Nasionalisme
Kita
Sri-Edi Swasono ; Guru Besar UI dan Ketua Umum Majelis Luhur
Tamansiswa
|
KOMPAS,
29 Agustus 2012
Tanggal 15 Februari 2005,
Kwik Kian Gie dan saya menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menyampaikan keluhan. Kami diterima Presiden dengan penuh keramahan. Kami menyampaikan kegemasan tentang seorang doktor
ekonomi di sekitar presiden yang bicara penuh absurditas, ”… apa itu nasionalisme, kuno itu, masukin saja
ke saku....”
Presiden SBY kelihatan gusar
mendengarnya dan berpesan, ”… bilang sama dia, saya tidak suka dia bicara
demikian....” Sampai kini pesan presiden itu tidak pernah saya sampaikan
kepadanya.
Ibarat disambar halilintar, doktor ekonomi yang saya maksudkan
di atas baru-baru ini memperoleh jabatan strategis di pemerintahan, justru di
tempat yang paling rawan terhadap nasionalisme ekonomi.
Semboyan-semboyan nasionalisme dan anti-neoliberalisme predatorik justru marak
pada Juni lalu, di mana kerinduan terhadap Pancasila sepanjang bulan itu
memenuhi koran-koran kita.
Mengapa doktor ekonomi ini tidak malu dan
tidak mau tahu pula bahwa nasionalisme tidak pernah menjadi kuno atau usang.
Paman Ho (Ho Chi Minh, Bapak Bangsa Vietnam) menegaskan, ”… kami pasti akan
menang perang karena kami punya senjata rahasia. Senjata rahasia itu adalah
nasionalisme....” Kemenangan Vietnam melawan dua musuh besar bukan karena
dimilikinya senjata pemusnah massal (WMD), melainkan karena teguhnya
nasionalisme.
Tentu benar pula bila seorang Guru Besar
Universitas Harvard Leah Greenfeld (2001) menyatakan, ”… ciri-ciri pertumbuhan
yang berkesinambungan suatu perekonomian modern tidak berlangsung begitu saja
secara berkelanjutan, pertumbuhan akan berkelanjutan justru jika didorong dan
ditopang oleh nasionalisme....” Demikian pula tokoh politik antarbangsa Ian
Lustic (2002) menegaskan, ”… nasionalisme merupakan kekuatan pembangunan yang
tidak ada tandingnya di dunia masa kini....”
Pandangan-pandangan tentang nasionalisme di
atas berbeda dengan buku-buku yang judul-judulnya tendensius, yang melumpuhkan
pola pikir ke arah ketertundukan negara-negara bekas jajahan, yang kebetulan
elite dan penduduknya masih mengidap servilitas
keinlanderan, seperti buku-buku dengan judul The End of Nation-States, The Borderless-World dan The End of History.
Buku-buku itu merupakan bentuk perang ideologi (Susan George, 2002) terhadap negara-negara bekas jajahan.
Pemikiran spekulatif tentang the end of history (tentang berakhirnya
sosialisme dan hanya ada kapitalisme sebagai ideologi tunggal) telah diragukan
pula oleh Samuel Huntington (1996).
Manusia sebagai Saudara
Tembok Berlin diruntuhkan pada ”eleven-nine” (alias 9 November) 1989.
Orang sempat berpikir sosialisme berakhir. Ternyata sebulan setelah itu justru
didengungkan ”kebersamaan antarmanusia”
bahwa sesama manusia adalah saudara, digemakan melalui Beethoven ”Symphony No 9”, pada 25 Desember 1989 di Berlin,
dimainkan oleh gabungan orkes-orkes terbesar di dunia dengan konduktor
terkemuka Leonard Bernstein dari New York.
Pada fourth
movement simfoni terkenal ini dikumandangkan ”Freiheit” (kebebasan) dan kredo ”alle Menschen werden Brüder”— all
men are brothers—penuh solidaritas, saling bekerja sama tolong-menolong. Apakah Eropa Barat akan ”mengapitaliskan” Eropa Timur
atau Eropa Timur akan ”menyosialiskan” Eropa Barat? Presiden Perancis Francois
Hollande dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair akan bisa menjawabnya.
Keduanya sosialis sekaligus nasionalis.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat berbicara
serius dengan PM Xanana Gusmao di atas Bukit Lahane, Timor Leste. Ia minta
pendapat dari saya tentang membangun Timor Leste. Saya berkelakar, ”Saya
buatkan GBHN untuk Timor Leste, syaratnya Anda teguh bertekad menjadi tuan di
negeri Anda sendiri, to be the Master in
his own home land.”
Jawabnya, ”Tentu, saya memang tidak mau
sekadar menjadi master of ceremony,
tetapi menjadi master betulan.” Maksudnya menjadi MC hanyalah sekadar menerima
tamu-tamu dengan ramah (baca: servil)
yang menyila-nyilakan tamu-tamu mengambili dan memilih apa saja, termasuk
menggasak cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak, berikut bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.
Mengapa orang Indonesia tak malu nihil
nasionalisme, malah memelihara servilisme sebagai hamba inlander, istilah Daoed Joesoef (Kompas, 20/11/2011) ”tidak menjadi
master of our own destiny”.
Tanpa nasionalisme, ekonom hanya akan bicara
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi, tanpa peduli siapa yang
menikmati pertumbuhan. Ekonom macam ini pasti juga tidak peduli akan
ketimpangan antara GNP (yang citizen-based)
dan GDP (yang territorial-based),
lalu lalai membedakan antara ”pembangunan Indonesia” dan sekadar ”pembangunan
di Indonesia”. Tidak peduli pula bahwa pembangunan modern menggusur orang
miskin bukan menggusur kemiskinan, bahwa waralaba-waralaba asing membelokkan
dan menyedot daya-beli rakyat ke makanan asing, dana untuk jajanan pasar dan
kuliner lokal-tradisional dirampok.
Pemiskinan Rakyat
Mengapa Bandara Soekarno-Hatta tidak
menampilkan keberadaan dan kemegahan Indonesia, mengubur Indonesia’s presence? Di bandara dengan nama besar ini hanya
sedikit restoran asli Indonesia, lainnya resto dan toko serba asing, bagian
dari proses pemiskinan rakyat.
Mengapa ekonom kita tidak malu pertambangan
tembaga, emas, tambang-tambang lain, aset perbankan, pasar modal,
telekomunikasi, bahkan Aqua dan perkebunan sawit dikuasai asing?
Orang Barat mengatakan, bangsa kita adalah het sachtste volk ter aarde, een koelie
onder de volkeren—bangsa terlembek di bumi, kulinya bangsa-bangsa lain.
Barangkali sebagaimana dikutip Kwik Kian Gie, tahun 1928 Bung Hatta mengatakan
di depan Pengadilan Den Haag, ”Lebih baik
Indonesia tenggelam ke dasar laut daripada jadi embel-embel bangsa lain.”
Begitulah maka pembangunan
nasional adalah pembangunan budaya, mencerdaskan kehidupan adalah konsepsi
budaya, bukan konsepsi genetika, yang bukan sekadar mencerdaskan otak. Kita
lupa membudayakan nasionalisme, gagal membudayakan pengutamaan kepentingan
nasional, tanpa mengabaikan tanggung jawab global sebagai bangsa beradab.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar