Gaji, Negara
Lembek, dan Demoralisasi Profesi
Sunardi ; Doktor Ilmu Hukum PPS Unibraw, Lulusan Lemhannas,
Penulis buku ‘Supremasi Mafioso dan Kejahatan Terorisme’
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Agustus 2012
APA
kalau gaji hakim dinaikkan, otomatis perangai hakim akan menjadi baik? Dengan
kenaikan gaji, misalnya sampai 2-4 kali lipat, apa hakim-hakim dan calon-calon
hakim di Indonesia tidak akan terjerumus atau menjerumuskan diri dalam praktik suap
atau korupsi? Siapa yang berani memberikan garansi bahwa kenaikan gaji dapat
membuat hakim selalu menempuh karier di jalan yang lurus? Apakah kenaikan gaji
yang direncanakan hendak diberlakukan pemerintah untuk hakim akan membuatnya
mampu jadi pendekonstruksi demoralisasi profesi?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut banyak menghinggapi hati nurani masyarakat. Masyarakat merasa miopik,
janganjangan kebijakan menaikkan gaji yang dilakukan pemerintah hanya akan
berujung sia-sia atau jangan-jangan kenaikan gaji nantinya sekadar digunakan
sebagai ‘pupuk bawang’ oleh para hakim yang terbiasa mendapatkan imbalan besar
dari praktik mafia peradilan yang dilakukan.
Logis
jika masyarakat mengidap kegalauan menyikapi rencana (pasti) kenaikan gaji yang
dilakukan pemerintah untuk para pemutus perkara (hakim). Dari waktu ke waktu,
tanda-tanda membaiknya perangai hakim masih jauh dari harapan. Yang mencuat ke
permukaan masihlah perangai buruk atau demoralisasi profesi. Hakim masih belum
layak dikatakan sebagai pemutus atau sang pilar utama penegak timbangan hukum
(keadilan). Keadilan masih jadi ‘barang’ yang dipermainkan dan martabatnya
direndahkan.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sukses membidik hakim nakal. Yang terjaring bukan
sembarang hakim, melainkan hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).
KPK menangkap dua hakim tipikor di Semarang bertepatan dengan peringatan ke-67
HUT Kemerdekaan RI pada Jumat (17/8). Satu hakim Pengadilan Tipikor Semarang,
Kartini Marpaung, dan satu lagi hakim Pengadilan Tipikor Pontianak, Kalimantan
Barat, Heru Kusbandono. Kedua hakim itu langsung dibawa ke Jakarta dan ditahan
di KPK.
Sungguh mengherankan di tengah lensa KPK demikian tajam membidik
penegak hukum, ada hakim masih mendagangkan perkara. Kedua hakim itu diduga bermain
dalam perkara korupsi Ketua DPRD Grobogan, Jateng, M Yaeni. Ketua Muda Pidana
Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko menduga ada hakim merangkap broker alias
makelar perkara (Media Indonesia, 25 Agustus 2012).
Kasus
hakim tipikor yang tertangkap basah KPK itu tentu saja hanya sampel kecil dari
gunung es mafia peradilan secara umum dengan aktor sang hakim, sebab kasus di
luar hakim tipikor ditengarai masih marak. Hakim tipikor itu sedang apes atau
mengalami kecelakaan, sedangkan sejumlah hakim nakal lainnya sedang ‘selamat’
atau belum menemui nahas.
Fokus
kritisisme memang seharusnya tidak semata diarahkan pada hakim tipikor. Kalau
hanya hakim tipikor yang diawasi secara serius dan perilakunya disadap,
penyakit kronis lain di jagat peradilan, khususnya di ranah komunitas hakim,
akan terabaikan. Mereka (para hakim nakal di luar pengadilan tipikor) bisa
mengawetkan atau melestarikan demoralisasi profesi.
Bukan
rahasia lagi, para pencari keadilan, khususnya orang-orang yang bermasalah
secara hukum, merupakan objek empuk bagi hakimhakim nakal. Mereka memang
bermasalah dalam kasus konvensional atau di luar kejahatan kerah putih, seperti
pencurian, perampasan, penipuan, penggelapan, dan lainnya yang secara ekonomi
tidak dalam kategori merugikan keuangan negara. Namun, bagi hakim yang
kehilangan nurani dan mengidap kematian etik profetis, mereka yang ber masalah
secara yuridis bisa ditempatkan sebagai ‘sekoci-sekoci’ uang dan target empuk
memperkaya diri.
Kalau
hakim tipikor yang gajinya sudah tergolong istimewa bila dibandingkan dengan
yang lainnya saja masih tergiur menjadi broker
atau di balik layar ikut bertualang mencari dan mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya, apalagi hakim-hakim dalam perkara nonkonvensional, yang
selama ini (sebelum adanya hakim ad hoc)
tak sedikit di antara mereka yang tertuduh jadi bagian dari sindikat peradilan.
Apalah
artinya kenaikan gaji yang tidak seberapa dari negara jika dibandingkan dengan
‘pendapatan’ yang diperolehnya saat menangani kasus, yang kasus itu diaturnya
sedemikian rupa dengan jaksa penuntut umum, keluarga, atau peng acara? Apalah
artinya gaji yang diberikan negara kalau dalam satu bulan, para hakim nakal
bisa memperdagangkan profesi atau memperjualbelikan sanksi hukuman yang akan
dijatuhkan.
Kenaikan
gaji, seperti tulisan Komaruddin (2011), memang dapat memacu kinerja dan
tanggung jawab pengabdi profesi hukum. Akan tetapi di tengah belantara sepak
terjang aparat yang jago dan jawara dalam berkhianat atau tidak malu lagi dalam
memperjualbelikan peran suci, gaji berapa pun tidak akan ada artinya. Mereka
sudah terbiasa menerima upeti, suap, atau pemberian yang nilainya sangat besar
sehingga ‘perangsang’ moral dalam bentuk kenaikan gaji tidaklah banyak
memberikan dampak positif dalam mengubah perilaku mereka.
Pemikiran
tersebut tidak bermaksud menolak kenaikan gaji untuk hakim, tetapi sebagai
pesan moral atau ajakan merasionalisasi kenaikan gaji supaya menjadi diskresi
yang bermakna bagi kepentingan makro bangsa. Hakim sebagai penuntut dan
penerima kenaikan gaji diingatkan bahwa dalam gaji yang diterima, ada amanat
adiluhung yang dipercayakan kepadanya.
Opsi
transparansi pada sistem rekrutmen hakim merupakan salah satu jawaban
fundamental atas problem sengkarut hakim nakal. Bila berkaca pada sejumlah
negara yang jagat penegakan hukumnya lebih baik daripada Indonesia, itu secara
umum terletak pada sistem rekrutmen hakim yang berlapis-lapis, yang selain
profesionalitas, juga sangat transparan terhadap publik.
Di
negara-negara itu, salah satu wujud transparansi publik ialah masyarakat diberi
akses informasi dan kesempatan untuk memberikan penilaian terhadap sejumlah
kandidat hakim. Jika ada sejumlah informasi dari elemen masyarakat tentang
rekam jejak yang ‘kurang sahih’, tim pansel (panitia seleksi) bisa merekrut
ulang, melacak ke sejumlah perguruan tinggi yang mempunyai lulusan terbaik, dan
mencoret para kandidat sebelumnya.
Pola
rekrutmen hakim di Indonesia, yang oleh publik dinilai masih mengandalkan
‘manajemen eksklusif’ seperti kentalnya tuduhan bahwa polanya masih serbaditentukan
besaran jumlah uang dan hubungan kekerabatan (patronase), ialah pola rekrutmen yang cacat moral dan jelas
berdampak pada wajah peradilan.
Wajah
penegakan hukum tidak akan bopeng sana-sini kalau sumber daya manusia yang
diandalkan untuk jadi penegak tidak bermental lembek. Dunia peradilan bukan
menjadi dunia para pencari keadilan, melainkan jagat para oportunis yang
berpenyakit kapitalistis dan hedonistis. Mereka menggunakan jagat yuridis
sebagai tameng membenarkan dan memperluas jaringan kriminalisasi (demoralisasi)
profesi.
Survei
yang pernah dilakukan Gunnar Myrdal pada sejumlah negara di Asia yang terkenal
‘lembek’, salah satunya, berhubungan dengan kondisi masih kuatnya jaringan
struktural yang berpenyakitan seperti penyakit demoralisasi, indisipliner, atau
tidak kukuh dalam menjaga manajemen kekuasaan yang menghormati hak publik. Para
abdi negara hanya sibuk mencari dan memburu keuntungan di balik sistem yang
mereka terapkan.
Di
negara lembek seperti itu, berbagai sektor strategis seperti sektor yudisial
(peradilan) akhir nya dipenuhi manusiamanusia yang tidak suka bekerja dengan
sungguh-sungguh, suka mempermainkan tanggung jawab, senang menghindar dari
peran dan tugas yang diregulasikan, atau mencari dan menciptakan celah-celah
yang bisa dimanfaatkan untuk menuai kentungan jabatan dan uang
sebanyak-banyaknya.
Komisi
Yudisial dan MA (Mahkamah Agung), melalui pilar-pilar berintegritas, bisa
membentuk sistem rekrutmen hakim yang rasional, manusiawi, objektif, dan
transparan. Sistem rekrutmen itu diharapkan bisa menjadi jembatan mewujudkan
regenerasi hakim yang bermental koruptif atau oportunis-kapitalistis menuju
hadirnya sosok hakim yang cerdas baik intelektualitas maupun moralitas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar