Iri, Dengki, dan
Culas dalam Kampanye
M Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia
|
SINDO,
27 Agustus 2012
Bharatayudha
itu perang besar yang sangat menentukan. Bagi pihak Kurawa, mereka harus menang
dalam perang ini untuk melanjutkan penguasaan negara yang bukan milik mereka
sepenuhnya.
Jadi
perang itu dimaksudkan untuk memperkukuh kejahatan mereka. Bagi Pandawa lain
lagi semangatnya. Bharatayudha merupakan momentum menegakkan kebenaran,
membasmi sifat iri, dengki, culas, dan segenap corak kejahatan di muka bumi.
Merebut kembali negeri mereka hanya akibat lebih lanjut dari perjuangan suci
melawan kebatilan itu. Ini jihad sejati. Syahdan, pada suatu hari Krisna melancarkan
perang urat syaraf, menyebarkan berita yang didengar di seluruh medan kurusetra
bahwa Aswatama mati.
Berita itu mengguncang jiwa Durna. Senapati Agung pihak Kurawa itu kehilangan konsentrasi karena Aswatama anaknya: anak satu-satunya. Durna mencari kejelasan kepada Bima, dan Bima mengatakan betul, Aswatama mati semalam. Durna bertanya pula kepada Arjuna, dan jawabnya sama: betul, Aswatama mati semalam. Durna hancur. Tapi di dalam lubuk hatinya masih ada sepercik keraguan. Maka dia mencari Puntadewa, manusia suci, yang tak pernah berbohong.
Pada detik itu Krisna sedang membujuk agar Puntadewa mau berbohong jika sebentar lagi Durna bertanya kepadanya.Tapi, Puntadewa menggeleng. “Lakukan sekali ini saja” “Bohong sekali sama dengan bohong ribuan kali.” Jawab Puntadewa. “Ini bohong yang baik,” “Tak ada bohong yang baik.”Jawab Puntadewa. “Ini demi kemenangan Pandawa.” Krisna meyakinkan. “Kalau kemenangan itu syaratnya saya harus bohong, lebih baik Pandawa kalah. Tak ada indahnya kemenangan jika di dalamnya terdapat kebohongan.” Jalan tengah ditemukan.
Kalau ditanya Durna, apa benar Aswatama mati, Puntadewa harus menjawab pelan bahwa yang mati “Gajah Estitomo”, bukan Aswatama. Tapi, suara itu membuat Durna, yang sudah kacau balau, menganggap bahwa anaknyalah yang mati. Kejujuran Puntadewa tak ternoda. Dia memang tak punya sifat iri, dengki, culas, dan bohong. Dia lurus seperti penggaris. Lain lagi dengan sifat para politisi dan birokrat kita, yang menganggap iri, dengki, culas, dan bohong sebagai perkara biasa.
Dalam setiap kampanye, juga kampanye Pemilihan Gubernur DKI saat ini, warna iri, dengki, culas, dan bohong menyebar. Orang beragama, yang ke sana ke mari sengaja menampakkan tanda-tanda kesalehan, agar publik kagum kepadanya, melakukan kebohongan dengan enteng. Kampanye hanya pertarungan memperebutkan jabatan. Pertaruhannya hanya sederhana dan kecil: jabatan. Kita tahu, jabatan itu barang duniawi. Masa jabatan hanya lima tahun. Tak ada yang kekal sedikit pun di sana. Ini bukan Bharatayudha.
Jadi mengapa segala cara ditempuh untuk memenangkan jabatan duniawi, jabatan yang fana? Mengapa strategi memojokkan pihak lain di tempuh dengan isu agama? Apa para pejabat yang seagama dengan kita selama ini mampu menjaga amanah? Apa yang selama ini menjabat, tak mengkhianati mandat rakyat? Mana kesejahteraan bagi rakyat, yang diamanatkan oleh konstitusi? Apa orang beragama yang ingin dikesankan saleh itu bisa menjaga mandat konstitusi dengan kesalehannya?
Gubernur bukan jabatan ketua tarekat, bukan ketua majelis zikir, bukan pemimpin pesantren, bukan mualim, yang menyampaikan pengajaran moral dan merawat rohani jamaah. Pak Henk Ngantung pernah menjadi gubernur yang baik. Banyak jabatan menteri diberikan kepada mereka yang tak seagama dengan mayoritas, dan itu bukan noda,melainkan sebaliknya: kebaikan dalam tatanan di negara Pancasila.
Kampanye, pendeknya, bukan perang suci. Kampanye bukan pula pembukaan bagi sebuah perang suci yang bakal terjadi kemudian. Kampanye itu pentas rasional, untuk meraih jabatan politik,dengan moralitas yang jelas.Kejujuran dibentang luas, lahir dan batin. Keadilan dipamerkan bukan untuk pameran, melainkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa sifat adil, yang begitu mulia di dalam Islam, menjadi bagian dari jiwa kita, sikap kita, dan tindakan-tindakan kita.
Sifat adil yang mulia dan ditinggikan di dalam Islam tadi kita jadikan sila kelima dalam Pancasila. Lalu, apa gunanya hal itu diajarkan dalam agama dan menjadi dasar negara kita kalau kita mengabaikannya? Apa keadilan dirumuskan hanya untuk dikhianati dalam kampanye pemilu macam ini? Iri, dengki, culas, bohong, dan fitnah, yang diumbar untuk memojokkan lawan politik, dengan sendirinya membuat lawan politik terpojok. Jago boleh cemas, boleh kelihatan gugup.
Tapi para penasihat, anggota tim pemenangan, apalagi penasihat rohaniah, tak boleh ikut kalap. Mereka harus menjadi benteng dari kemungkinan tindakan culas, iri, dengki, dan bohong. Suara moral, suara hati nurani, yang cenderung memihak kebenaran, wajib didengar. Apa pun agamanya moralitas dan nilai-nilai universal yang kita junjung tinggi harus disuarakan. Jago boleh tergoda untuk melakukan kejahatan kampanye dan pemilu. Tapi para pendamping, apalagi para rohaniwan, hendaknya melarang.
Kalau keculasan demi keculasan, ancaman demi ancaman, kedengkian demi kedengkian dikembangkan macam sekarang ini, apa gunanya tim pemenangan, yang logika politiknya seharusnya rasional dan adil? Kalau kekerasan dan kedengkian dibiarkan dan sengaja dilakukan buat memojokkan lawan politik, apa gunanya penasihat rohaniah yang seharusnya berbicara tentang hati nurani dan moralitas? Apa gunanya orang rohani bila ia tak punya cara memberi contoh kepada publik bahwa di balik politik ada rohani?
Apa gunanya iman, dan agama,yang bicara kemuliaan jiwa, kebersihan hati, dan keluhuran budi pekerti jika kita menempuh kampanye dengan segala cara dan menghalalkan barang batil? Mengapa tak muncul kesadaran rohaniah yang membisikkan: apa gunanya kemenangan bila kemenangan ditempuh dengan cara bohong, iri, dengki,dan culas? ●
Berita itu mengguncang jiwa Durna. Senapati Agung pihak Kurawa itu kehilangan konsentrasi karena Aswatama anaknya: anak satu-satunya. Durna mencari kejelasan kepada Bima, dan Bima mengatakan betul, Aswatama mati semalam. Durna bertanya pula kepada Arjuna, dan jawabnya sama: betul, Aswatama mati semalam. Durna hancur. Tapi di dalam lubuk hatinya masih ada sepercik keraguan. Maka dia mencari Puntadewa, manusia suci, yang tak pernah berbohong.
Pada detik itu Krisna sedang membujuk agar Puntadewa mau berbohong jika sebentar lagi Durna bertanya kepadanya.Tapi, Puntadewa menggeleng. “Lakukan sekali ini saja” “Bohong sekali sama dengan bohong ribuan kali.” Jawab Puntadewa. “Ini bohong yang baik,” “Tak ada bohong yang baik.”Jawab Puntadewa. “Ini demi kemenangan Pandawa.” Krisna meyakinkan. “Kalau kemenangan itu syaratnya saya harus bohong, lebih baik Pandawa kalah. Tak ada indahnya kemenangan jika di dalamnya terdapat kebohongan.” Jalan tengah ditemukan.
Kalau ditanya Durna, apa benar Aswatama mati, Puntadewa harus menjawab pelan bahwa yang mati “Gajah Estitomo”, bukan Aswatama. Tapi, suara itu membuat Durna, yang sudah kacau balau, menganggap bahwa anaknyalah yang mati. Kejujuran Puntadewa tak ternoda. Dia memang tak punya sifat iri, dengki, culas, dan bohong. Dia lurus seperti penggaris. Lain lagi dengan sifat para politisi dan birokrat kita, yang menganggap iri, dengki, culas, dan bohong sebagai perkara biasa.
Dalam setiap kampanye, juga kampanye Pemilihan Gubernur DKI saat ini, warna iri, dengki, culas, dan bohong menyebar. Orang beragama, yang ke sana ke mari sengaja menampakkan tanda-tanda kesalehan, agar publik kagum kepadanya, melakukan kebohongan dengan enteng. Kampanye hanya pertarungan memperebutkan jabatan. Pertaruhannya hanya sederhana dan kecil: jabatan. Kita tahu, jabatan itu barang duniawi. Masa jabatan hanya lima tahun. Tak ada yang kekal sedikit pun di sana. Ini bukan Bharatayudha.
Jadi mengapa segala cara ditempuh untuk memenangkan jabatan duniawi, jabatan yang fana? Mengapa strategi memojokkan pihak lain di tempuh dengan isu agama? Apa para pejabat yang seagama dengan kita selama ini mampu menjaga amanah? Apa yang selama ini menjabat, tak mengkhianati mandat rakyat? Mana kesejahteraan bagi rakyat, yang diamanatkan oleh konstitusi? Apa orang beragama yang ingin dikesankan saleh itu bisa menjaga mandat konstitusi dengan kesalehannya?
Gubernur bukan jabatan ketua tarekat, bukan ketua majelis zikir, bukan pemimpin pesantren, bukan mualim, yang menyampaikan pengajaran moral dan merawat rohani jamaah. Pak Henk Ngantung pernah menjadi gubernur yang baik. Banyak jabatan menteri diberikan kepada mereka yang tak seagama dengan mayoritas, dan itu bukan noda,melainkan sebaliknya: kebaikan dalam tatanan di negara Pancasila.
Kampanye, pendeknya, bukan perang suci. Kampanye bukan pula pembukaan bagi sebuah perang suci yang bakal terjadi kemudian. Kampanye itu pentas rasional, untuk meraih jabatan politik,dengan moralitas yang jelas.Kejujuran dibentang luas, lahir dan batin. Keadilan dipamerkan bukan untuk pameran, melainkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa sifat adil, yang begitu mulia di dalam Islam, menjadi bagian dari jiwa kita, sikap kita, dan tindakan-tindakan kita.
Sifat adil yang mulia dan ditinggikan di dalam Islam tadi kita jadikan sila kelima dalam Pancasila. Lalu, apa gunanya hal itu diajarkan dalam agama dan menjadi dasar negara kita kalau kita mengabaikannya? Apa keadilan dirumuskan hanya untuk dikhianati dalam kampanye pemilu macam ini? Iri, dengki, culas, bohong, dan fitnah, yang diumbar untuk memojokkan lawan politik, dengan sendirinya membuat lawan politik terpojok. Jago boleh cemas, boleh kelihatan gugup.
Tapi para penasihat, anggota tim pemenangan, apalagi penasihat rohaniah, tak boleh ikut kalap. Mereka harus menjadi benteng dari kemungkinan tindakan culas, iri, dengki, dan bohong. Suara moral, suara hati nurani, yang cenderung memihak kebenaran, wajib didengar. Apa pun agamanya moralitas dan nilai-nilai universal yang kita junjung tinggi harus disuarakan. Jago boleh tergoda untuk melakukan kejahatan kampanye dan pemilu. Tapi para pendamping, apalagi para rohaniwan, hendaknya melarang.
Kalau keculasan demi keculasan, ancaman demi ancaman, kedengkian demi kedengkian dikembangkan macam sekarang ini, apa gunanya tim pemenangan, yang logika politiknya seharusnya rasional dan adil? Kalau kekerasan dan kedengkian dibiarkan dan sengaja dilakukan buat memojokkan lawan politik, apa gunanya penasihat rohaniah yang seharusnya berbicara tentang hati nurani dan moralitas? Apa gunanya orang rohani bila ia tak punya cara memberi contoh kepada publik bahwa di balik politik ada rohani?
Apa gunanya iman, dan agama,yang bicara kemuliaan jiwa, kebersihan hati, dan keluhuran budi pekerti jika kita menempuh kampanye dengan segala cara dan menghalalkan barang batil? Mengapa tak muncul kesadaran rohaniah yang membisikkan: apa gunanya kemenangan bila kemenangan ditempuh dengan cara bohong, iri, dengki,dan culas? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar