Tragedi Syiah
Sampang, Kesalahan Pemerintah,
dan Apa
Solusinya?
Mohamad Guntur Romli ; Pengamat Masalah Sosial Keagamaan
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Agustus 2012
PENYERANGAN
terhadap komunitas Syiah di Omben, Sampang, yang mengakibatkan korban jiwa dan
luka-luka serta puluhan rumah dibakar semakin menambah deretan kelam tragedi
kekerasan berbasis agama di negeri ini. Ironisnya, peristiwa brutal ini terjadi
satu minggu setelah Idul Fitri, sebuah momen akbar dalam Islam yang menjamin
kembalinya setiap insan pada kesucian azali:
kembali ke fitrah.
Pun
dalam hari agung ini tradisi saling minta maaf dan memberi maaf sudah mendarah
daging dalam masyarakat. Namun apa yang terjadi di Omben justru mengingkari
ajaran dan tradisi luhur dalam Islam itu, bukan datang untuk saling mohon maaf
dan memaafkan, melainkan melancarkan kebencian dan kekerasan.
Hal
yang tragis juga, penyerangan ini dilakukan terhadap anak-anak komunitas Syiah
di Sampang yang akan kembali dan melanjutkan studi mereka di pesantren. Padahal
ada hadis yang masyhur di kalangan Sunni--label yang dialamatkan pada pihak
penyerang--bahwa orang yang menuntut ilmu termasuk dalam mereka yang berada di
jalan Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Man
thalaba al-’ilma fahuwa fi sabilillahi hatta yarji’a (orang yang mencari
ilmu, ia berada di jalan Allah sampai ia kembali pulang).” Mencari ilmu adalah
bentuk lain jihad yang damai. Jihad tidak bisa diidentikkan hanya dengan
perjuangan melalui pertempuran saja. Mencari ilmu, mencari nafkah, membantu
pihak lain, membangun infrastruktur dan fasilitas umum, dan bentuk-bentuk lain
perjuangan yang berpihak pada kemaslahatan publik juga merupakan penegakan
jihad.
Menghalang-halangi
anak-anak yang akan kembali studi bisa dianggap merintangi orang yang berada di
jalan Allah. Bagi yang kadar keimanannya waras, pastilah akan menganggap
anak-anak yang akan kembali menuntut ilmu itulah yang sedang berjihad, bukan
mereka yang gahar, menyerang, membakar rumah-rumah, dan melakukan pembunuhan.
Kini
semua orang berpikir bagaimana mencari solusi untuk kasus Syiah Sampang. Namun
kita tidak bisa memberikan solusi tanpa mengetahui persoalan dengan cermat dan
tepat. Sebelum ini pemerintah telah menjalankan solusi versi mereka yang
ternyata tidak hanya gagal total, tapi juga memperparah keadaan.
Ibaratnya,
dalam menghadapi konflik di Omben, Sampang, pemerintah seperti pemadam yang
tidak berani melawan sumber titik api, tapi hanya berkeliaran untuk
menyingkirkan segala barang di sekeliling api agar tidak dilahap. Kalau ada
kebakaran, pemerintah daerah khususnya akan melemparkan kursi, lemari, baju,
dan barang-barang yang mudah terbakar untuk menjauh dari api, tapi tidak punya
keberanian untuk melawan dan memadamkan sumber apinya.
Hal
ini yang terjadi di Sampang. Bukannya melawan mereka yang menyebarkan
kebencian, ancaman, dan kerusuhan terhadap komunitas Syiah Sampang, pemerintah
dan negara malah mencoba menyingkirkan komunitas Syiah yang sebenarnya adalah
korban.
Desember tahun lalu, pengikut Syiah Sampang dan pemimpinnya,
Tajul Muluk, diserang dan rumah-rumah mereka dibakar. Tapi yang ditangkap
justru Tajul Muluk, yang diseret ke kursi pesakitan dan dijatuhi hukuman
penjara atas vonis ‘penodaan agama’.
Pihak penyerang tak satu pun yang ditangkap.
Asumsi
yang ada di benak pemerintah ialah, kalau pimpinan Syiah Sampang
dikriminalisasi, pihak penyerang akan berhenti dan pengikut Syiah akan takut
dan keluar dari komunitas itu. Namun yang terjadi sekarang, justru tindakan itu
memperparah keadaan. Dengan mengkriminalkan
pimpinan Syiah Sampang justru seperti membenarkan alibi pihak penyerang, bahwa
tindakan mereka yang melakukan tindakan kesewenang-wenangan pada komunitas
Syiah benar adanya. Vonis pengadilan seperti mendukung dan membenarkan bahwa
komunitas Syiah Sampang melakukan tindakan kriminal.
Padahal
konstitusi kita menjamin kebebasan dan kemerdekaan berkeyakinan yang
konsekuensinya ialah penghormatan dan perlindungan yang penuh pada tiap pilihan
keyakinan warga negeri ini. Pun perbedaan keyakinan tidak bisa dituding sebagai
penodaan. Justru perbedaan menunjukkan kekayaan warisan di negeri ini.
Selain kriminalisasi via pengadilan, komunitas Syiah juga
disudutkan dengan tekanan dan opsi paksaan: mereka harus menerima relokasi,
istilah khusus untuk pengusiran.
Pemerintah
persis orang-orang pandir ketika melihat kebakaran, bukan melawan dan
memadamkan apinya, melainkan meratakan rumah-rumah di sekelilingnya dengan
dalih agar api tidak membesar dan menjalar. Pikiran ini terlihat tepat, namun
bodoh. Benar api tidak menjalar, tapi rumah-rumah sudah roboh bukan karena api,
melainkan karena ulah orang-orang pandir itu sendiri.
Tidak
ada alasan kuat untuk memaksakan opsi relokasi pada komunitas Syiah Sampang.
Mereka lahir, tumbuh, beranak-pinak bahkan wafat di kawasan itu. Justru dengan
menerima relokasi, seperti membenarkan alibi penyerangan bahwa mereka biang
kerok kerusuhan selama ini.
Maka,
setelah tragedi 26 Agustus sewajibnya pemerintah mengakui kesalahan mereka
dalam menyikapi kasus Syiah Sampang. Kriminalisasi terhadap korban dan
pemaksaan opsi relokasi justru semakin mendorong keganasan pihak penyerang. Kebencian
dan kemarahan seperti kehausan di tengah laut, sekali diberi air laut, haus
akan terus menagih dan menjadi-jadi. Dengan terus menekan pihak korban, dengan
asumsi mengabulkan tuntutan pihak penyerang, seperti memberi air laut pada yang
kehausan.
Lantas apa yang bisa dilaku kan? Pertama, solusi hukum. Pemerintah harus bergeser dari
kriminalisasi korban yang selama ini diterapkan, harus pada menangkap dan
menjatuhkan hukum pada pihak-pihak yang terlibat penyerangan. Jangan sampai kejadian tahun lalu terulang, yang
dimasukkan ke penjara ialah orang yang dibakar rumahnya (Tajul Muluk), bukan pembakar
rumah.
Pemerintah
harus serius menangkap aktor lapangan, provokator (mereka yang sangat aktif
menyebarkan hasutan dan permusuhan pada komunitas Syiah Sampang). Singkatnya,
pemerintah harus menggulung jaringan kebencian dan kekerasan terhadap komunitas
Syiah Sampang. Kalau saja polisi mampu mengendus dan membongkar jaringan
terorisme yang tertutup dan bergerak di bawah tanah, hal yang amat mudah
membongkar jaringan kekerasan ini di Sampang. Tangkap mereka, seret ke
pengadilan, vonis dengan hukum yang berat untuk memberikan efek jera kepada
yang lain.
Kedua, solusi politik.
Memberikan pengakuan yang penuh dan setara pada komunitas Syiah Sampang bahwa
mereka adalah warga negara Indonesia yang hak-haknya harus dipenuhi dan
dilindungi. Sesuai konstitusi, setiap warga negara tidak bisa didiskriminasi
atas perbedaan agama, suku, aliran, politik, perkumpulan dll. Seyogianya
pemerintah juga menekankan berulang-ulang pada masyarakat bahwa komunitas Syiah
Sampang adalah warga negara Indonesia yang sah yang tidak bisa dirampas hak-hak
asasi mereka, oleh siapa pun, bahkan oleh negara.
Ketiga, solusi sosial-keagamaan. Pemerintah dan lembaga-lembaga civil society perlu berusaha keras membangun pemahaman dan sikap
yang toleran terhadap masyarakat di Sampang. Pemerintah dan tokoh-tokoh
masyarakat harus roadshow untuk
mengampanyekan antikekerasan dan hidup yang damai yang senapas dengan
nilai-nilai harmoni negeri ini dan ajaran luhur keislaman. Segala desas-desus,
fitnah-fitnah kebencian, kecurigaan, perlu dinetralisasi. Kebencian dan
kecurigaan menyebabkan kemarau yang panas dan gersang pada psikologi masyarakat
Sampang saat ini. Harus ada tokoh-tokoh setempat dan dari lain kawasan yang
berpengaruh yang menyebarkan butiran-butiran air yang menyejukkan.
Sebenarnya
masih banyak solusi lain yang bisa diterapkan untuk menyikapi persoalan Syiah
Sampang yang bertujuan jangka panjang, seperti pendidikan dengan mengajarkan
nilai-nilai toleransi dan menerima perbedaan. Tapi, tiga solusi tadi--hukum,
politik, dan sosial-keagamaan--kalau pemerintah serius menjalankannya bekerja
sama dengan lembagalembaga nonpemerintah serta tokoh-tokoh lokal dan nasional,
kita bisa optimistis konflik membara di Sampang akan bisa diselesaikan.
Apakah
pemerintah bisa diandalkan? Kita tak pernah berhenti berharap dan menuntut
dengan terus mengedepankan sikap kritis. Apalagi kalau kita lihat pemerintah
tidak bisa belajar dari kasus-kasus konflik di masa lalu. Tragedi Sampang
mengulangi sama persis tragedi penyerangan komunitas Ahmadiyah di Cikuesik pada
Minggu, 6 Februari 2011. Sama juga dengan konflik yang berlarut seperti GKI
Yasmin, HKBP Filadelfia, Papua, Mesuji, dan konflik-konflik agraria lainnya.
Nah,
kalau ada orang yang jatuh kedua kali ke dalam
lubang sama, kita sebut keledai. Bagaimana dengan pemerintah ini, yang jatuh
puluhan kali pada lubang yang sama? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar