Korporasi
Pendidikan
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif Institute for
Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
30 Agustus 2012
Di tengah budaya korup sekarang, lembaga
persekolahan tak sepenuhnya lagi menjadi institusi terpuji, tempat mengajarkan
kearifan dan membentuk watak mulia. Lingkungan sekolah, terlebih pendidikan
tinggi, kini menyerupai korporasi di mana berbagai transaksi—juga korupsi—terjadi.
Kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana
yang melibatkan 16 perguruan tinggi negeri (PTN), beragamnya jalur masuk PTN,
plagiarisme, kecurangan ujian nasional (UN) adalah gambaran iklim buruk yang
berkembang dalam pendidikan kita. Juga maraknya penyalahgunaan dana bantuan
operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP), dan block grant rintisan sekolah berstandar
internasional (RSBI), serta berbagai kasus pungutan di banyak sekolah.
Spirit korporatisasi dan korupsi di dunia
pendidikan mengalami akselerasi dan pengukuhan lewat pilar privatisasi dan
kebijakan UN.
Tiga Pilar Privatisasi
Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memuat tiga ketentuan penyangga privatisasi
institusi pendidikan. Pertama, pendanaan menjadi tanggung jawab masyarakat, di
samping pemerintah (Pasal 46). Ini jadi dasar pembenaran bagi anggaran
pendidikan yang senantiasa tak mencukupi meski besarannya melampaui angka 20
persen dari APBN. Logika pemerintah, dirinya bertanggung jawab hanya sebagian
atas pendanaan, sementara kekurangannya adalah bagian/tanggungan masyarakat.
Kemudian, pemerintah memosisikan dirinya
sebagai donatur atau fasilitator pendidikan. Alhasil, muncullah beragam istilah
”bantuan”, seperti BOS, BOP, hibah (block
grant), ataupun dalam bentuk beragam jenis beasiswa.
Pola bantuan seperti ini membingungkan
karena—menurut Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945—pemerintah adalah pihak yang
mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Pemerintah
seharusnya jadi tuan rumah pendidikan, bukan sekadar donatur atau fasilitator.
Kedua, pendidikan dikelola dengan manajemen
berbasis sekolah atau MBS (Pasal 51) dan otonomi perguruan tinggi (Pasal 50).
Melalui model ini, pemerintah melepas tanggung jawab dan memberikan otoritasnya
kepada setiap lembaga pendidikan untuk menggali dana masyarakat secara mandiri.
Ketiga, penyelenggara dan/ atau satuan
pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan/BHP (Pasal 53 Ayat 1). Badan
ini berprinsip nirlaba, tetapi praktiknya BHP berfungsi sebagai handelar (baca:
pedagang) korporasi yang boleh mewadahi beberapa unit usaha profitabel.
Meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan pemerintah tak
berkeinginan memprivatisasi pendidikan (Kompas.com,
27 Maret 2012), tetapi ide utama yang dikembangkan dalam UU BHP yang kini
bermetamorfosis menjadi UU Pendidikan Tinggi ialah korporatisasi dan
privatisasi lembaga pendidikan.
Korporatisasi dan privatisasi memang tidak
dimaksudkan untuk mengalihkan kepemilikan sekolah dan perguruan tinggi (negeri)
kepada perseorangan atau swasta. Namun, secara gradual akan mengeliminasi peran
pemerintah dalam pembiayaan dengan mengidealkan sekolah dan perguruan tinggi
mandiri.
Apabila terus dikembangkan, gagasan ini akan
berdampak: pertama, tanggungan biaya masyarakat terus meningkat. Para pengelola
pendidikan yang sedianya guru dan dosen bukanlah pebisnis andal. Kemampuan
mereka mengoleksi dana terbatas dari orangtua murid/mahasiswa, paling jauh
menyewakan aset. Adapun untuk transaksi besar—pada kenyataannya—mereka hanya
diperalat oleh para pejabat, pebisnis, atau politikus.
Kedua, mutu pendidikan akan merosot karena
iklim akademis tergerus bisnis. Kampus dan pengelolanya akan disibukkan oleh
berbagai urusan niaga, yang tentunya lebih mengasyikkan, sehingga peningkatan
kualitas terabaikan. Situasi itu kini mulai dirasakan bukan saja dengan
hadirnya kios, kafe, dan mal di dalam kampus, melainkan juga berkembangnya
logika dan kosakata dagang, seperti daya saing, standardisasi, sertifikasi ISO,
kualitas tergantung harga, dan lain sebagainya.
Ketiga, roh pendidikan akan pudar. Interaksi
pembelajaran sebagai proses humanisasi— mencerdaskan dan membudayakan—berubah
menjadi relasi-relasi transaksional. Di sini, murid tak lebih dari onggokan
komoditas yang dilabeli nilai seperti kualitas satu, produk lokal, atau kelas
internasional. Sementara para pendidik yang dinobatkan sebagai profesional
merasa sah menukarkan tenaga dan pikirannya dengan sejumlah bayaran. Maka,
pendidikan pun menjadi penuh pamrih dan relevansinya dengan persoalan bangsa
semakin kabur.
Keempat, korupsi akan tumbuh subur. Orientasi
pendidikan menjadi materialistis, sementara pemerintah dan masyarakat yang
menyubordinasikannya secara sistemis telah korup. Alhasil, ide-ide koruptif
dengan mudah mengontaminasi lingkungan pendidikan.
UN, Afirmasi Korupsi
Kontaminasi koruptif dalam lingkungan
pendidikan diperluas melalui UN. Kebijakan UN tak boleh dianggap sepele. UU
bukan sekadar menyimpang dari perundang-undangan dan melanggar hak anak menurut
putusan pengadilan, juga bukan hanya melanggar prinsip-prinsip pedagogi. Lebih
dari semua itu, UN adalah makar melalui demoralisasi bangsa.
Konspirasi massal guru dan murid melakukan
kecurangan berulang-ulang telah meruntuhkan makna dan sendi-sendi utama
pendidikan. Nasihat kejujuran dan sportivitas dalam pembelajaran menjadi
absurd. Melalui UN, bibit korupsi yang bertaburan di pemerintah dan masyarakat
ditanam dan diteguhkan secara efektif ke dalam jiwa anak di seantero negeri.
Tak terbayangkan seperti apa karakter bangsa ini di masa depan.
Korporatisasi dan korupsi merupakan
sandyakala di atas sekolah kita. Oleh sebab itu, pendidikan kita memerlukan
perubahan besar dan mendasar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar