Hari Raya Makan
yang Terkoyak
Ali Mustafa Yaqub ; Imam
Besar Masjid Istiqlal
|
KOMPAS,
31 Agustus 2012
Sebuah hadis mengatakan,
disebut Hari Raya Fitri karena pada hari itu semua orang makan dan disebut Hari
Raya Kurban karena hari itu semua orang menyembelih binatang kurban.
Idul Fitri (Hari Raya Makan)
yang seyogianya jadi ajang memperkokoh silaturahim dan persahabatan ternyata
pada 1433 H ini ia terkoyak dan tercabik-cabik. Sekurang-kurangnya ada tiga hal
yang mengoyak dan mencabik-cabik keluhuran Idul Fitri tahun ini. Pertama,
tragedi penyerbuan dan pembakaran sebuah kampung pengikut aliran sufi tertentu
di Sukabumi yang menelan korban jiwa. Kedua, penyerbuan terhadap pengikut aliran
tertentu di Desa Karang Gayam Omben, Sampang, Madura, yang juga menelan korban
jiwa. Ketiga, Pembakaran pesantren di Sawangan, Depok, Jawa Barat.
Tiga kejadian ini sungguh
sangat ironis karena terjadi hanya beberapa hari setelah umat Islam melakukan
ibadah puasa, sementara pelaku dan korban tiga kejadian itu adalah umat Islam.
Tiga kejadian ini tak hanya
mengusik dan mengoyak Idul Fitri, tetapi sekaligus mencerminkan pelaku
kejadian-kejadian itu semuanya adalah Muslim yang tak siap hidup dalam
perbedaan. Padahal, sejak kecil para pelaku kejadian ini telah menghafalkan
prinsip pluralitas dalam agama Islam, baik pluralitas agama maupun pluralitas
mazhab.
Dalam pluralitas agama
hampir tak ada Muslim di Indonesia yang tak hafal prinsip ”Lakum diinukum wa liyadiin” (bagi kamu agama kamu dan bagiku
agamaku). Sementara dalam pluralitas paham, aliran, atau mazhab para ulama
papan atas mengajarkan prinsip yang sangat indah. Mereka mengatakan, ”Pendapatku adalah benar, tetapi mungkin
salah; sedangkan pendapat orang lain adalah salah, tetapi mungkin benar.”
Gagal Membina Kerukunan
Para pendidik di lingkungan
umat Islam seyogianya sudah menyadari, mereka telah gagal dalam membina
kerukunan antarumat seagama. Prinsip-prinsip pluralitas di atas bukan saja
sangat indah diterapkan untuk masyarakat Indonesia dengan kemajemukan agamanya,
tetapi juga sangat indah diterapkan untuk umat Islam dengan berbagai macam
aliran dan mazhabnya.
Prinsip-prinsip pluralitas
(kemajemukan) di atas semestinya dapat melindungi seluruh masyarakat Indonesia
dengan segala kemajemukan agamanya dan juga melindungi masyarakat Muslim
Indonesia dengan berbagai ragam aliran dan mazhabnya.
Tampaknya prinsip-prinsip di
atas baru jadi retorika dan hafalan di madrasah-madrasah, belum dipahami,
dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat yang serba majemuk ini.
Sementara di sisi lain ada upaya dari oknum-oknum tertentu untuk membuat umat
ini fanatis dengan aliran dan atau mazhabnya. Sehingga yang muncul di permukaan
bukannya semangat kebersamaan dalam perbedaan, tetapi semangat menghabisi
kelompok lain karena fanatisme yang menganggap paham atau mazhab sendirilah
yang berhak masuk surga dan kelompok lain akan masuk ke neraka.
Dalam negara yang menegakkan
supremasi hukum seperti Indonesia, apa pun alasannya para pelaku anarkisme itu
wajib ditindak dan dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Terlepas apakah
pelaku itu kelompok minoritas ataupun mayoritas. Negara wajib melindungi setiap
warganya sehingga tak ada kelompok minoritas yang menzalimi mayoritas dan atau
sebaliknya. Namun, upaya hukum saja belum cukup, apalagi seperti diberitakan
pelaku anarkisme itu jumlahnya jauh lebih besar ketimbang aparat penegak hukum.
Oleh sebab itu, para ulama,
ustaz, dan para pendidik, khususnya di lingkungan pesantren, madrasah, Majelis
Taklim, dan perguruan tinggi Islam sudah semestinya menjadikan
peristiwa-peristiwa di atas sebagai pelajaran untuk selanjutnya mengubah
kebijakan pendidikan yang selama ini dilakukan agar peristiwa-peristiwa itu tak
terulang pada masa yang akan datang. Prinsip-prinsip pluralitas agama dan
pluralitas aliran atau mazhab tak boleh hanya jadi hafalan dan retorika, tetapi
mesti jadi perilaku para pendidik dengan mencontohkannya kepada umat.
Islam bukanlah agama yang
hanya untuk umat Islam, melainkan Islam adalah agama untuk semua manusia.
Sungguh indah bagaimana istri Nabi Muhammad, Siti Aisyah, sering menerima tamu
wanita-wanita Yahudi di rumah beliau yang juga rumah Nabi Muhammad. Mereka
berdiskusi masalah-masalah agama. Bagaimana pula indahnya para sahabat yang
terkadang berbeda pendapat dan berbeda mazhab, tetapi mereka tetap shalat dalam
satu masjid.
Siti Aisyah juga sering
berbeda pendapat dengan Abdullah bin Umar tetapi mereka tetap dalam
kebersamaan. Untuk mencapai keadaan seperti itu di Indonesia tampaknya masih
perlu waktu yang panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar