presiden
SBY minta maaf pada korban peristiwa 1965 agar kita terbebas dari rasa benci
dan dendam yang merupakan warisan pemerintahan Soeharto.
Secara berturut-turut media yang sama memuat
tulisan Sulastomo, mantan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966 yang menolak
rencana permintaan maaf oleh Presiden SBY, lalu disusul oleh pendapat tokoh HAM
Hendardi dan orang tua korban Sumarsih, ibunda dari mahasiswa korban peristiwa
penembakan di Semanggi yang mengatakan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup.
Polemik yang muncul di publik ini kemudian
direspons kembali oleh Watimpres Albert Hasibuan dengan penegasan baru bahwa
permintaan maaf tersebut merupakan entry
point bagi penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa lalu.
Negara Lain
Dengan tetap berharap bahwa kebijakan
permintaan maaf (public apology)
tersebut pada akhirnya akan diambil oleh Presiden SBY, akan berguna bagi kita
untuk melihat bagaimana permintaan maaf ini juga pernah diambil oleh banyak
kepala negara yang beberapa di antaranya akan penulis contohkan dalam tulisan
ini.
Pada 7 Desember 1970, Kanselir Jerman Barat
Willy Brandt mengunjungi sebuah tugu peringatan para korban Rezim Nazi di
Warsawa Polandia. Di sana Willy Brandt berlutut dan atas nama pemerintahan
Jerman ia meminta maaf atas tragedi yang dilakukan oleh Nazi pada orang-orang
Polandia. Tindakan Kanselir Brandt ini memicu polemik.
Selain mendapatkan dukungan luas dari rakyat
Jerman, ada juga warga Jerman yang lain yang menganggap langkah itu berlebihan
dan tidak patriotik.
Namun yang jelas, sebagai kepala negara ia
telah menunjukkan sikapnya bahwa tindakan kejahatan perang dan genosida seperti
yang pernah dilakukan oleh Nazi Jerman tidak boleh ditoleransi. Tindakan
tersebut juga merupakan pendidikan politik bagi anak-anak dan kaum muda saat
itu yang selanjutnya bisa menumbuhkan rekonsiliasi di antara warga dua negara
seperti yang kita lihat pada hari ini.
Contoh lain yang relatif baru adalah
permintaan maaf oleh Presiden El Salvador Mauricio Funes pada 16 Januari 2012.
Dalam sebuah peringatan peristiwa pembantaian di Kota El Mozote, El Salvador,
pada 1981, Presiden Mauricio Funes atas nama negara meminta maaf kepada para
korban dan keluarganya dan mengakui bahwa pemerintahlah yang bertanggung jawab
atas pembantaian tersebut.
Dalam suasana yang dilaporkan berbagai media
sangat emosional, dengan mata berkaca-kaca dan kata-kata yang terputus-putus,
Mauricio Funes mengatakan bahwa sebagai kepala negara ia berani dan harus
mengambil tanggung jawab yang ditinggalkan oleh pendahulunya.
Tidak hanya berhenti pada permintaan maaf dan
mengakui kesalahan, Presiden Funes juga menunjukkan tanggung jawab dengan
memenuhi hak-hak korban atas pemulihan (rights to reparation), termasuk
memorialisasi dan skema-skema rehabilitasi serta kompensasi.
Momentum
Dalam konteks Indonesia, bagaimana kita
hendaknya menempatkan langkah permintaan maaf oleh negara ini? Dalam bukunya
yang berjudul Apologia Politica; States
and Their Apologies by Proxy, 2006, Girma Negash, mengatakan bahwa
permintaan maaf secara politik oleh negara biasanya berhubungan dengan usaha
penyelesaian (remedies) dan pemulihan
korban (redress) atas ketidakadilan
dan kekerasan sejarah yang berskala besar.
Di sinilah tampaknya rencana Presiden SBY
untuk menyampaikan permintaan maaf atas nama negara telah menemukan momentum
objektifnya. Oleh karena itu, dengan pernyataan Watimpres Albert Hasibuan bahwa
permintaan maaf atau apologi ini baru merupakan entry point bagi diselesaikannya pelanggaran berat HAM masa lalu
maka rencana langkah ini perlu didukung oleh semua pihak.
Namun demikian, sebagaimana ditegaskan oleh
para korban dan pembela HAM, permintaan maaf saja tidak cukup. Ia harus
dibarengi dan diikuti oleh langkah-langkah lain. Ini karena bila hanya berhenti
pada permintaan maaf, maka ia hanya akan menjadi ungkapan pengingkaran (denial) dan ketidakbertanggungjawaban (irresponsibility), yang karenanya tidak
akan menyelesaikan masalah.
Hal seperti ini pernah dilakukan oleh
pemimpin Khmer Merah Khieu Samphan pada 1998 dalam sebuah permintaan maaf resmi
yang disampaikan kepada rakyatnya atas pembantaian massal yang pernah dilakukan
oleh rezim Pol Pot pada 1970-an. Di situ Khieu Samphan hanya mengatakan, ”Saya
ingin minta maaf pada rakyat saya. Mari kita lupakan masa lalu dan maafkanlah
saya”, tanpa tindak lanjut apa pun.
Tidak terlalu berbeda dengan prinsip-prinsip transitional justice, Girma Negash
menyebutkan bahwa setidaknya terdapat empat syarat minimal yang harus dipenuhi
agar permintaan maaf oleh negara bisa berhasil dalam menciptakan penyembuhan (healing) dan rekonsiliasi.
Keempat syarat tersebut adalah pengakuan (acknowledgement), pengungkapan kebenaran
(truth-telling), pertanggungjawaban (accountability), dan penyesalan publik (public remorse) (Girma Negash, 2006).
Kini praktis Presiden SBY hanya punya waktu
dua tahun untuk mewujudkan janjinya. Bila tidak dimulai dari sekarang,
dikhawatirkan Presiden SBY hanya akan mampu melaksanakan komitmen verbalnya itu
hanya dengan mengucapkan kata ”maaf” saja sebelum waktunya habis.
Sebagai sebuah entry point bagi penyelesaian menyeluruh, permintaan maaf resmi
harus dilakukan secepatnya sehingga masih ada sedikit waktu untuk kerja-kerja
lanjutan berupa pengungkapan kebenaran, pertanggungjawaban hukum, dan pemenuhan
hak-hak korban atas pemulihan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar