Opsi Intervensi
Militer
Ibnu Burdah ; Pemerhati masalah Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 28 Agustus 2012
PENYELESAIAN konflik dan kekerasan
di Suriah makin condong ke arah intervensi militer. Kekuatan-kekuatan yang
mendukung penyelesaian melalui cara itu sepertinya makin padu. Dua negara awal
pemprakarsa, Qatar dan Arab Saudi, makin kencang mendesakkan opsi menjatuhkan
Asad lewat cara tersebut. Melalui dua tokoh utama yang menjadi motor
negara-negara Arab pendukung intervensi, Hamad bin Jassim dan Bandar bin
Sultan, dua negara itu menegaskan tidak ada opsi tersisa untuk menyelesaikan
persoalan kemanusiaan di Suriah, kecuali melalui ofensif militer.
Dua negara itu sejak awal selalu
menggunakan terminologi kemanusiaan dan demokrasi untuk menjatuhkan rezim Assad
kendati dua negara itu juga nol besar dalam dua hal tersebut. Di luar persoalan
kemanusiaan yang memang sudah di luar batas di Suriah, sebagai orang awam
penulis meyakini dua negara itu sejak lama memang memiliki keinginan kuat
menjatuhkan rezim Assad. Strategi membendung arus dan berperang di luar
negaranya adalah strategi terpenting mereka menghadapi kemungkinan bergolaknya
perlawanan rakyatnya sendiri.
Seruan terus-menerus dua negara
itu kepada kekuatan besar dunia kini mulai memperoleh sambutan berarti,
terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Di lapangan,
negara-negara yang berbatasan dengan Suriah, terutama Turki dan Yordania, juga
tengah mempersiapkan kekuatan dalam skala berbeda di perbatasan kendati
keduanya kadang tampak mendua dalam berbagai pernyataan Apakah opsi intervensi
militer itu akan benar-benar diambil dan dilaksanakan sebagaimana di Libia?
Pemberitaan menunjukkan situasi
di Suriah sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Pembunuhan dalam skala intensif
dan terus-menerus, kekerasan, perusakan skala luas, dan tercerainya hubungan
sosial menunjukkan terjadinya bencana kemanusiaan di negeri itu. Banjirnya
pengungsi ke semua arah perbatasan, kecuali Israel, menambah deretan
persoalan.
Sementara solusi politik yang
diupayakan berbagai pihak menemui jalan buntu. Perkembangan terakhir, solusi
model Yaman diusulkan namun langsung ditolak oleh rezim Assad dan pendukungnya.
Kekeliruannya, pengusul adalah Qatar dan Saudi, dua negara yang sejak awal
memusuhi rezim Assad dan keduanya sejak semula sepertinya tidak menerima solusi
apa pun kecuali jatuhnya Assad.
Al-Jazeera dan al-Arabiyyah versi
Arab dan internasional, dua televisi berpengaruh yang bermarkas di Qatar dan
Arab Saudi, memang menjadi media yang secara agresif mempromosikan seruan
intervensi itu. Ceritanya barangkali akan lain jika yang mengusulkan Iran, atau
negara-negara Arab yang lebih netral, seperti Irak, Libanon, dan pada tingkat
tertentu Mesir.
Perang Kawasan
Dua fakta itu, kegagalan
diplomasi dan situasi di lapangan yang tidak bisa diterima, menjadi alasan kuat
diambilnya opsi intervensi. Di dunia internasional yang digenangi nilai-nilai humanitarian
seperti sekarang, batas-batas teritorial kedaulatan negara tentu tidak sakral
lagi bagi intervensi untuk kemanusiaan ketika negara itu dipandang justru
melanggar HAM warganya. Kini, pernyataan politik negara-negara pendukung itu
mirip orkestra, yang nada utamanya adalah lakukan intervensi militer untuk
menjatuhkan rezim Assad secepat mungkin, memperoleh momentumnya.
Namun jika opsi tersebut
benar-benar diambil tidak akan dibayar dengan murah. Penyebab utamanya adalah
intervensi militer ke Suriah berisiko melibatkan Iran dan kekuatan-kekuatan
kelompok yang disebut sebagai poros perlawanan yang tersebar di Timur Tengah,
terutama kelompok Syiah. Menyimak pernyataan para pemimpin Iran, Hizbullah,
Houtsi dan lain-lainnya, mereka masih cukup padu memandang intervensi
menjatuhkan Assad berarti memotong tangan-tangan kekuatan perlawanan di Timur
Tengah. Dukungan China dan Rusia juga tidak bisa diremehkan kendati kecil
kemungkinan mereka terlibat di lapangan secara langsung.
Intinya, intervensi militer terhadap
rezim Assad sangat potensial menyulut perang kawasan yang selama ini paling
dikhawatirkan. Intervensi menjatuhkan Assad itu, jika dilaksanakan bisa dengan
cepat bergeser isu menjadi perang kelompok pendukung Barat versus kelompok
perlawanan atau Sunni versus Syiah. Perang dingin dan proxy antardua kekuatan itu selama ini, termasuk di Irak dan
Bahrain, akan berubah cepat menjadi konflik terbuka. Apalagi jika intervensi
itu berubah isu menjadi perang Syiah versus Sunni maka bukan hanya Libanon,
Irak, Yaman, Saudi, dan Bahrain yang akan bergolak namun juga sebagian besar
dunia Islam yang memiliki minoritas Syiah.
Dampak luas, masif, dan dalam ini
seharusnya juga menjadi pertimbangan dalam memutuskan opsi intervensi terhadap
Suriah. Jika tujuannya untuk penyelamatan kemanusiaan sebagaimana dinyatakan,
perang kawasan dipastikan tidak akan mewujudkan tujuan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar