Beragama dengan
Bijak
Qahmad Tholabi Kharlie ; Dosen Tetap Universitas Islam
Negeri Jakarta, Anggota Komisi Fatwa
MUI Pusat
|
REPUBLIKA,
29 Agustus 2012
Umat
beragama perlu melakukan autokritik. Inilah hal yang pantas dilakukan ketika
menyimak perilaku kontraproduktif yang ditunjukkan beberapa komponen masyarakat
Indonesia akhir-akhir ini. Peristiwa penyerangan kelompok-atau lebih tepatnya
pemahaman keagamaan Syiah di Sampang, Madura (26/8), adalah contoh kecil yang
sejatinya menyadarkan umat beragama, khususnya umat Islam, tentang pentingnya
kedewasaan dalam beragama.
Potensi
konflik sebagai buah dari keragaman pemahaman keagamaan memang telah lama
disadari sebagai sebuah “bahaya laten“. Sejarah sosial umat Islam klasik telah
banyak mengurai peristiwa kelam yang menggambarkan betapa rapuhnya sikap
kesepahaman dan penghargaan terhadap perbedaan di antara umat Islam.
Kematian
tragis para sufi yang beraliran falsafi dan keterusiran para fukaha yang
berbeda haluan dengan status quo-bahkan
tidak jarang berujung pada kematian di atas tiang gantunganmewarnai perjalanan
panjang sejarah keberagamaan umat Islam.
Fenomena itu terus saja berulang
hingga kini dengan mengambil bentuk yang berbeda.
Kelemahan
sebagian umat Islam memang terletak pada sulitnya bersikap terbuka dan dewasa
dalam menghadapi perbedaan. Alih-alih membuka diri dengan penganut agama lain,
sikap saling curiga mewarnai hubungan antarpemeluk Islam. Sungguh ironis,
padahal secara konseptual, agama Islam telah menunjuk toleransi sebagai modal
penting pembangunan hidup beragama (QS al-Kafirun: 1-6).
Fenomena
tersebut paling tidak dilatarbelakangi oleh beberapa hal berikut. Pertama,
selama ini pola transformasi ilmu-ilmu keislaman, baik yang dilakukan secara
formal maupun informal, masih cenderung dogmatis dan taken for granted. Akibatnya, muncul pemahaman yang rigid, eksklusif,
dan tidak mengenal kompromi. Anatomi keberagamaan semacam inilah yang tumbuh
subur di kalangan umat Islam Indonesia.
Kedua,
adanya anggapan bahwa Islam sebagai agama pendatang. Kekeliruan ini, misalnya,
dipicu oleh simbolisasi dan nuansa ajaran Islam yang dianggap merepresentasikan
asal tempat Islam nuzul. Mulai dari kitab suci berbahasa Arab hingga pada
prasyarat ritual keagamaan yang hampir seluruhnya menafikan unsur-unsur lokal.
Celakanya,
ini menjadi harga mati. Dan, bahkan sering dianggap sebagai ajaran inheren dari
Islam. Akibatnya, konsep dan pemikiran Islam yang lahir dari dan digagas oleh
pihak outsider menjadi ditabukan.
Ketiga,
sebagai sebuah konsekuensi, keberpihakan penguasa terhadap paham tertentu
menjadi hal yang tak terelakkan. Oleh karena itu, tidak salah jika lahir
adagium yang meniscayakan eksistensi suatu paham jika ditopang oleh kekuasaan.
Sebagai
ilustrasi, ini terjadi pada saat aliran Muktazilah berjaya karena disokong
penuh oleh Khalifah al-Ma'mun, sang penguasa. Dan, pada saat yang sama
melahirkan kebenaran tunggal yang bersifat formal. Demikian pula sebaliknya,
ketika kekuasaan dikendalikan oleh kelompok Sunni, sikap diskriminatif atau
bahkan kekejaman harus diterima oleh kelompok lain yang berbeda.
Ini
pula yang berlaku di Indonesia. Secara teologis, pemahaman umat Islam di negeri
ini sangat didominasi pengaruh pemikiran Ahlussunah
wal Jamaah yang digagas oleh al-Asy'ari dan al-Maturidi. Pengaruh pemikiran
ini demikian kukuh tertanam dalam ruang keyakinan umat Islam Indonesia,
terlebih disokong oleh penguasa, sehingga tidak segan menolak keberadaan
pemikiran kelompok lain.
Sementara
itu, aspek pemikiran fikih didominasi oleh mazhab Syafi'i. Dominasi ini dapat
dilihat pada rumusan hukum Islam yang telah diformalisasikan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam (KHI),
yang kemudian disebut juga sebagai “Fikih Indonesia“, dipandang sangat
Syafi'i-sentris. Begitu kuatnya pengaruh mazhab Syafi'i, mempersempit ruang
gerak pemikiran fikih lain, yang “terkadang“ lebih memiliki validitas secara
metodologis.
Perlu Kedewasaan
Maraknya
perilaku anarkis yang dilakukan kelompok-kelompok keagamaan tertentu perlu
disikapi secara cermat dan bijaksana. Itu mengingat tingginya tingkat
sensitivitas persoalan sehingga diperlukan sikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan. Semua pihak harus berpikir jernih dan berangkat dari konteks yang
lebih komprehensif serta menyeluruh.
Bagaimanapun
konflik internal umat Islam yang kerap mewarnai hiruk pikuk keberagamaan kita,
harus diselesaikan secara yuridis sehingga akan melahirkan ketenteraman sebagai
konsekuensi logis dari adanya jaminan kepastian hukum.
Upaya ini mutlak dilakukan oleh sebuah negara yang berasaskan hukum (rechtstaat). Menimbang kompleksitas permasalahan, pelibatan pelbagai unsur yang berkompeten menjadi alternatif yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Upaya ini mutlak dilakukan oleh sebuah negara yang berasaskan hukum (rechtstaat). Menimbang kompleksitas permasalahan, pelibatan pelbagai unsur yang berkompeten menjadi alternatif yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Persoalan ini tidak dapat dilihat dalam konteks pemeliharan stabilitas nasional
an sich, tapi juga penting dikaji akar substansi ajaran yang kerap menjadi
pemicu konflik.
Sebagai
contoh, dalam Islam, persoalan yang menyangkut akidah merupakan titik sentral
ajaran. Ia bersifat baku. Oleh karenanya, tidak dapat ditafsirkan secara
gegabah. Karena sekali saja keliru, nilai-nilai yang mengikutinya akan menjadi absurd. Hal seperti ini tidak terjadi
dalam lapangan hukum Islam (fikih) yang cenderung lebih membuka diri dengan
perbedaan dan mendorong upayaupaya pembaruan melalui ijtihad. Di sinilah urgensi memahami konteks substansi ajaran agar
tidak terjebak pada penyamarataan persoalan.
Di
sisi lain, pemerintah, melalui lembaga-lembaga terkait, sepatutnya dapat
bersikap adil dalam rangka mewujudkan pola hubungan keberagamaan yang kondusif
dan sehat. Oleh karenanya, seluruh kebijakan publik, sejauh menyangkut hajat hidup
keberagamaan masyarakat, harus menimbang kondisi paham keagamaan bangsa yang
pluralis.
Demikian pula, kelompok elite keagamaan juga
dituntut untuk secara aktif membantu menciptakan kesejukan di tengah-tengah
masyarakat serta tidak memprovokasi lewat propaganda keagamaan. Sudah saatnya
kita tak lagi menonjolkan arogansi kelompok yang mencederai identitas Islam
sebagai agama penebar kedamaian di muka bumi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar